"Sunday morning, rain is falling. Steal some covers, share some skin. Clouds are shrouding us in moments unforgettable. You twist to fit the mold that I am in—" Nyanyian merdu itu terdengar keras hingga ke ruang perpustakaan. Aku mengernyitkan dahi, sementara yang lain menertawakan suara Gian dan Bang Takeya yang sumbang dan berhasil mengusik suara Bibi Tandara yang merdu. Meski hujan gerimis turun, tekad kami untuk menghabiskan akhir pekan tak terlalu buruk di sini. Mungkin setelah hujan berhenti, kami akan menggunakan halaman luas milik perpustakaan ini untuk bermain voli.
"Menjelang keberangkatannya ke Argentina, kegilaan Takeya mulai terlihat, ya." kata Bang Dani seraya melihat kelakuan temannya itu melalui jendela. Terlihat Bang Dani serta Bang Araki memandang heran ke arah Gian. "Anak itu sebenarnya sedih tapi justru ditutup-tutupi."
"Gian memang dari dulu dekat dengan Takeya, obrolannya saja bisa berubah-ubah dari voli sampai masalah perempuan. Ya begitulah." timpal Bang Iza yang sudah bersahabat sejak kecil dengan Bang Takeya. Mungkin mereka memang terlahir seperti anak kembar berbeda orang tua saja. "Takeya dekat dengan siapa saja, tapi sebenarnya ia nggak pandai mengungkapkan perasaannya sendiri. Sedih karena Ibunya saja, ia masih tertawa-tawa seolah nggak ada apa-apa."
"Kak Koga, bisa bacakan ini untukku?" pinta Noah yang sedang memegang buku cerita bergambar dan menatap kami satu persatu dengan tatapan lemah. Bang Koga mengembangkan senyumnya dan meraih tangan Noah untuk duduk di dekatnya. "Kak Koga, apa benar semua keluarga akan berpisah suatu hari nanti?"
"Hm, maksudmu seperti seorang kakak yang akan pindah ke suatu tempat?" Noah mengangguk. "Ya tergantung. Langkah seseorang itu berbeda-beda dengan orang lain, nggak akan ada yang sama termasuk sebuah keluarga. Memangnya ada apa, Noah? Kamu sedih karena Rui akan pindah ke asrama?"
Sebenarnya aku cukup benci dipisahkan atau berpisah dengan orang-orang yang dekat denganku, termasuk mereka. Bang Dani pernah memutuskan untuk pindah ke kota, namun Gian serta Bang Yoshi menangis tak karuan sepanjang hari seperti dua anak kecil. Dan aku benar-benar tidak suka melihat orang lain menangis. Kemarin malam saja, Gian, Genta, bahkan Bang Araki menangis ketika Bang Takeya berkata jika ia akan pindah ke Argentina mengikuti jejak impiannya. Sudah beda benua, beda jam pula. Dan aku tak bisa berbohong kalau aku juga merasa sedih atas keputusan Bang Takeya yang akan pindah karena bagaimanapun, kami sudah bersama-sama sejak SMA.
"Nggak apa-apa kalau mau bersedih, toh itu artinya kamu memang menyayangi kakakmu. Tapi kak Koga tanya sekali lagi, kakakmu sangat ingin pindah ke asrama untuk mencapai impiannya, bukan?" Tak ada tanggapan dari Noah dan ia terlihat semakin sedih mendengar hal ini. "Noah, kamu sudah mengobrol dengan Kak Rui soal kepindahannya?"
Sebelum Noah menjawab, Sam berkata lantang tanpa permisi, "Sudah, dan Rui tetap mau pindah ke asrama! Aku kesal sekali karena ia nggak mau mendengarkan kami! Memangnya kenapa sih kalau di sini saja? Bikin kesal saja!" Oke, aku sering melihatnya bertengkar dengan Noah, marah-marah terhadap Rui bahkan Ibunya, tapi tak pernah melihat Sam yang marah-marah karena Rui akan meninggalkannya. Jika dipikir-pikir, keberadaan kami mirip dengan Noah tapi perasaan dan pikiran terwakilkan oleh Sam.
"Ah sial, aku ingin menangis." celetuk Bang Kana tiba-tiba. Ia mengusap wajahnya, lalu menatap Sam dan Noah secara bergantian. "Hei, kalian tahu impian Rui yang sebenarnya?" tanyanya lembut. Noah dan Sam memandang ke arah Bang Kana dengan tatapan sendu. Tatapan itu terlihat sedikit menyedihkan karena kami tak pernah melihat kedua mata yang seringkali berbinar itu meredup. Ah, begitu ya kalau memiliki saudara kandung.
"Rui ingin menjadi fotografer, Kak Kana." jawab mereka bersamaan. Namun suara itu seolah tenggelam dalam kesedihan.
Bang Kana menyentuh pundak keduanya dan tersenyum lebar, ia berkata, "Kalian tahu tidak kalau menjadi seorang fotografer, ia harus berkeliling ke segala tempat. Ia harus meninggalkan keluarganya agar ia bisa memotret tempat-tempat indah yang belum pernah dilihat oleh keluarganya." Bang Kana mengembuskan napas perlahan-lahan dan kembali melanjutkan, "Kalau suatu hari, ia harus pergi meninggalkan rumah untuk belajar, kalian harus merelakannya kan?" Tak ada jawaban dari keduanya, meski mereka tahu Rui semestinya pergi meninggalkan mereka untuk belajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
kelabu di langit biru
General FictionTenma adalah seorang yatim-piatu. Trauma akibat kebakaran hebat yang menelan hidup-hidup kedua orang tuanya, telah membentuk Tenma menjadi pribadi yang tertutup. Namun sebuah surat tentang masa-masa menyenangkan orang tuanya, menuntun Tenma menikmat...