Bagian 16

17K 1.3K 149
                                    

🦋 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ 🦋

Pagi hari ketika nama Mahika dan Dewan dipanggil. Semua orang sudah menebak apa yang terjadi. Mahika santai-santai saja ketika disuruh masuk ke kamar ustadzah asrama. Toh dia pikir dia tidak berbuat salah.

Sampai ketika ustadzah bertanya kenapa Mahika kirim mengirim surat dengan santri pondok. Mahika langsung mengelak. Dia mengatakan bahwa dia tidak berkirim surat dengan dewan.

Tapi, ustadzah asrama justru memotong ucapannya dan langsung memberi sanksi berupa menyikat WC selama satu bulan. Mahika protes. Dia tidak mau. Dan hari itu juga dia datang ke ndalem dan mengadu kepada kyai.

Dan dari sanalah kyai mengatakan kepada ustadzah asrama agar tidak menghukum Mahika. Walau beberapa santri-santriwati merasa pilih kasih, tapi itu lebih aman daripada Mahika heboh sendiri.

Lalu, sorenya Mahika datang lagi ke ndalem. Zaman menelponnya.

"Assalamualaikum, Ning Mahika yg selalu baik hati setiap hari. Yang lemah lembut dan tidak suka bicara kasar," sapa Zaman begitu lembut dari seberang telepon.

"Dengar-dengar ada yg kena kasus di pesantren. kirim-kirim surat, hum? Aku tahu itu pasti salah paham. Mahika tidak mungkin seperti itu. Jadi, boleh tidak aku minta penjelasan. dikit juga tidak apa-apa. boleh, sayang?" Lanjut Zaman masih dengan suara lembutnya.

Dan Mahika justru meng-gas.

"AKU GA SALAH YA!" bentaknya.

"ITU FITNAH YA!!!" Bentaknya untuk kedua kalinya.

"Kamu percaya? KAMU PERCAYA ?!Istighfar Zaman!"

Di seberang telepon, Zaman menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia berdehem.

"Gak, aku gak salahin kamu, sayang. aku juga gak percaya. Cuma nanya. ceritanya gimana bisa sampai kena kasus, hum?"

Mahika membuang napas kasar.

"Dewan tuh. Dia nitipin amplop buat dikasi ke Zihan. Tapi ada yg lapor ke ustadzah kalo katanya Dewan kasi surat ke aku. Jadinya aku dituduh surat-suratan. Gak mau tau, bilangin sama Abi buat ustadzah asramanya juga dihukum. Emang boleh fitnah istrinya Zaman, ha?"

"Sudah dihukum?" Tanya Zaman.

"Hampir dihukum sikat WC satu bulan!"

"Alhamdulilah kalau belum dihukum. lain kali jangan mau disuruh-suruh. apalagi yang melanggar peraturan pesantren, ya. Sudah, jangan dendam ke Ustadzahnya. jadikan pelajaran saja ya."

"DIH. BELA USTADZAH?" tanya Mahika dengan nada menyolot.

"Gak ada yg bela siapa-siapa. Cermati apa yang aku bilang tadi. Jangan langsung naik darah."

"IDIH. Mulai cuek? Mang boleh secapek itu sama aku? Bosan sama aku? Kamu sayang gak sih sama aku."

Zaman menarik telinganya sendiri ketika mendengar ucapan istrinya. Harusnya dia lebih berhati-hati bicara dengan manusia satu ini.

"Harusnya kamu ada di tim aku. Ngapain bilang jadiin pelajaran. Kan bukan aku yang salah. Kamu tuh ya!"

"Duh, salah lagi. Istighfar dulu, ning."

"Dari tadi istighfar Mulu. Kamu soalnya cari masalah. Kerjanya cuma cari ribut. Capek tau gak ngobrol sama kamu yang gak mau kalah," ucap Mahika begitu melas.

"Huhh. Aku yang salah. Aku yg harusnya belajar banyak lagi ya sayang ya."

"Tuh tau," balas Mahika.

"Kalau begitu maaf yaaaa. Besok aku sudah pulang. Nanti dibawakan oleh-oleh. Mau nitip sesuatu, sayang?"

Zaman Omair (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang