Part 16

13.7K 657 63
                                    

Jaselle lekas siap-siap untuk mulai kerja

Ups! Ten obraz nie jest zgodny z naszymi wytycznymi. Aby kontynuować, spróbuj go usunąć lub użyć innego.

Jaselle lekas siap-siap untuk mulai kerja. Jadi, dia masuk ke dalam kamar mandi dan tidak lagi menanggapi sahabatnya kalau bertanya tentang kejadian semalam. Sudahlah, tidak perlu diungkit lagi. Dirinya saja berusaha mengabaikan, eh ... orang lain yang penasaran.

Setelah rapi dengan pakaian yang selalu sederhana dan tidak terlalu mencolok maupun terbuka, Jaselle mengambil koper kecil berisi alat tempur meriasnya. "Ayo kita berangkat," ajaknya seraya menggandeng lengan sang sahabat.

"Kau yakin tetap mau pergi ke rumah Abby? Bagaimana kalau Galtero menyeretmu lagi?" tanya Felicia seraya mensejajarkan langkah.

"Harus profesional dalam bekerja."

Meski tak tahu apa yang akan terjadi di rumah Abigail, entah wanita itu telah memaafkannya atau belum. Jaselle tetap harus menyelesaikan sesuai perjanjian. Lagi pula, dirinya tidak pernah menunjukkan kalau pernah dekat dengan Galtero juga. Kesan yang selalu dibangun pun menurutnya nampak seperti orang asing. Hanya tadi saja sedang sial.

Sesampainya di rumah Abigail, sepasang sahabat itu masuk ke dalam ruangan yang biasanya untuk merias. Belum ada siapa-siapa di dalam sana.

"Tumben Abby belum di sini," gumam Felicia.

Jaselle mengedikkan kedua bahu, lalu meletakkan koper yang ia bawa itu ke atas meja. "Mungkin sedang ada urusan. Yang penting kita sudah sampai di sini."

Sembari menunggu orang yang hendak dirias datang, Jaselle dan Felicia membicarakan tentang projek selanjutnya. Setelah dari Switzerland, mereka ada klien di mana lagi, kemudian permintaan tema yang diinginkan. Keduanya mengisi waktu luang dengan diskusi terkait pekerjaan. Hingga suara pintu terdengar didorong dari luar, barulah mereka diam.

"Kenapa kalian lancang sekali masuk ke sini?! Apa lagi pemilik rumahnya sedang tidak di dalam pula." Abigail baru saja melangkahkan kaki melewati pintu, tapi aura sinis dan rasa dongkolnya masih terpancar jelas.

Abigail bukan lagi wanita ramah seperti penilaian pertama kali saat Jaselle dan Felicia datang. Entah mana sifat aslinya. Tapi, orang yang takut kehilangan dan cemburu memang lumayan mengerikan saat bertindak.

"Bukankah kau pernah mengatakan bahwa kami boleh langsung masuk saja ke sini?" Jaselle yang menjawab. Lagi pula, ia bukan orang yang tidak memiliki aturan dengan seenaknya keluar masuk kediaman orang lain.

"Mulai sekarang tidak boleh lagi kalian sembarangan ke dalam rumahku!" peringat Abigail. Ia kemudian duduk dengan pantat yang dihempas kasar pada kursi, hingga terdengar suara penyatuannya. "Cepat dirias! Sudah siang baru datang."

Jaselle cukup membalas dengan senyuman, walau Abigail terlihat masih kesal padanya. "Baik." Ia raih foundation, lalu dituangkan ke telapaknya. Jemari hendak mengoleskan ke wajah kliennya, tapi wanita itu justru menghindar.

Abigail melengos supaya tidak disentuh oleh Jaselle. "Aku tidak mau dirias olehmu."

Menghela napas pasrah sekaligus mengalah, Jaselle memilih mundur satu langkah. "Ok, maaf jika aku ada salah denganmu, sampai kau terlihat benci sekali padaku." Dia memberikan tempatnya untuk Felicia.
.....
Langit di luar mulai gelap, tapi belum sepenuhnya cahaya matahari redup. Di rumah Abigail, wanita itu nampak menuntut penjelasan dari calon suaminya yang sejak kemarin hanya diam dan tidak mengatakan apa-apa. Setidaknya berikan padanya kalimat menenangan supaya lebih tenang. Ini justru Galtero sibuk dengan menerima telepon dari karyawan dan menghindar darinya. Tentu membuatnya sebal sekaligus dongkol. Ia ikuti kemanapun kaki sang pria melangkah, dan menanti selesai berbicara dengan orang di telepon.

Spodoba ci się także

          

Mau satu menit atau bahkan sejam pun Abigail akan tunggu Galtero selesai. Dia mau pria itu memberi tahu kenapa bisa sampai berduaan dengan Jassy. Pokoknya harus ada pembicaraan dan dituntaskan. Mendekati hari pernikahan justru membuatnya cemburuan sekali. Entahlah, perasaan ... dahulu saat pertama kali kenapan pun ia tak begitu tertarik pada Galtero, sekarang justru takut kehilangan.

Sang pria terlihat baru saja mengakhiri telepon. Galtero memasukkan ponsel ke dalam saku kembali. Tapi, tidak berniat untuk masuk ke dalam kamar. Dia juga mengabaikan calon istri, melewati Abigail begitu saja.

Merasa kesal karena Galtero tak kunjung sadar, Abigail pun menarik tangan calon suaminya hingga pria itu berhenti berjalan. "Apa kau tidak mau menjelaskan apa pun padaku?"

"Menjelaskan apa?" Galtero menjawab dingin dan santai, seolah ia tidak pernah melakukan apa-apa. Melepaskan cekalan sang calon istri.

"Tentang kemarin pagi."

"Jase—" Hampir saja Galtero kelepasan menyebutkan nama asli, tapi ia lekas meralat saat kening Abigail nyaris berkerut menuju penuh tanya. "Jassy sudah menjelaskan padamu, bukan? Lantas, untuk apa aku melakukan itu lagi?"

"Bisa jadi dia berbohong."

"Terserah kau mau berpikir alasannya benar atau bohong, aku tak urus." Galtero mengibaskan tangan. Dia malas berdebat.

Abigail menatap punggung sang pria yang berangsur masuk ke dalam ruang tamu. Galtero nampak menghempaskan tubuh di sofa, lalu mendaratkan kepala di sandaran, mata juga terpejam. Ia pun ikut duduk di sebrang.

"Tumben sekali kau mau minta maaf pada orang? Biasanya tak pernah mengaku salah, kenapa?" Abigail itu tidak bisa diam dan cukup menerima seluruh alasan.

Terdengar desahan kuat dan dikeluarkan penuh tekanan oleh Galtero. Dia sampai mengusap wajah kasar karena calon istrinya tidak mau diam. "Kau itu berisik sekali! Aku mau istirahat!" Seketika langsung berdiri dan hendak pergi mencari ketenangan di luar.

"Aku hanya ingin mendengar alasan versimu. Apakah salah seorang calon istri bertanya tentang itu?"

Muak rasanya dan telinga bagai berdengung. Daripada tak kunjung selesai, lebih baik Galtero putar tubuh hingga menatap wanita berwajah sendu. "Bukankah kau yang memintaku untuk lebih ramah pada make up artist idolamu itu? Kau yang menginginkan aku agar tidak membuatnya kapok, kan?" Memang dasar manusia tidak berhati, dengan calonnya pun tak ada kelembutan sedikit pun. Dia terlalu kesal karena terus didesak. "Lupa? Plin-plan sekali jadi manusia." Setelahnya ia pergi, keluar dari rumah Abigail. Terlalu pusing dan malas menghadapi calon istrinya.

Percaya syukur, tidak yasudah. Galtero malas memikirkan atau mengambil pusing urusan yang seharusnya tidak perlu diperdebatkan.

"Aku minta maaf karena sudah berpikir yang tidak-tidak tentangmu dan Jassy." Abigail berusaha mengejar, mensejajarkan langkah, serta berusaha menahan Galtero. "Jangan keluar malam-malam begini, dingin. Ayo kembali ke rumah," ajaknya. Kini terlihat amarah tak menguasai lagi.

Galtero berdecak malas. "Kau berisik, telingaku panas mendengar suaramu."

"Aku akan diam, asal kau pulang. Tak akan ku ungkit lagi masalah itu. Aku percaya denganmu, ternyata kau berusaha menuruti permintaanku supaya membuat Jassy nyaman."

Pria dengan kemeja yang tiga kancing atasnya selalu terbuka itu pun tetap mengayunkan kaki. Tidak peduli, dan memilih memasang telinga tuli.

Abigail semakin memuramkan wajah, dia tidak mau didiamkan begini oleh pria yang dicintai. Apa lagi ditinggal setelah dirinya berbuat sesuatu yang menyebalkan di mata Galtero, maka sebisa mungkin meminta pengampunan dahulu.

Cigarettes After SadOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz