Jaselle lekas siap-siap untuk mulai kerja. Jadi, dia masuk ke dalam kamar mandi dan tidak lagi menanggapi sahabatnya kalau bertanya tentang kejadian semalam. Sudahlah, tidak perlu diungkit lagi. Dirinya saja berusaha mengabaikan, eh ... orang lain yang penasaran.
Setelah rapi dengan pakaian yang selalu sederhana dan tidak terlalu mencolok maupun terbuka, Jaselle mengambil koper kecil berisi alat tempur meriasnya. "Ayo kita berangkat," ajaknya seraya menggandeng lengan sang sahabat.
"Kau yakin tetap mau pergi ke rumah Abby? Bagaimana kalau Galtero menyeretmu lagi?" tanya Felicia seraya mensejajarkan langkah.
"Harus profesional dalam bekerja."
Meski tak tahu apa yang akan terjadi di rumah Abigail, entah wanita itu telah memaafkannya atau belum. Jaselle tetap harus menyelesaikan sesuai perjanjian. Lagi pula, dirinya tidak pernah menunjukkan kalau pernah dekat dengan Galtero juga. Kesan yang selalu dibangun pun menurutnya nampak seperti orang asing. Hanya tadi saja sedang sial.
Sesampainya di rumah Abigail, sepasang sahabat itu masuk ke dalam ruangan yang biasanya untuk merias. Belum ada siapa-siapa di dalam sana.
"Tumben Abby belum di sini," gumam Felicia.
Jaselle mengedikkan kedua bahu, lalu meletakkan koper yang ia bawa itu ke atas meja. "Mungkin sedang ada urusan. Yang penting kita sudah sampai di sini."
Sembari menunggu orang yang hendak dirias datang, Jaselle dan Felicia membicarakan tentang projek selanjutnya. Setelah dari Switzerland, mereka ada klien di mana lagi, kemudian permintaan tema yang diinginkan. Keduanya mengisi waktu luang dengan diskusi terkait pekerjaan. Hingga suara pintu terdengar didorong dari luar, barulah mereka diam.
"Kenapa kalian lancang sekali masuk ke sini?! Apa lagi pemilik rumahnya sedang tidak di dalam pula." Abigail baru saja melangkahkan kaki melewati pintu, tapi aura sinis dan rasa dongkolnya masih terpancar jelas.
Abigail bukan lagi wanita ramah seperti penilaian pertama kali saat Jaselle dan Felicia datang. Entah mana sifat aslinya. Tapi, orang yang takut kehilangan dan cemburu memang lumayan mengerikan saat bertindak.
"Bukankah kau pernah mengatakan bahwa kami boleh langsung masuk saja ke sini?" Jaselle yang menjawab. Lagi pula, ia bukan orang yang tidak memiliki aturan dengan seenaknya keluar masuk kediaman orang lain.
"Mulai sekarang tidak boleh lagi kalian sembarangan ke dalam rumahku!" peringat Abigail. Ia kemudian duduk dengan pantat yang dihempas kasar pada kursi, hingga terdengar suara penyatuannya. "Cepat dirias! Sudah siang baru datang."
Jaselle cukup membalas dengan senyuman, walau Abigail terlihat masih kesal padanya. "Baik." Ia raih foundation, lalu dituangkan ke telapaknya. Jemari hendak mengoleskan ke wajah kliennya, tapi wanita itu justru menghindar.
Abigail melengos supaya tidak disentuh oleh Jaselle. "Aku tidak mau dirias olehmu."
Menghela napas pasrah sekaligus mengalah, Jaselle memilih mundur satu langkah. "Ok, maaf jika aku ada salah denganmu, sampai kau terlihat benci sekali padaku." Dia memberikan tempatnya untuk Felicia.
.....
Langit di luar mulai gelap, tapi belum sepenuhnya cahaya matahari redup. Di rumah Abigail, wanita itu nampak menuntut penjelasan dari calon suaminya yang sejak kemarin hanya diam dan tidak mengatakan apa-apa. Setidaknya berikan padanya kalimat menenangan supaya lebih tenang. Ini justru Galtero sibuk dengan menerima telepon dari karyawan dan menghindar darinya. Tentu membuatnya sebal sekaligus dongkol. Ia ikuti kemanapun kaki sang pria melangkah, dan menanti selesai berbicara dengan orang di telepon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cigarettes After Sad
ChickLitJaselle, wanita yang ingin merasakan dicintai dengan tulus sepenuh hati, hingga rela memberikan segalanya pada sang kekasih yaitu Galtero. Tapi, ternyata dihari saat ia ingin memberi tahu tentang kehamilannya, justru diputuskan. Tak mau mengemis cin...