Netflix and Chill

29K 2.3K 56
                                    

Netflix and Chill bukan sebuah kegiatan bersantai sambil menonton Netflix, tetapi...

"Iya, aku tahu, kok!" Kinara tertawa. "But this is literally watching Netflix and chilling under my blanket."

Deva berdecak. Ia sudah panik awalnya. Mau dengan siapa gadis itu? Walaupun, itu bukan urusannya sama sekali, sih.

Deva membelokan kakinya sedikit ke arah kanan, berlawanan dengan lift yang berada di kiri. Kaki Kinara mengikuti Deva. Benar kata Deva, di sana, tampak sebuah kios gelato yang berbentuk seperti truk.

Kinara memerhatikan gelato aneka rasa itu dengan pandangan berbinar. Sementara Kinara memilih rasa dark chocolate dan matcha, Deva tampak memilih dark chocolate dan sorbet rasa stroberi. Pilihan yang cukup untuk membuat dahi Kinara berkerut.

"I love the contrast of its flavor." Deva buru-buru menjelaskan sebelum Kinara melayangkan protes.

Kinara memajukan bibir bawahnya dengan pandangan mengejek. Sementara, Deva memandang Kinara dengan lidah terjulur.

Keduanya diam. Saling melempar tersenyum sebelum tertawa.

"So, that's all for today, I guess." Deva berkata canggung. 

Kinara mengangguk pelan. Tiba-tiba, ada rasa berat menggelayut di dadanya.

"Gue balik, ya? Mobil gue parkir di Central Park, soalnya." Deva menunjuk ke arah eskalator yang terletak di belakang punggung dengan ibu jari. "See you on Monday, Nar."

Tubuh Deva berbalik. Berjalan sedikit menjauh beberapa langkah sebelum....

"Mas Deva!" panggil Kinara tiba-tiba.

Deva menghentikan langkahnya.

"Wanna do Netflix and Chill with me?"

Mata Deva membelalak begitu mendengar suara Kinara yang sedikit keras. Ia berjalan mendekat lalu dengan segera mendesis kecil.

"Lo gila, ya?"

Kinara tersenyum jahil. Tanpa menjawab, ia membalik badan ke arah lift dengan santai. Dari sudut matanya, Kinara bisa melihat Deva yang mengikutinya.

Keduanya berjalan tanpa kata hingga ke lift lalu masih diam hingga sampai di depan unit yang Kinara tempati. Setelah Kinara menempelkan kartu akses dan membuka pintu, kini tampak unit apartemen yang sudah lama tak Deva lihat.

"Kupikir Mas Deva nolak, tapi ternyata malah ikutin aku sampai sini," goda Kinara.

Deva membuang pandangan. "Gue kasihan lihat lo sendirian!" balasnya.

Kinara menyunggingkan senyum tipis. "Mas Deva juga sendirian, apa bedanya?"

Deva memajukan bibir tanpa menjawab KInara. Ya, dirinya juga sendirian. Mereka berdua adalah dua orang sendirian yang tak tahu harus berbuat apa.

Lelaki itu menarik napas saat kakinya menjejak ke dalam unit. Tak ada yang berubah dari tempat itu. Bayangan akan hari-hari pertama Arubaito menyeruak ke permukaan.

"Mas Deva mau bengong di depan pintu sampai kapan?" sindir Kinara yang sudah melenggang ke arah dapur.

Deva mendecih pelan sambil menutup pintu dan ikut ke dapur. Pandangannya langsung tertuju pada botol minum Corkcircle warna biru yang berada di rak piring. Matanya membulat.

"Ya ampun! Tumbler gue dari dulu gue cariin. Gue pikir hilang sampai gue relain!" Lelaki itu mengambil botol minum berharga ratusan ribu tersebut dari atas rak piring sambil memegangnya seperti benda berharga.

          

Kinara menggeleng dan tertawa kecil melihat tingkah Deva. "Udah aku duga. Aku pikir, Vasha gila juga naruh Corkcircle di sini. Ternyata punya Mas Deva, toh!"

Deva mengacungkan botol minum itu. "Thanks udah nemuin botolnya." Ia kemudian meletakan botol tersebut di atas meja bersebelahan dengan tasnya.

Dari sudut mata Kinara, ia bisa melihat Deva yang melempar tubuh di atas sofa. Tangan lelaki itu langsung mengambil remote seolah seperti rumahnya sendiri.

"Mau teh, Mas?" tawar Kinara kemudian.

Deva menengok ke arah Kinara sambil mengangkat alis. "Teh banget?"

"Di rumahku cuma ada teh sama air putih. Pilih aja mau yang mana!" tukas Kinara balik.

"You have no booze? Lo kan temennya Vasha! Pasti stok miras lo segudang!"

"Heh!"

Deva terkekeh pelan lalu membalik badan. "Apa aja deh!" jawabnya kemudian.

Kinara tersenyum tipis. Gadis itu kemudian berbalik. Tangannya meraih kontainer berisikan bunga krisan kering yang baru ia beli beberapa hari lalu. 

"Lo sampai kapan di Jakarta? Bener-bener cuma sampai enam bulan?" tanya Deva tiba-tiba tanpa melepas pandangan dari layar televisi. Lelaki itu seperti tengah memilih-milih film untuk ditonton.

"Iya, mungkin, enam bulan," jawab Kinara mengambang sambil tangannya mengambil sendok takar. "Atau lebih. Masih nyari kerjaan juga, soalnya."

"Terus, balik ke Singapur? Atau... gimana?"

"Belum tahu." Kinara menjawab. "Pengennya sih balik ke Singapur atau kalau dapet rejeki kerja di Jakarta ya di sini. Opsi terakhir, balik ke Surabaya, ngelanjutin usaha orangtua."

"Kalau cuma enam bulan, ngapain pulang sampai resign segala?" tanya Deva lagi. "Lo nggak kena layoff, kan?"

Mendengar itu, sontak Kinara menggeleng walau Deva tak melihatnya. "Enak aja! Aku keluar kemauanku sendiri! Bukan kena PHK."

"Lah, terus?"

Hening. Deva menengok ke arah Kinara yang tengah menyeduh bunga krisan itu menjadi teh. Gadis itu kemudian berjalan menghampiri Deva dan meletakan dua cangkir teh krisan itu di meja. Ia juga meletakan semangkuk keripik kentang di tengah mereka. Ia juga meletakan sebotol soju dan dua sloki di sana.

"Aku pulang karena rencananya mau nikah, Mas," jawab Kinara akhirnya saat duduk di sofa. "Kalau di Singapur, susah koordinasi persiapannya, kan?"

"Jadi, lo buang karir lo demi nikah? Lo sinting?" Deva mengangkat satu alis.

Kinara terkekeh. "I'm mad in love with him, maybe."

Deva mengerutkan dahi. "Tunggu... Tadi kata lo, lo mau balik Singapur lagi, cowok lo orang mana? Singapur? Apa gimana? Kalau memang dia juga kerja di sana, kenapa lo harus berhenti?"

Kinara menarik napas mendengar bredelan pertanyaan Deva. Ia ikut membanting diri di sofa lalu mengambil cup gelato-nya yang isinya mulai sedikit mencair.

"Tunanganku selingkuh," ucap Kinara lirih sambil mengaduk-aduk gelato. "Pas aku pulang, aku nemuin dia selingkuh."

Kalimat itu membuat Deva bungkam tiba-tiba. Lelaki itu memandang Kinara yang ekpresinya berubah sendu. Sesaat, ia menyesali kebodohannya.

Canggung meliputi keduanya. Deva menarik napas sambil buru-buru memutar otak.

"Kata lo, nggak ada minuman lain selain teh atau air putih," sindir Deva sambil terkekeh untuk mengalihkan topik. Ia langsung membuka minuman itu begitu saja dan menegaknya dari sloki. "Bener kan! Satu spesies sama Vasha!"

Kinara mendecih. Ia ikut mengambil botol soju itu, menuangnya dan menegaknya dalam satu tegukan.

"Gue kenal Valdo sama Vasha dari lama! Vasha tuh party animal. Motonya work hard play harder. Tiap weekend pasti party. Pas hamil, dia kayak mau gila." Deva nyerocos sambil menuang tuangan keduanya. "Gue inget banget pas SMA, Valdo nyariin Vasha yang nggak pulang sampai subuh."

"Ya, nggak bermaksud menjustifikasi sih, tapi, tentang work hard play harder, apa salahnya sih kalau kita ngasih self-reward buat diri kita yang udah kerja keras?" tukas Kinara.

 "Ya nggak ada sih," jawab Deva. Ia lupa sejak kapan dirinya memberikan penghargaan untuk dirinya sendiri.

Lelaki itu melirik ke arah slokinya. Sudah tegukan ketiga yang masuk ke tubuhnya. Sesuatu yang sudah lama tak pernah ia sentuh setelah sekian lama.

Deva menghela napas. Apa ia benar-benar sudah terlalu gila kerja?

Pain PointDonde viven las historias. Descúbrelo ahora