40. Ajakan Andra

2.4K 197 8
                                    

Andra merasa lega merasakan dua tangan Icha yang melingkar di pinggangnya, lalu memeluknya erat. Namun, leganya kali ini agak berbeda dari sebelum-sebelumnya. Ada perasaan asing yang menyusup jiwa dan raganya, perasaan yang sudah lama tidak singgah di dalam hidupnya di beberapa tahun terakhir.

Motor Andra sudah berada di jalan besar dan sudah separuh jalan, tapi hari semakin gelap dan ada pula rintik-rintik hujan. Andra menoleh ke belakang tapi tatapannya tetap ke depan, "Mau berhenti dulu, Cha ... apa terus saja?" tanyanya saat dia berhenti di lampu merah.

"Terus aja, Pak. Gerimis doang. Sebentar lagi juga nyampe," jawab Icha.

Andra tertawa kecil mendengar jawaban Icha, juga menggeleng. Dia mengusap-usap lutut kiri Icha sambil menunggu lampu berubah hijau. Merasakan sikap hangat Andra, Icha memberanikan diri mengeratkan pelukannya. Tak lama kemudian, lampu berubah hijau, Andra sengaja melajukan motornya kencang tapi tetap terkendali, sehingga dada Icha sedikit tersentak ke punggungnya, dan Icha kembali mengeratkan pelukannya. Andra tersenyum simpul merasakan daging kenyal yang menyentuh punggungnya.

Gedung apartemen Andra sudah kelihatan dari jalanan, akan tetapi gerimis sore itu mulai berubah menjadi hujan. Andra ragu melanjutkan perjalanan, apalagi dia melihat beberapa pengendara motor sudah banyak yang berteduh di bawah jembatan flyover. Andra akhirnya memilih berteduh di salah satu gedung ruko yang dia lewati.

Untung Andra berhenti dengan cepat, karena hujan semakin lebat. Andra lalu menyuruh Icha turun lebih dulu dan berteduh di bawah kanopi depan ruko. Setelahnya, barulah Andra turun dari motornya.

"Tunggu sebentar ya, Cha." Sambil memperbaiki jaketnya Andra memasuki ruko yang menjual barang kelontong. Ternyata dia membeli dua bungkus rokok.

Andra ke luar dari ruko dan mendekati Icha yang berdiri sambil memeluk diri.

Seorang penjaga toko menyerahkan dua kursi plastik yang saling menempel ke Andra, Andra lalu memisahkannya dan memberi Icha kursi untuk diduduki, karena tampaknya belum ada tanda-tanda hujan reda, malah semakin lebat.

Melihat Icha memeluk diri dan hanya memakai cardigan rajut tipis, Andra membuka jaketnya, dan memakaikannya ke tubuh Icha.

"Icha nggak dingin, Pak," ujar Icha pelan. Dia melihat Andra yang hanya memakai kemeja putih yang bahannya tidak terlalu tebal, tentu lebih membutuhkan jaket daripada dirinya.

Andra menyentuh pipi Icha pelan sambil menatap wajah Icha, lalu berkata, "Kamu kedinginan. Pakai saja."

Tidak tubuh saja yang terasa hangat setelah memakai jaket Andra, tapi juga perasaan Icha, senang pipinya disentuh tangan Andra, dan rasanya Icha ingin sekali langsung memeluk Andra saat itu juga.

Andra lalu duduk di samping Icha.

"Pernah hujan-hujan naik motor, Cha?" tanya Andra sambil melirik ke Icha dari samping.

"Nggak, Pak. Baru kali ini."

Andra tersenyum mendengar jawaban Icha.

"Maaf ya. Saya malah ajak kamu naik motor sambil hujan-hujanan."

"Nggak apa-apa, Pak. Icha seneng kok."

"Maaf juga, sudah bikin kamu nggak semangat nulis," ucap Andra lagi.

Icha tertegun mendengar kata-kata maaf dari Andra. "Bapak nggak marah lagi kan sama Icha?"

Andra terkekeh, "Nggak, Cha. Justru saya khawatir nggak ada kabar dari kamu. Semua mahasiswa bimbingan saya sudah menyelesaikan skripsi dan mereka sekarang sibuk mempersiapkan wisuda. Cuma kamu yang belum."

Icha mengangguk pelan.

Andra menoleh ke Icha lagi. "Masih mau lanjut nulis kan?"

"Iya, Pak."

"Ngapain aja sebulanan ini?"

"Icha main ke PA deket rumah."

"Panti Asuhan?"

"Iya."

