4. Kemarahan

117 26 5
                                    

"BISANYA YA LO GITU ... !"

"Please ... Please ... Kamu tenang dulu! Kita bicara baik-baik ya," ujar aku memohon, untuk Dinda bisa menurunkan sedikit volume suaranya. Saat semua pasang mata menatap kearah kami.

"Lo anggap gue apa. Sih? Bisa-bisanya di hari sepenting itu. Gue, gak Lo undang. Sampai detik ini. Lo ga ada niat cerita, kalo gue ga nyuruh Lo ke sini. Gue ga habis pikir, NA !!!"

Belum duduk dengan sempurna, aku langsung diserang dengan katanya. Dinda mengeluarkan semua unek-uneknya. Matanya menyipit tajam. Wajahnya memerah karena kesal. Kita sudah bersahabat sejak lama. Dinda adalah orang yang sangat barbar, sifat kami sangat bertabrakan. Namun entah mengapa dia menjadi satu-satunya sahabat yang paling pengertian. Bodohnya kemarin aku lupa memberitahunya. Kebiasaan buruk, jika ada masalah yang sangat rumit. Aku lebih memilih tidur mengurung diri di kamar untuk melupakan masalah yang sedang aku hadapi saat itu. Walaupun itu bukan jalan keluarnya.

Jujur awalnya aku ingin memberitahunya, tapi karena Dinda juga sedang dalam masalah, omanya masuk rumah sakit, aku juga tidak ingin menambah bebannya saat itu. Jadi aku menunda sampai aku lupa. Kurasa ini sangat fatal. Aku tahu dia pasti sangat kaget mendengar informasi ini.

Aku menghela nafas panjang. Aku menatapnya dengan wajah bersalah.

"Aku minta maaf banget, Din! Jangan marah.....tolong dengerin penjelasan aku dulu!" Aku memelas minta maaf pada Dinda sekian kali.

"JELASINNN!!!" ucapnya ketus, mengalihkan pandangan ke arah lain.

Aku menjelaskannya dengan hati-hati , agar tidak ada kesalahpahaman, saat ini mood Dinda sedang sangat buruk.

Dia hanya menatapku datar setelah mendengar semua penjelasan.

"Lo, tetap salah!"

"Ga seharusnya lo gak kasih tahu, gue. ini bukan hal kecil, Na! sampai lupa, lo sama. Gue!!"

"Aku benar-benar minta maaf, Din! Aku tahu aku salah. Pernikahan ini juga sebenarnya berat buat aku ... Hiks ..." Aku tidak kuat menahan lagi. Hujan di mataku sudah tumpah. Dinda yang tadi marah, berubah diam. Dia memandangi aku prihatin.

"Pernikahan impian aku hancur, Din. Aku tidak mengenalnya sama sekali, tidak ada rasa cinta. Acaranya juga aku minta sederhana dan privat. Aku belum siap, sama sekali belum siap untuk menikah."

"Gue bingung ngerespon sekarang gimana. Masalahnya lo ga minta pendapat gue tentang ini. Gue tahu lo punya alasan. Tapi lo ingat, lo sering bilang ke gue kalo takdir yang Allah kasih, sudah pasti yang terbaik."

Aku membenamkan wajah ke meja, menyembunyikan air mata yang terus setia mengalir. Aku tidak kuat. Sesak rasanya.

"Lo cuma butuh waktu, Na. Karena itu lo belum bisa menerima ini. Aku yakin dengan lo ikhlas pada akhirnya semua akan indah. Mungkin memang berat di awal, tapi nanti akan manis di akhir. Cinta bisa tumbuh karena terbiasakan? Aku menatap Dinda, dengan mata yang memerah. Mengapa dia tiba-tiba jadi bijak.

Tangis aku malah tambah pecah, aku langsung mendekat memeluk Dinda dengan kuat. Aku tidak peduli orang sekitar, yang sejak tadi menonton kami.

Dinda menenangkan aku, setelah merasa puas, aku kembali duduk dan bisa lebih merasa tenang.

"Nih! Kalo ga cukup. Gue, beli satu box yang paling besar." Dinda menyerahkan tisu. Aku berdecak pelan.

"Buat nguras air mata, aku!"
Dia malah tertawa.

"Semangat, Na!"

Aku mengangguk dengan sangat pelan. Nyatanya tidak semudah itu melihat Arhan orang yang sangat acuh dan tidak mau peduli.

Alahna (The End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang