16- Petang Bawa Kau Kepelukan

3.8K 542 2.1K
                                    

"Aku, mungkin tak pernah bilang. Karena sepertinya, cinta bukan kata. Tapi rasa, yang terkadang tak kau pahami."

Kara menangis melihat poto yang baru saja ia lihat dari ponsel Rendra. Itu gambar Luna saat di kantor polisi, Rendra mendapatkan untuk membuat laporan bebas hukuman untuk sepupunya tersebut.

Wajah lebam dan terluka tampak begitu segar, belum lagi hidungnya yang mengeluarkan darah segar tak kunjung usai. Di gambar itu, tatapan Luna kosong dan tak punya arti, ia seolah kehilangan segala akalnya.

Jonathan sudah berulang kali menceracau tak jelas. Segala sumpah serapah dan segala jenis nama-nama hewan terlontar bebas, terkhusus untuk laki-laki bernama Kavindra, seseorang yang kini sudah mendekam di penjara sambil membawa nama Luna untuk terseret bersamanya. Samahalnya Narda yang tak kenal henti mengusap punggung Rendra untuk menyalurkan ketenangan yang tak seberapa, Jinan yang duduk tanpa suara, Mahesa yang baru datang terbirit-birit karena menerima pesan kalau Rendra ingin meminjam uang untuk mengembalikan uang Cakra.

"Harusnya gue lebih banyak merhatiin dia. Setelah gue ingat-ingat, gerak-gerik Luna beberapa hari terakhir agak aneh, jarang mau makan, jarang keluar kamar, biasanya suka make baju-baju pendek pun belakangan ini di tutup rapet pake hoodie." Rendra menghela napas panjang, lelah dan kecewa- pada dirinya sendiri. "Gue harus bilang apa ke orang rumah, Jo?"

Rendra menghadap Jonathan yang ada di sebrang meja, laki-laki yang sejak baru datang sudah memenuhi segala sudut dengan sumpah serapah, bahkan kursi yang ia jegal sendiri pun dimarahi.

"Di sini udah ada yang bisa ngehubungi, Cakra? Dari tadi gue telpon nomornya nggak aktif." Narda bertanya, sudah puluhan kali ponselnya bekerja keras menghubungi Cakra tapi hasilnya nihil.

Beberapa dari mereka menggeleng, tidak ada satupun yang tahu kemana perginya bocah itu, dengan Luna yang ikut hilang tanpa jejak.

"Pulang ke Surabaya apa ya? Abang udah ada nelpon orang rumah?" tanya Jinan sambil menghadap Rendra. Saat itu, yang bisa ia lihat hanya helaan napas berat.

"Tadi siang udah gue bilangin jangan dibawa pulang, soalnya gue takut orang rumah kaget liat keadaan Luna. Tadi sore juga gue nelepon Mama, dan orang rumah nggak ada bahas apa-apa, nggak nanyain Luna atau ada kejadian apa di sini, jadi gue simpulkan kalau Cakra dengerin permintaan gue."

"Atau mereka belum sampe?" Suara Jonathan membuat Rendra mengangkat kepala, matanya sudah merah, ditambah tebakan Jonathan, ingin menangis saja rasanya. Takut, sudah jelas. Siapa yang siap dimarahi sekeluarga besar karena membiarkan adik sepupunya dipukuli dan terjerak kasus narkoba? "Perjalanan ke Surabaya kan sekitar 10 jam, belum macetnya. Ini mereka baru ngilang sekitar 6 jam. Gue simpulkan mereka masih di perjalanan."

"Aarghhhhh lu bikin gue makin pusing, Jo!"

"Luna nggak bisa dihubungi?" Mahesa ikut bertanya-tanya.

"Ponsel Luna ditahan polisi, buat barang bukti."

Setengah dari mereka mengendurkan bahu. Siapa sangka kini yang membuat mereka pusing adalah Cakra bukan lagi Luna. Meski yah, Rendra masih butuh beberapa pertolongan lagi untuk melunasi uang yang Cakra pakai demi menebus Luna. Ia sudah meminjam lima belas juta dari Jinan, Mahesa hanya bisa memberi lima juta karena ia juga memiliki tanggungan untuk pengobatan Helena, Kara hanya bisa memberi lima juta, Jonathan dan Narda belum bisa membantu karena mereka berdua masih harus membayar beberapa tagihan. Rencananya Rendra ingin meminjam kepada Sagara, tapi ia masih harus berpikir seratus kali untuk mengirimi laki-laki itu pesan. Keluarga itu masih berkabung, tak pantas rasanya.

"Tapi kayanya, Cakra nggak balik ke Surabaya," ujar Mahesa di tengah-tengah hening. Semua dari mereka langsung menghadap Mahesa. "Cakra pasti dengerin Rendra. Kita nggak kenal Cakra sehari dua hari, kan? Cakra itu penurut sama Rendra, lebih nurut daripada sama abangnya sendiri."

4. Menembus Cakrawala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang