Day 1

28 6 3
                                    

Hujun turun dengan lebat saat kami tiba di Vaclav Havel Praha Airport. Kami datang berenam untuk tujuan liburan. Sebuah liburan yang seharusnya menjadi awal dan akhir yang menyenangkan bagi kami.

Eugene segera menghentikan sebuah taksi. Seharusnya kami menggunakan dua taksi, mengingat kami berjumlah enam orang dengan membawa koper masing-masing. Namun supir taksi kami sangatlah baik. Dia berinsiatif mengikat sebagian koper kami di atas mobil. Kami sangat berterima kasih karena itu membantu kami meringankan biaya di samping harus menyewa taksi lainnya.

Di sepanjang perjalanan, kami bercanda ria. Terutama Stave yang selalu menggoda Alex bahwa dia diam-diam menyukai Yvonne. Aku tak terlalu menanggapi gurauan mereka, selain hanya dengan senyuman.

"Hey, Bevy. Apakah menurutmu hotel ini bagus?" ucap April sambil menunjukkan gambar sebuah hotel beranting bintang 4 di ponselnya.

Ya, kami harus segera menemukan hotel. Karena kami berpikir tidak sulit menemukan hotel di tempat ini, jadi take it easy. Aku menyetujuinya dan meminta sopir kami menuju ke tempat itu.

Rupanya kami kurang beruntung. Hotel telah penuh dengan tamu. Tak ada satu kamar pun yang tersisa sementara ini sudah hampir tengah malam.

Aku, April, dan Yvonne sibuk untuk mencari hotel yang pas di ponsel masing-masing. Kami cukup lama mencarinya. Bukan. Bukan karena tak ada hotel yang available. Melainkan kami harus mencari hotel yang tepat dengan harga yang murah. Mengingat kami harus menghemat uang selama di Praha. Sejujurnya, kami hanya ingin menghabiskan liburan selama seminggu saja.

"Hey, guys. I found it!" ucap Yvonne sambil menunjukkan ponselnya pada kami.

Sebuah hotel dengan rating bintang 3 dengan harga yang cukup terjangkau, memiliki 3 lantai, perapian di setiap kamar, dan air panas. Sayangnya, hanya terdapat dua kamar mandi di setiap lantai. Itu artinya kami harus mengantri dengan tamu lain.

Tidak apa-apa. Mengingat kondisi kami yang basah, kedinginan, dan mulai mengantuk, kami memutuskan untuk mendatangi hotel itu.

Kami tiba di sana. Persis seperti yang ada di foto, tetapi yang berbeda adalah kondisi hotel itu tak sebersih yang ada di foto. Tampak lumut dan warna cat hotel yang sudah pudar, serta gerbang yang berkarat. Tampak seperti hotel tua.

Stave segera memberikan uang kepada supir taksi beserta tips untuknya sebagai imbalan. Kami membawa masing-masing koper kami memasuki halaman hotel.

Kami tak memiliki pikiran buruk apapun pada hotel ini. Karena selain luas, hotel ini juga terletak di tengah pemukiman kota. Yang kami tahu, ini hanyalah hotel tua biasa.

Lonceng berbunyi begitu Eugene membuka pintu. Seorang wanita paruh baya menatap kami tanpa tersenyum. Kami membuat reservasi mendadak malam itu juga. Mrs. Lauren, itu yang kulihat di name tag-nya.

Kejutan! Ternyata hari ini hanya kami yang datang ke sini. Sehingga itu tak mempersulit kami untuk segera mendapatkan kamar.

Kami memesan dua kamar. Satu kamar untuk anak laki-laki. Satu lainnya untuk anak perempuan.

Kamar kami berada di lantai dua. Sayang, Mrs. Lauren mengatakan bahwa lift hotel sedang rusak dan tidak ada orang lain yang bekerja selai beliau di sini. Mrs. Lauren menolak membawakan koper kami karena itu di luar jobdesk dengan hotel, walaupun kami menawarkan tips untuknya. Sehingga kami terpaksa menaiki tangga dengan mengangkat koper masing-masing.

Kamar kami tidak berjejer, melainkan saling berhadapan. Aku, Yvonne, dan April di kamar nomor 39. Sedangkan Eugene, Steve, dan Alex di kamar nomor 40. Kami bisa melihat kamar mandi yang terletak di ujung masing-masing lorong.

Kami bersorak senang. Hanya ada kami di sini. Seolah-olah kami lah pemilik tempat ini. Kami sepakat mengatur bahwa kamar mandi di lorong kanan milik anak perempuan, sedangkan di lorong kiri milik anak laki-laki.

Kami segera masuk ke dalam kamar masing-masing, berganti baju, merapikan barang bawaan, lalu pergi tidur.

Sayangnya, walaupun tubuhku terasa lelah, tapi mataku menolak untuk tertidur. Tidak seperti Yvonne dan April yang sudah pulas setelah lampu kamar dimatikan. Seolah-olah tubuhku menolak terpejam di tempat yang baru dan asing.

Aku merebahkan diri dan menarik selimut. Tetapi Yvonne tiba-tiba menarik selimutku dan merebutnya sambil matanya terpejam. Aku mendengus kesal.

Aku berinisiatif mengambil selimut lain di lemari. Tetapi saat aku menurunkan kakiku, aku merasakan angin yang berhembus dari bawah ranjang. Seolah-olah ada yang sedang bernapas

di dekat kakiku

Hotel Mengerikan di PrahaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang