LEVITRA [Part 12]

4K 352 5
                                    

Sekitar pukul sepuluh malam Levitra sudah kembali kerumahnya sendirian, ia pulang lebih awal karena menurutnya tidak ada yang menarik di sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sekitar pukul sepuluh malam Levitra sudah kembali kerumahnya sendirian, ia pulang lebih awal karena menurutnya tidak ada yang menarik di sana.

Melihat sosok putrinya melangkah memasuki rumah, Anjani lantas tersenyum kecil. "Gimana tadi, senang?" tanyanya dengan antusias.

"Wahhh senang banget," sahut Levitra berakting gembira, sejurus kemudian ekspresinya berubah menjadi datar. "Capek tau enggak liat orang pacaran, Lev kan juga pengen. Tuh papa enggak kasih izin padahal umur Lev udah mau dua puluh," keluhnya dan menyandarkan punggungnya ke sofa dengan kesal.

Di tambah lagi tadi sempat ada perdebatan antara dia dengan anak sang duda. Itu membuat dirinya semakin bertambah kesal. Tidak ada yang menyenangkan sama sekali di sana.

Kenzie yang tengah bermain ponsel segera mematikan ponselnya dan meletakkanya di atas meja. "Itu karena papa sayang sama Lev, Papa enggak mau Lev sakit hati cuma gara-gara cowo," jelasnya agar Levitra mengerti apa alasan dibalik ia melarang gadis itu berpacaran.

"Berarti papa enggak sayang sama abang?"

"Sayang, dong."

"Terus kenapa abang boleh pacaran? Lev enggak boleh?" tanyanya dengan lesu.

"Udah selayaknya Lev, abang kamu udah tua. Udah waktunya dia mencari pasangan hidup," ujar Kenzie memberi pengertian. Namun, reaksi Levitra semakin menunjukkan ia tidak puas dengan jawaban sang papa.

"Tapi-"

"Udah terserah Lev! Mau pacaran-pacaran sana," potong Kenzie dengan cepat, ia kemudian berdiri dari duduknya dan pergi dengan wajah kesalnya.

Levitra tertunduk lemas dan memilin baju daster Anjani kemudian berbisik pelan. "Papa marah, ya, Ma?"

"Kayaknya. Gih, bujuk," suruh Anjani.

Levitra semakin menundukkan kepalanya, lalu sejurus kemudian menatap punggung sang papa yang mulai keluar rumah dengan sendu. "Mama tunggu sini, Lev mau minta maaf sama papa," ucapnya dengan senyum yang lebar.

"Semangat sayang."

***

Dasya yang baru saja pulang, melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah dengan langkah cepat. "Gue mau cerai!" ucapnya dengan nada tegas begitu bertemu dengan Sherlin dan suaminya yang tengah duduk bersantai di ruang depan.

Sherlin yang sedang mengobrol lantas kaget mendengar pernyataan itu, sorot matanya memandang Dasya dengan bingung, "Kenapa?" tanyanya dengan lembut bercampur binggung.

Apa yang sedang terjadi? Padahal ia baru saja tiba di rumah beberapa jam yang lalu dan kini Dasya malah mengucapkan pernyataan yang cukup konyol menurutnya.

"Karena gue capek berbagi suami," keluh Dasya dan menghempaskan bokongnya dengan kasar di sofa kosong yang berada disebelah Sherlin, "Lo mah enak, tiap hari ngintilin suami lo kerja, sedangkan gue kayak baby sister jagain anak lo mulu."

          

"Kamu yang minta, Sya," timpal Sherlin dengan lembut.

Dasya mengusap wajahnya. "Iya, sih," sahut Dasya lesu. "Itu karena gue sadar diri jadi madu. Makanya sekarang gue mau cerai! gue pengen punya suami yang bisa gue gelantungin tiap hari."

Sorot mata Dasya menatap Sherlin dengan memohon, berharap wanita itu mengerti tentang apa yang ia sedang alami.

Jayden yang sejak tadi diam, akhirnya memberi tanggapan singkat, "Emangnya ada yang mau sama kamu?" tanyanya dengan nada skeptis.

"Eh, anjing, ya, mulutnya!" Maki Dasya, sorot matanya kini berubah menjadi tajam.

"Dasya." Sherlin segera menegur Dasya dengan lembut, mengelus bahu wanita itu untuk menenangkannya.

"Suami kamu, Sher! dikira gue sejelek apa sampai enggak laku!" sentaknya kesal dan masih menatap Jayden dengan tatapan akan membunuh. Ingin sekali rasanya ia menjambak kepala pria itu hingga botak agar dirinya puas.

Kalau saja ia tidak memikirkan Sherlin, sungguh! Ia pasti akan melakukan hal itu. Ia tidak ingin sahabatnya memiliki suaminya yang mirip dengan tuyul, itu alasannya.

"Suami kamu juga," sahut Sherlin meralat perkataan Dasya.

"Mantan! Pokoknya gue enggak mau tau, gue mau pisah. Gue udah menemukan separoh belahan jiwa gue," jawab Dasya dengan nada tegas.

"Yakin?" tanya Sherlin dengan hati yang sedikit bimbang, bagaimana tidak! Ia sudah mengenal Dasya dari sejak menginjakkan bangku SMP dan ia sangat tau bagaimana sifat wanita itu. Bahkan sejak dulu Dasya tidak pernah dekat dengan siapapun.

"Full persen yakin! Capek jadi no dua," sahut Dasya tanpa ada keraguan sedikit pun dimatanya.

Sherlin melirik ke arah Jayden, "Oke, mas besok kita ke pengadilan," putusnya.

"Tapi, Sher ..."

"Aku kan udah bilang apapun yang Dasya minta kabulkan, tidak ada bantahan!" tekan Sherlin tegas.

Dasya mengangguk mantap, "Tuh, dengerin! Lagian gue juga enggak mau menggangu kebahagiaan sahabat gue lagi. Cukup menikah sama lo aja dipaksa sama dia," ketusnya.

"Lagian heran sama nih cewe, bisa-bisanya suruh suaminya nikah lagi," lanjut Dasya yang tidak habis fikir dengan jalan pikiran dari sahabatnya itu.

Ya, inilah alasan kenapa ia bisa menjadi istri ke dua. Itu semua karena Sherlin. Wanita itu merayu, membujuk dan melakukan segala cara agar dirinya menerima tawaran untuk menjadi istri kedua dari suaminya.

Gila memang! Tapi, itulah kenyataannya.

"Aku kan kasian liat kamu sendirian, udah mau menginjak kepala empat tapi belum nikah," jawab Sherlin mencoba mencari pembenaran.

"Ya, tapi kagak laki lo juga, Jubaedah! Noh, anak lo ngira gue pelakor!" hardik Dasya yang terlanjur kesal.

"Lagian salah kamu sendiri galak jadi cewe," timbrung Jayden, lagi dan lagi mampu membuat Dasya kesal.

"Yah, mulut nih laki minta dipasung! Cerein ajalah, Sher! Eneg gue liat muka dia!"

"Janda lebih menggoda, Sher."

***

Kenzie berusaha keras menahan tawanya saat melihat pemandangan yang menggelikan di hadapannya. Bagaimana tidak, kini Levitra tengah berdiri di hadapannya dengan mengenakan kostum yang unik dan kocak.

Gadis itu mengenakan celana berkostum cicak yang dilengkapi dengan ekor palsu yang melambai-lambai lucu di belakangnya. Tak hanya itu, baju berbentuk buaya yang dikenakannya dipakai secara terbalik, sehingga punggung buayanya kini berada di depan.

Rambut antena yang menjulang tinggi di atas kepalanya disertai wajahnya yang polos dan tak berdosa menambahkan kesan menggemaskan pada penampilannya.

"Lev ngapain?" tanya Kenzie dengan bersusah payah menahan tawanya.

"Bujuk papa," jawab Levitra pelan sambil memainkan jari-jarinya yang mungil.

Levitra menggelengkan kepalanya kecil kala ia salah memberikan jawaban. "Eh, enggak. Lev mau minta maaf," ucapnya dan menatap wajah Kenzie dengan penuh harap. Berharap papanya akan memaafkan kesalahannya.

"Salahnya Lev apa?" tanya Kenzie dengan wajah seriusnya. Setidaknya ia harus tau apakah anaknya benar-benar menyadari kesalahannya atau tidak.

"Enggak nurut, seharusnya Lev tau kalau yang papa lakukan untuk kebaikan Lev. Lev janji enggak akan minta-minta pacaran lagi," ucap Levitra dengan menggangkat jari telunjuknya ke atas dengan senyum tipis.

Kenzie hanya menggangguk sambil mendengarkan penjelasan putrinya. Hatinya sedikit terenyuh, melihat bagaimana Levitra benar-benar menyadari kesalahannya. "Sini," panggil Kenzie dengan merentangkan kedua tangannya.

Levitra tersenyum lebar lalu dengan cepat memeluk papanya dan menghirup aroma ketiak papanya dengan rakus. Huhu, untung saja membujuk papanya adalah perkara yang mudah, jadi ia tidak perlu merindukan aroma ketiak papanya.

"Tapi ... jajan Lev jangan dipotong, ya, Pa," bisik Levitra dengan wajah memelas.

Kenzie seketika membulatkan kedua matanya, ternyata ada niat lain dibalik semua itu. Ya, seharusnya Kenzie tau itu sejak awal. Anaknya memang agak lain daripada yang lain.

"Lev! Papa cancel damainya. Papa marah lagi sekarang!" tekan Kenzie dan menjauhkan tubuh Levitra dari dekapannya.

Seketika Levitra menatap Kenzie dengan kesal. "Enggak bisa gitu dong, Pa! Kalau udah pelukan berarti udah damai! Kagak bisa di cancel."

"Loh, kok ngamok? Itu hak papa mau marah atau enggak."

Gadis itu menatap Kenzie dengan wajah tidak percaya. "Oke, Lev bilang mama," putus Levitra dan segera berbalik, lihat saja ia akan memberitahukan semuanya ke mamanya.

Namun, dengan sigap Kenzie menahan ekor cicak yang dipakai oleh Levitra dan berdiri tegap dibelakang gadis itu. "Lev jangan main ngadu mama dong. Ini udah malam, nanti papa digusur dari kamar," dengus Kenzie kesal.

"Pa, lepasin ekor Lev. Entar salah urat," ringis Levitra pelan dan dengan sigap Kenzie melepaskannya.

Baru setelah itu Levitra berbalik dan menatap wajah papanya dengan sombong. "Makanya damai," ucapnya seraya mengulurkan tangannya.

Kenzie menatap telapak tangan Levitra dengan sinis. Apa kalian fikir gadis itu ingin berjabat tangan? Hih! Itu salah besar! Gadis itu pasti meminta uang sebagai bentuk jika mereka sudah berdamai.

Kalah tau begini, ia tadi tidak usah berpura-pura marah. Rugi soalnya.

"Cepetan, Pa. Nanti para warga tau kalau Lev siluman es campur."

"Besok," sahut Kenzie malas.

"Oke! Karena besok, jadinya dua digit," ucap Levitra santai.

"Lev, ini namanya pemerasan."

"Enggak meras, enggak kaya, Pa!" teriak Levitra sambil meloncat-loncat kecil menuju rumah, ekor dan antenanya ikut bergerak sesuai dengan irama loncatan gadis itu.

Kenzie menggelengkan kepalanya dan tersenyum samar. Putrinya sekarang sudah hampir menginjak kepala dua, sudah besar ternyata. Dan sebentar lagi gadis itu akan menikah dan tentunya akan jauh dari dirinya.

Perasaan campur aduk melanda, rasanya Kenzie tidak siap untuk jauh dari anak-anaknya. Pasti rumahnya akan sepi jika kedua anaknya sudah memiliki keluarga masing-masing.

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.
LevitraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang