Break Up

21 3 0
                                    


Pantulanku di cermin mengerikan. Muka pucat, mata sembab, hidung merah, rambut acak-acakan. Tinggal mengganti piyama dengan daster putih, aku sudah menjelma menjadi kunti patah hati. Tawa getir terlepas karena pikiran itu. Aku masih hidup, belum berminat menjadi kunti, aku hanya sedang meratap.

Aku tidak sadar kapan langit berubah menjadi terang. Sambil menahan sesak, kuseret kaki menuju kamar mandi. Berendam dalam air hangat seharusnya bisa membuatku pulih. Nyatanya setelah hampir 30 menit. Yang kudapatkan hanya kulit mengerut, aku masih saja terisak. Air yang merendamku pasti sudah asin digarami air mataku.

Masih berusaha tetap waras, kuseduh kopi. Berharap wanginya membuatku lupa. Satu jam kemudian, aku masih duduk dengan pandangan menerawang. Kopiku sudah dingin.

Cass menelepon, rupanya kabar Andre memutuskanku sudah sampai di telinganya. Aku enggan mengangkat, tapi berdasarkan watak Cass, ia akan panik menelepon pemadam kebakaran, dan melesat dengan sekompi polisi yang mengetuk pintu rumahku jika tidak mendapat kabar apa pun dari mulutku.

"Mau aku ke sana? Tidak mau jawab? Setidaknya embuskan napasmu keras-keras supaya aku tahu kau masih hidup!" Suaranya histeris dipenuhi nada frustrasi.

Aku tidak punya tenaga untuk meladeninya, tak cukup kuat untuk mengembuskan napas keras-keras. Jadi yang kulakukan hanya menjawab "ya", lalu secepat kilat memutuskan panggilan.

Tanpa diminta, aku tahu Cass akan segera datang. Bubur ayam dan Tim Telur hangat adalah makanan wajib untuk menyembuhkan hati. Aku menangis lagi, kali ini tanpa suara. Diam saja di rumah membuat kepalaku semakin nyeri. Aku berganti pakaian dan memutuskan keluar rumah.

Sebuah mobil berhenti mendadak hanya sejengkal dari tempatku berdiri. Suara decit ban yang beradu dengan aspal tidak membuatku segera berlari menuju seberang jalan. Aku tetap saja berjalan pelan, mengabaikan sopir angkot yang mengomel meneriakkan sumpah serapah.

"Walaaaaaah, mbak... mbok tolah-toleh!" seru mas Aki penjaga parkir dari seberang jalan.

Aku hanya tersenyum tipis, tetap melangkah santai, membiarkan keriuhan bunyi klakson yang saling menyahut di belakangku.

Toko kain selalu menjadi tempat pertama yang kutuju jika sedang kalut. Memandang dan menghirup wangi khas lembaran kain beraneka warna biasanya ampuh membuatku merasa lebih baik. Pintu toko masih ditutup, sebagian rolling door masih belum dinaikkan, dari luar aku bisa melihat karyawan sibuk menata gulungan kain dan mengatur etalase.

Aku duduk diam di depan toko, menunggu toko buka, mengabaikan tatapan ingin tahu dari Mas Aki. Tepat pukul 9 pintu dibuka. Begitu masuk, wangi khas kain menyambut. Sambil berjalan pelan, aku mengedarkan pandangan. Berusaha mencari tempat nyaman untuk duduk menikmati keheningan toko. Deretan kain yang bergantung di cincin sepanjang dinding toko kali ini tidak berhasil memberiku kelegaan atas hatiku yang porak-poranda.

Pak Tik, pegawai toko yang biasa melayaniku langsung menghampiri dengan seringai lebar. Seperti pemburu yang menemukan mangsanya. Hari ini aku adalah mangsanya yang sudah terluka. Beruntunglah Pak Tik, aku sedang tidak ingin memainkan peran sebagai calon mangsa yang gesit menghindar, kali ini aku membiarkan diriku tertangkap.

"Eitss ..., juragan datang," katanya sambil memainkan meteran kayu. "Seperti biasa? Sateen? Asahi ? Sifon?"

Tanpa menunggu jawabanku, Pak Tik berjalan memimpin sambil menandak-nandak.

Kami sampai di tempat puluhan gulung kain sateen ditata berjajar. Aku duduk di atas alas manekin yang masih telanjang. Mencoba mengingat apa yang aku lakukan di sini.

Kepalaku memutar lagi pesan yang kubaca dini hari tadi,

Let's Break up

Sekali lagi aku merasa ada yang meremas hatiku. Sakitnya naik ke tenggorokan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 26, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Break UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang