Sedari 20 menit lalu, Dino dan Kavi tak terlibat percakapan. Dino hanya diam setelah percakapan mereka di kantin sementara Sagara ikut terdiam karena takut salah biacara pada Dino. Bahkan untuk mengatakan 'ayo!' saja Dino enggan. Ia hanya menatap Kavi di kelasnya seraya menunggu setelahnya keduanya ke parkiran. Dan kini keduanya tengah berada di rumah Kavi.
Setelah menunggu Kavi mengganti baju, Dino beranjak namun Kavi menahannya.
"Maaf, No. Gue enggak bermaksud buat Lo marah. Gue cuma enggak mau waktu main Lo keganggu karena gue. Lo dari kemarin sama gue terus, jadi gue enggak enak. Maka dari itu, hari ini Lo main aja enggak usah kesini"walaupun bukan alasan asli yang Kavi ungkapkan namun itu tidak sepenuhnya salah.
"Lo tau makna kata 'khawatir' enggak?"tanya Dino dengan suara datar yang semakin membuat Kavi menunduk dalam. "Tau kan? Tau kan, gimana rasanya khawatir? Lo bukan sekedar sepupu bagi gue, bang. Tapi Lo udah gue anggap sebagai abang gue sendiri. Gue khawatir dan sedih liat Lo yang terus-terusan dihajar. Lo gue ajak ke apart enggak mau, gue temenin disini enggak mau, gue suruh ke Jepang enggak mau dan milih bertahan sama si brengsek gila itu!"
"Dia ayah gue, No"lirih Kavi.
"Gue tau.. gue tau dia ayah Lo. Tapi apa pantas dia di panggil ayah? Selama 18 tahun ini dia selalu aniaya Lo, Lo masih sebut dia ayah? Gue aja malas panggil dia OM apalagi mau manggil AYAH"Dino memijat hidungnya pusing. "Dengan alasan pengen dipeluk ayah itu, ngebuat Lo rela di pukul tiap hari? Hah? PELUKAN YANG LO INGIN INI BUKAN PADA ORANG YANG TEPAT, BANG!"
"CUKUP!"
Keduanya terdiam cukup lama setelah teriakan Kavi menggelegar di seluruh penjuru rumah. Dada keduanya masih bergemuru marah.
"Apa salah gue pengen di peluk ayah sendiri? Salah ya, No? Salah gue pengen meluk dan di peluk? LO ENGGAK PERNAH NGERASAIN SEMUA YANG GUE RASAIN, NO! LO MASIH PUNYA ORANGTUA LENGKAP! GUE? GUE CUMA PUNYA AYAH! Jadi, apa salah gue pengen di peluk sama dia? Jawab, No! JAWAB!"
"Terserah Lo, bang"ucap Dino dan pergi meninggalkan Kavi yang kini mulai terisak.
Apa setelah ini tak ada lagi yang peduli dengannya?
___
Kavi mengintip dari jendela setelah mendengar suara mobil memasuki pekarangan rumahnya. Dan ternyata itu Dino bersama dengan ayahnya. Terlihat Dino dengan malas membantu Sananta dengan membawa kopernya.
Kavi dengan cepat membuka pintu rumah setelah di ketuk oleh Sananta.
"Ayah? Dino?"keduanya hanya menatap Kavi tanpa menyahuti.
"Makasih udah jemput sama antar om pulang, No"
"Hm"balas Dino malas. Kalau tidak dipaksa oleh Mamanya mana mau ia menjemput si duta aniyaya ini. Sananta pun tau jika Dino itu dingin padanya.
"Mau mampir dulu, No? Biar Kavi yang bawa kopernya"tawar Sananta.
"Enggak perlu, Dino mau ke tempat teman langsung"
"Oh yasudah. Kalau begitu hati-hati, nak!"Dino mendengarnya hanya memutar bola matanya malas sedangkan Kavi yang mendengarnya sedikit iri. Nak? Siapa yang tak mau jika dipanggil begitu.
"Satu lagi, om masih punya tangan dan kaki yang masih berfungsi dengan baik. Jadi, gunain sebelum diambil tuhan"sarkas memang tapi itulah Dino jika sudah berhadapan dengan Sananta. Ia tahu jika Dino tak suka dengannya, ia juga tahu jika Dinolah yang kerap membantu Kavi mengobati luka-lukanya. Tapi ia tak berani membalas karena takut jika Dino membuka kartunya pada Sana, adiknya. Ia juga tidak mau imagenya rusak gara-gara masalah ini.
Tanpa kata pamit Dino pergi dari sana dan tanpa melirik ke arah Kavi sedikit pun.
Kavi yang merasa diacuhkan Dino mulai was-was jika Dino benar-benar meninggalkannya sendiri.
Setelah kepergian Dino, Sananta dengan tidak sopannya menendang kaki kanan Kavi hingga membuat sang empunya meringis kesakitan.
"Puas! Puas kamu dibelain anak itu?"Kavi menunduk dalam ketakutan sedangkan Sananta kini perlahan maju berhadapan dengan Kavi.
PLAK!
"JAWAB SIALAN!"
"Enggak, Yah.."cicit Kavi.
PLAK! BUGH!
BUGH!
BUGH!
"ANAK SIALAN! BISA-BISANYA KAMU MASIH HIDUP!"teriak Sananta. Kavi sudah meringuk dibawah sana dan menatap takut-takut pada ayahnya.
"KENAPA MASIH HIDUP SIALAN!"
BUGH!
Kavi lagi-lagi meringis kesakitan. Tendangan ayahnya tidak bisa dibilang biasa saja malah ini sangat luar biasa. Dengan mati-matian Kavi melindungi kepalanya yang diinjak.
Setelah merasa puas, Sananta memberhentikan kegiatannya.
"Bawa itu ke kamar saya dan pergi ke kamarmu setelahnya! Jangan pernah keluar karena sebenatar lagi teman-teman saya akan datang"Kavi mengangguk patuh lalu dengan meringis ia bangkit dan berjalan sambil menarik koper ayahnya.
"Satu lagi!"Kavi menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap ayahnya tanpa menatap pria itu.
"Kau tidak boleh makan sampai besok. Itu hukuman karena Dino semakin dingin pada saya"
Kavi hanya bisa mengangguk menyetujuinya walau berat hati untuk menerima.
Kavi kembali berbalik setelah ayahnya pergi keluar dari rumah dan entak kemana perginya. Ia kemudian melangkahkan kakinya menuju ke kamar ayahnya. Setelah menaruh koper di sana, ia kembali berjalan dan menuju kamarnya sendiri.
Setalah pintu ditutup, Kavi menjatuhkan tubuhnya di sana.
Sakit, semuanya benar-benar sakit.
"Dino.... Ayah pukul gue lagi, No. Sakit...."keluhnya pada Dino yang nyatanya tak akan pernah bisa didengar oleh sang empu.
"Jangan jauhin gue, No, jangan.... Gue butuh Lo. Gue enggak mau Lo pergi, No, enggak mau. Jangan tinggalin gue, jangan, No..."
Kavi memejamkan matanya yang memberat. Selalu seperti ini setelah ia di pukul. Karena tak kuasa ia bahkan tertidur di lantai depan pintu kamar yang tak beralaskan apapun.
___
"KEJAM BUKAN? MANUSIA ITU LEBIH SERAM DARIPADA HANTU"
_Dino.
1 Agustus, 2023.
KAMU SEDANG MEMBACA
RABU
FanfictionKavi Saguna, Kalingga yang tak bisa lepas dari sangkar nerakanya. Sengaja tak melepaskan diri untuk mendapat satu keinginannya. Seorang yang mecurahkan semuanya lewat sajaknya. Kalingga yang penuh dengan senyum hangatnya. Kavi Saguna, Kalingga yang...