Aku menikah dengan suamiku sudah sejak setahun yang lalu. Kami memang menikah muda, tepatnya di usia dua puluh tiga tahun. Sedangkan suamiku saat itu berusia dua puluh empat tahun.
Ya, usia kami hanya terpaut satu tahun.Namaku Atika Moela, berstatus ibu rumah tangga tanpa anak. Karena alasan cinta aku menerima lamaran suamiku, Rafka Harris.
Bodohnya, aku tidak memikirkan kehidupan kami setelah pernikahan. Hidup di mana, makannya bagaimanapun, juga lain-lainnya yang tidak terpikir saat itu.
Aku menerimanya murni karena aku cinta begitu pun dengan dia. Sebulan dua bulan kami hidup bagaikan di surga. Setiap hari bisa saling bersentuhan tanpa ada yang melarang. Kami mau bercinta di mana saja bebas, asalkan itu di rumah kami sendiri.
Awalnya orang tuaku menentang pernikahan ini. Mereka bilang, aku masih cukup untuk menjalin hubungan serius seperti pernikahan. Masih banyak hal yang harus di gapai atau pun dilakukan selagi masih lajang.
Namun, baik aku maupun Rifki tak menghiraukannya. Kami merasa ikatan cinta ini semakin besar dan tak bisa dipisahkan walau hanya sehari. Aku selalu merindukannya ketika tidak bersamanya. Dia pun mengatakan hal yang sama.
Saat itu orang tua ku luluh, Rifki menawarkan keyakinannya untuk membawaku hidup bahagia di dalam bahtera rumah tangga yang akan kita jalani nanti.
Seperti yang kukatakan. Kebahagiaan kami tidak berjalan lama saat Rifki di pecat dari pekerjaannya karena sering sering terlambat. Sewa rumah sudah jatuh tempo, air, listrik, biaya hidup harus terus berjalan dan kami tidak ada pemasukan satu rupiah pun.
Aku stress bukan main. Apalagi saat melihat Rifki yang fokus ke ponsel setiap hari. Bukannya mencari pekerjaan lain, dia malah bersantai-santai dan menarik lenganku untuk ikut bermain bersama.
Tentu saja aku tidak mau. Kepalaku hampir pecah memikirkan masalah keuangan rumah tangga kami. Suara token listrik yang menjerit-jerit minta di dengar tak didengar sama sekali oleh Rafka. Dia tetap asyik dengan game di ponselnya.
"Sayang mau ke mana?" Rifki menahan lenganku. Matanya sekilas menatapku lalu kembali fokus pada layar ponselnya.
Apa dia tidak terganggu dengan kusutnya wajahku. Sebelum menikah dia paling tidak suka jika wajahku memberengut. Sekarang setelah tinggal bersama, dia abai terhadap apa yang aku rasakan. Sungguh menyebalkan.
Awalnya aku ingin kembali tinggal bersama orang tuaku. Tapi Rifki melarangnya. Katanya malu, biar dia bisa membuktikan jika dia mampu tanpa bantuan dari orang lain. Aku setuju asalkan dia berusaha. Nyatanya, dia hanya sibuk makan, tidur, dan main game saja.
"Ke dapur!" jawabku ketus.
Rifki kembali menoleh.
"Buatkan kopi, Sayang!" titahnya dengan senyuman.
Apa? Dengan santainya dia malah menyuruhku membuatkan kopi? Padahal tadi pagi aku sudah bilang jika semua isi dapur sudah habis. Bahkan, beras saja hanya sisa segelas.
"Gak bisa!" Keras, aku membantah.
"Lho, kenapa?" tanyanya tanpa mengalihkan pandanganya dari layar ponsel.
"Sudah kubilang, semua bahan makanan sudah habis. Sudahlah, aku pusing! Lebih baik kamu cari kerja saja, jangan hanya bisanya main game saja. Pusing aku melihatnya setiap hari hanya itu kerjaanmu!"
Terserah dia marah atau tidak. Yang jelas aku sudah sangat lengah dengan semuanya. Mana janjinya yang mau membahagiakanku. Kerjaannya hanya main, makan, dan tidur apa bisa membuat hidup ini bahagia. Yang ada hidup ini makin sumpek lihatnya terus seperti itu.
"Nantilah aku cari kerja!" sentaknya.
Lalu terdengar suara pintu dibanting. Selalu seperti itu jika aku sudah mulai mengeluarkan suara. Jika sudah seperti ini, aku selalu berpikir apakah aku salah telah menikah muda?
Apa benar yang dikatakan oleh orang tuaku jika dunia pernikahan itu tidak seindah yang dibayangkan? Entahlah, terkadang aku bahagia dan juga terasa menderita secara bersamaan.