8. Namun Ku Yakini Cinta, Kau Kekasih Hati

374 61 27
                                    

Disclaimer: Judulnya cuma dipanjangin, karena gue ngga tau mau kasih judul apa di chapter ini. Ehemz~































































AUTHOR POV













~di kantor Fergi~









"Gila, panas banget."

"Haha bentar nih bentar lagi kelar,"

Fergi menggambar denah rumah untuk klien dia dan Arvino, ngga jarang dia beberapa kali berhenti untuk menyeka keringat di dahi nya. Dia sedang berkonsentrasi menggariskan gambar denah rumah yang sebentar lagi jadi itu.

"Eh btw, jadi gimana Gi?" tanya Arvino, "Siapa sih namanya?"

"Apa?"

"Etdah pura-pura ngga tau. Yang kayak gini nih biasanya tau-tau ngasih undangan aja nanti."

Fergi tertawa pelan dan menggelengkan kepalanya, "Doain aja ya, Vin. Seberapa besar rasa cinta dan sayang ku sama dia, kalau masih kehalang restu ya susah juga."

"Ya lo usaha dong, jangan pasrah nerima gitu aja. Yakinin ortu lo kalo perempuan pilihan lo ini adalah yang terbaik dan yang lo idam-idamkan selama ini."

"Hm iya, sedang ku usahakan. Sebenarnya...."

"Ya?"

Fergi menghela nafas dan berhenti dari kegiatan menggambar nya, "Ibu dan adikku sayang dan mau nerima dia, tapi ayah ku masih belum."

"Dia juga baru mengalami kecelakaan dan tangan nya cedera, aku sungguh tidak tega melihat nya. Dia hanya ingin bersamaku dan tidak mau pergi ke Singapore, padahal aku sudah menyuruh nya karena itu juga demi kesembuhan nya."

"Fergi Alvian, lo bisa ya se polos ini."

"Dia tidak ingin pergi kesana karena dia sedang menunggu mu, Gi."

"Menunggu mu untuk melamar nya."

"...Apa benar begitu..." gumam Fergi, seketika pertanyaan Irene waktu itu kembali terngiang dibenak nya dan ditambah dengan raut wajah sedih Irene yang semakin membuat dirinya kalut dan bingung.

"Fer, sekarang mikir nya gini. Be a gentleman or a loser."

"Karena gue yakin 100% lo bakal nyesel pas dia udah pergi."

"Soal ayah lo yang belum ngasih restu, itu hanya masalah waktu, Gi. Orang tua yang baik pasti ngga akan menyulitkan anak nya sendiri."

"Intinya," Arvino menepuk bahu Fergi, "Gue tunggu undangan nya."

.















































.

~beberapa hari kemudian~









Fergi memejamkan matanya, menikmati sepoi-sepoi angin yang menerpa wajah tampan nya. Dia merapihkan rambut hitam pendek nya tertiup angin di siang hari yang terik ini. Ia terduduk sendirian di bangku taman masjid, tenggelam dalam pikiran nya.

"Di rumah-Nya memang selalu membuat hati ini tenang." gumam Fergi, beberapa hari terakhir ini lebih tepatnya sejak kecelakaan yang menimpa Irene, dia tak lelah membujuk ayah nya untuk memberi Irene kesempatan.

Tapi, lagi dan lagi ayah nya masih saja ragu dan terus meminta dia untuk memikirkan secara matang-matang. Apakah Irene seburuk itu dimata ayah nya hingga apa yang telah dilakukan Jihan pada Irene seakan tak bisa membuka hati dan pikiran ayah nya?

Dear, Fergi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang