Kuembuskan Bersama Angin

16 0 0
                                    

Aku menunggumu hari ini di Café Andita, Faris akan datang juga. Pukul 4 sore. Begitu isi pesan Alya. Artika hanya membaca pesan itu, tak membalasnya.

Hari ini, tepat 8 bulan sejak hari dimana dia terguncang hebat. Artika bersyukur mampu melalui hari-harinya. Ada air mata tentu saja. Dia seperti jungkir balik untuk melepaskan. Dia mendapati dirinya tertawa di siang hari dan menangis di malam hari. Untuk orang yang sama, dia pernah mengalami ini. Namun saat ini dengan situasi yang sudah berbeda. Semua telah berubah setelah hari itu.

"Kamu orang yang kuat, Tika. Kamu harusnya tidak usah datang ke resepsi itu." 

"Aku tidak mungkin tidak datang. Aku temannya dan aku menganggap dia seperti saudara. Aku ingin mengucapkan selamat langsung dari mulutku dan berdoa untuknya."

Alya menarik napas panjang, hari itu. Dia lalu terdiam. Dia tahu, apapun yang dia lakukan untuk membujuk Artika, dia akan tetap datang. Mereka berdua dalam perjalanan pulang menuju kota, setelah menghadiri resepsi pernikahan Salman di sebuah desa di luar kota. Alya mengakui bukan teman Salman, hanya kenalan saja. Namun dia hadir demi Artika. Dia tak tega membiarkan Artika hadir di sana mengenakan topeng untuk menutupi wajahnya yang merana. Dia ingin menemani Artika untuk menyaksikan orang yang dia cintai dengan tulus itu bersanding dengan perempuan lain. Dia bahkan tak segan menampar Artika dengan kata-kata yang terdengar kasar.

"Artika, kamu memang bodoh sekali. Sejak awal dia tak pernah melihatmu. Kamu saja yang memiliki perasaan itu. Dan kamu bodoh sekali memilih terlarut dengan perasaan itu. Kamu jadi merasa sakit sendiri. Mana pernah dia menyapamu? Apakah dia pamit denganmu untuk menikah? Setidaknya bercerita! Bukan tentang kamu saja, tapi tentang apa yang sudah kalian berdua bangun dan usahakan bersama. Project kalian, visi dan mimpi kalian itu. Apa dia sama sekali tak melihatnya? Bahkan kamu tak dilirik sebagai teman atau saudaranya. Kamu bodoh! Bodoh!"

Artika diam saja. Kali ini tak ada air mata. Mungkin air matanya sudah habis. Seminggu bahkan sebulan sejak pertunangan Salman dan Safira. Tak ada hari tanpa air mata. Saat itu dia bertanya-tanya dalam kehancuran hatinya.

"Saya ingin mencapaimu. Saya berjuang setiap hari berjalan bersamamu. Saya selalu berusaha mewujudkan apa yang menjadi cita-cita kita bersama. Mengapa dirimu tidak dapat melihatnya sedikitpun hingga akhir? Apakah kiriman doa yang tulus selalu kalah dengan kehadiran di hadapan mata? Mengapa kamu tega ? Apakah aku pernah melukai hatimu? Mengapa kamu tega? Apakah kamu memang tak tahu segala upaya tulusku untuk memahami? Atau aku memang tidak layak? Kamu berhasil menghancurkan keyakinan yang saya jaga selama ini. Semua telah roboh."

Cuplikan-cuplikan kenangan memenuhi pikiran Artika sore ini. Perkenalannya dengan Salman, pertemuannya secara langsung yang baru beberapa kali pada momen yang tak terduga, yaitu kematian ayah dan ibu Salman. Kilasan momentum pertemuan di ruang maya yang jauh lebih intens telah memberikan harapan tak terucap pada Artika akan ikatan diantara mereka. Di dalam doa Artika, dia memang merasa takut untuk menyebut nama Salman. Namun, selalu terselip keyakinan yang mungkin juga adalah tipuan-tipuan perasaan dan klise yang dimunculkan setan.

Dia kembali mengingat percakapannya dengan Alya, di perjalanan kembali ke kota malam itu.

"Tika, apakah kamu harus tetap mengusahakan project bersama kalian itu? Bukankah itu artinya kamu berjalan menuju lukamu setiap hari? Bagaimana kamu bisa sembuh, Tika?

"Alya, aku tidak membangun project ini karena dia. Kamu tahu kan bagaimana nilai pribadiku? Bagaimana tujuan-tujuanku? Bahwa kami berdua dipertemukan melalui project ini, itu bagian dari aku mencapai tujuanku."

"Tapi tetap saja. Kamu pasti sulit untuk tidak membuka lukamu, Tika. Aku khawatir kamu sulit memulai dan mencintai orang lain kembali."

"Alya, mungkin begitulah konsekuensi dari pilihanku mengikuti perasaanku."

"Tik, jangan menyalahkan perasaanmu padanya. Kamu tak bisa mencegah itu." 

"Dari awal aku tidak berusaha mengelolanya, hanya dengan satu keyakinanku bahwa Tuhan akan menunjukkan jalan-Nya. Tuhan telah menunjukkan jalan. Namun bukan jalan yang kuinginkan. Barangkali jalan yang kubutuhkan. Alya, bisakah seseorang menjadi soulmate meskipun tak berjodoh?"

"Tika. Kumohon berhentilah berusaha sendiri. Berhenti sakit sendiri. Kamu akan menemukan soulmate-mu yang juga jodohmu. Bukan dia. Sudah jelas bukan dia. Aku memperingatkanmu. Ingat, dia tak pernah menghargai perasaanmu." 

"Alya, awal bagi seseorang, bisa menjadi akhir bagi orang lain. Kebahagiaan seseorang, bisa menjadi kesedihan bagi orang lain. Setiap hari ada manusia yang lahir ke dunia ini dan ada yang meninggalkan dunia. Setiap hari matahari terbit di suatu belahan dunia dan terbenam di belahan dunia lain." Artika seperti berkata kepada dirinya sendiri.

"Tika, ini bukan akhir untukmu. Jalanmu masih membentang. Tolong terus berjalan...." Alya kehabisan kata-katanya.

Air mata Artika mulai menetes. Dia merasakan itu karena angin yang menerpa wajahnya dari balik jendela kaca yang sedikit terbuka. Artika sedang berada di titik semburan perasaan yang meluap dan pikiran rasional untuk memadamkan semburan itu. Dia berkata kepada diri sendiri.

Terima kasih sudah bertahan! Bukankah Engkau hampir menyerah pada mimpimu saat ini untuk memulai membangun mimpi lain demi memberikan ruang kepada Salman? Bukankah kamu telah banyak kehilangan kepercayaan dirimu untuk menghidupkan harapan yang sepihak ini? Banyak momen ketika engkau belajar bahwa engkau adalah satu-satunya orang yang terus berjuang dan berjuang lebih dahulu, namun dia tak pernah melakukan sesuatu di tempat yang pertama . Lagi dan lagi. Kamu telah memberikan banyak sekali ruang untuk mengerti, mengapresiasi, memaafkan, dan berkata jujur, namun dia tak pernah memberikan nilai sebanding untuk hal itu. Dia hanya datang dengan caranya sendiri.

Inilah jawaban dari Tuhan, Artika. Agar kamu undur diri dari pergolakan yang mungkin hanya akan menghancurkan satu pihak saja. Agar engkau tersadar segera, untuk tak menghancurkan diri. Agar engkau segera mengatur perjalanan baru. Kamu bisa, Artika!

Artika terus menangis, menyadari seberapa dalam hatinya tenggelam dan tertambat kepada Salman. Artika membuka jendela kaca, membiarkan angin masuk menerpa dengan lembut sudut-sudut ruangan kecil itu. Kepada angin, dia melepaskan semua ikatan hatinya untuk Salman yang tak pernah terungkapkan. Dengan sebuah pesan.

"Salman, kita telah berjalan berdampingan di sepanjang jalan yang ternyata berbeda. Saling sejajar satu sama lain. Namun jalan itu tak pernah bersinggungan. Seperti garis paralel. Pada akhirnya, tak pernah bertemu hingga akhir jalan. Mari berbahagia dengan jalan masing-masing. Tenang saja, ini bukan tentang project itu. Project itu akan selalu kujaga bukan karena kamu, tapi karena diriku sendiri. Ya Allah, aku mengembuskannya bersama angin. Aku melepaskannya bersama angin. Aku ingin bahagia"

Seorang lelaki berusia 30-an sedang duduk di sebuah meja bundar bagian luar restoran. Kelihatannya dia memilih meja itu untuk merasakan semilir angin yang menyejukkan sore itu. Seperti nuansa musim gugur di negara empat musim. Di tengah-tengah kesibukannya menatap notebook ditemani secangkir cokelat manis, perhatiannya tak sengaja tertuju pada seorang perempuan yang menangis di jendela lantai tiga sebuah gedung, yang nampaknya adalah sebuah kantor. Sesaat dia menatap mata wanita itu dari jauh. Tiba-tiba dia merasakan simpati yang mendalam. Sambil menunduk, dalam hati dia berkata "apapun yang terjadi padanya, semoga dia baik-baik saja". Saat dia kembali melihat ke arah jendela. Wanita itu sudah tidak disana lagi.

Artika segera bangkit untuk memenuhi panggilan Alya dan Faris pukul 4 sore. Dia memutuskan untuk pergi. Dia, walaubagaimanapun, harus bangkit dan melanjutkan hidup. Menjaga balutan luka dihatinya agar tak terbuka ketika berada di sekitar Salman. Dia akan belajar melihat Salman dengan perspektif yang lain. Mungkin sebuah cinta tanpa syarat yang platonik di antara dua orang teman. Atau, dua orang asing yang saling berhubungan karena urusan pekerjaan saja.  Bagi Artika,  ada empat bulan lagi untuk menata hidupnya, memulai harapan baru, sebelum tahun ini berakhir. 



Faith, Love, and Courage (Cerita-Cerita Pilihanku)Where stories live. Discover now