Andra tersenyum hangat mendengar jawaban Icha, memuji dalam hati bahwa Icha telah menyadari kesalahannya dan menumpahkan kekecewaan ke hal yang lebih baik.

"Kamu nggak punya banyak teman, Cha? Saya perhatikan cuma Tesa yang dekat dengan kamu."

"Banyak sih sebenarnya, Pak. Cuma yang paling deket dan Icha ngerasa nyaman ya sama Tesa. Oiya, Tesa minggu depan ujian skripsi. Icha rencananya mau datang dan liat dia ujian."

"Bagus. Nanti sekalian dipelajari suasana ujian, biar kamu nggak tegang nanti."

"Emang masih ada waktu, Pak?"

"Kita liat saja nanti. Yang jelas tergantung kamu, dan yang terpenting kamu menguasai isi skripsi kamu."

Icha menghela napas panjang, senang dengan kata-kata Andra yang optimis.

"Kamu sebenarnya cukup menguasai, tinggal dipertajam analisa kamu. Nggak sulit," ujar Andra meyakinkan.

"Baik, Pak."

Hujan sudah tidak lebat lagi, dan hari semakin gelap. Tidak ingin berlama-lama menunggu, Andra mengajak Icha melanjutkan perjalanan. Lagi pula, apartemennya tidak begitu jauh, hanya beberapa menit dari ruko tempat mereka berteduh.

Setelah mengucapkan terima kasih kepada pemilik ruko, Andra menaiki motornya.

"Bapak nanti kedinginan, Icha kan duduk di belakang, jadi nggak akan basah," Icha hendak melepas jaket Andra, tidak tega melihat Andra tanpa jaket, dan rintik-rintik hujan jatuh mengenai kemejanya.

"Nggak apa-apa, Cha. Ayo cepat naik," elak Andra yang sudah menyalakan mesin motor.

Hanya beberapa menit, motor Andra sudah memasuki parkiran di basemen gedung, dan tampaknya Andra tidak terlalu basah kuyup, sementara Icha hanya basah di celananya.

"Biar Icha yang bawa sendiri, Pak," ujar Icha saat Andra mengambil tas Icha dari bagasi motor dan mendekapnya di dada, Andra juga membawa ransel di punggungnya.

"Udah, jalan," Andra lagi-lagi mengelak dan ingin Icha merasa nyaman.

Saat berjalan menuju lift, Andra meraih tangan Icha dan menggenggamnya. Sekejap, Icha merasakan darah di dalam tubuhnya mengalir sangat cepat, refleks, dia membalas genggaman tangan Andra.

Keduanya terdiam di dalam lift, dengan tangan yang saling menggenggam. Sambil menunggu lift berhenti, Andra sesekali memainkan tangan Icha dengan mengusap-usapnya. Icha memejamkan matanya menikmati momen berduaan di dalam lift, tampaknya Andra mulai menunjukkan tanda-tanda menyukainya. Entahlah, Icha benar-benar sangat mengharapkannya.

Icha membuka matanya saat lift berhenti. Masih bergandengan tangan, Andra dan Icha melangkah menuju pintu apartemen.

Setiba di depan pintu apartemen, Andra dengan cepat membuka pintu dan menyuruh Icha masuk lebih dulu.

Kini keduanya sudah berada di dalam apartemen. Andra meletakkan dua tas di atas meja bar dapur yang berada di dekat pintu depan apartemen. Sedangkan Icha masih saja berdiri di dekat pintu apartemen yang tertutup.

"Buka dong jaketnya ... panas, Icha," tegur Andra sambil melepas sepatunya dan kaos kaki, dan meletakkan di atas rak sepatu kecil di balik pintu, tepat di sisi Icha berdiri. Dia tersenyum dalam hati karena Icha yang tampak seperti melamun.

Icha memang melamun, dan tersadar saat Andra menegurnya. Dia menuruti perintah Andra, menurunkan resleting jaket Andra yang dipakainya, tapi yang terjadi kemudian, ujung resleting macet, dan Icha tidak bisa melepas jaket Andra dari tubuhnya.

Andra tertawa kecil melihat Icha kesulitan dengan resleting jaketnya. Dia kemudian mendekati Icha dan mencoba membantu menurunkan resleting jaket.

"Jangan buru-buru. Pelan-pelan saja," ujar Andra sambil menatap wajah Icha yang memerah karena dia berdiri di depan Icha dengan jarak yang sangat dekat.

Andra melepaskan jaketnya dari tubuh Icha, dan menggantungnya di balik pintu. Entah apa yang ada di dalam benak Andra, saat melihat Icha tertunduk hendak melepas sepatu.

Bersambung

Annoying ExesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang