𝐏𝐚𝐠𝐞 𝟔

31 10 6
                                    

Panas matahari kian menyengat siang ini, saat aku kembali melanjutkan perjalanan dengan perasaan haus dan gerah yang menyiksa. Keringat bercucuran di punggung, leher dan kulit kepalaku. Mungkin jika ada seseorang atau mahluk apa pun yang berpapasan denganku, dia pasti akan terenyuh melihat seorang pengembara lusuh dengan ekspresi meringis sepanjang waktu akibat panas yang menyilaukan.

Huh! Sama sekali tidak keren. Tapi aku tetap harus melangkah sepayah apa pun karena berdiam diri di sini terlalu lama juga tidak ada gunanya. Kalaupun aku mati dehidrasi, aku akan ditemukan mati dalam proses meneruskan perjuangan. Itu lebih berkesan heroik alih-alih ditemukan mati dengan tubuh menggelosor di batang pohon seperti mie basah. Sungguh memalukan.

Napasku memburu, dan meneguk sisa minum lagi dengan putus asa.
Aaaah, tersisa beberapa teguk lagi. Gigiku bisa kering. Bagaimana ini? Mana aku tidak tahu di mana sumber mata air terdekat. Ugh!

Ya dewa, aku memang menginginkan jimat suci, tapi tak begini.

Di tengah monolog yang menyebalkan diiringi langkah kaki yang kian tersaruk-saruk, tiba-tiba instingku mengatakan ada pergerakan sesuatu di sekitarku. Secara reflek, aku menoleh ke belakang. Dan ...

Astaga!

Pohon kaktus coklat kekuningan yang sempat menggodaku dengan kandungan airnya tampak bergerak sendiri. Pohon itu berjalan!

Apakah ini nyata?

Aku menghentikan langkah, sangat tercengang hingga tak sanggup bersuara. Kuusap wajahku berkali-kali untuk memastikan bahwa aku tidak sedang berhalusinasi.

Heh! Sungguh tak bisa dipahami. Bagaimana mungkin?

Pohon kaktus itu mengeluarkan sepasang kaki. Ya, kaki! Aku tidak salah lihat, bukan? Dengan terpaku, kuamati ke arah mana pohon itu menuju. Dia bergerak melewatiku, meninggalkan aku yang tertegun linglung.

Eh, tidak mungkin keajaiban ini hanya kebetulan. Mungkin alam yang kejam ini tengah berusaha membantuku. Aku tersentak beberapa saat kemudian, menyaksikan pohon kaktus itu sudah berjalan sejauh beberapa meter. Karena fokusku tidak karuan akibat panas dan lelah, aku memutuskan untuk mengikuti langkah pohon kaktus itu secara diam-diam.

Jika dipikir-pikir, ini seperti berjudi. Aku mungkin bisa saja selamat dan keluar dari area tandus ini, atau bahkan terjebak, tersesat, berputar-putar sampai aku mati. Tapi aku tidak akan tahu apa yang ada di depan jika aku tidak melangkah ke sana. Kru kapal memang memberiku petunjuk. Membaca peta, menghafal rute memang cukup mudah. Namun saat terjun di lapangan, nyatanya seseorang bisa saja disesatkan oleh apa pun. Bahkan tidak jarang malah jadi linglung. Kuharap aku tidak salah memutuskan, jika aku semakin terjebak, aku bersumpah akan mengejar dan memutilasi kaktus sialan itu. Sekarang ikuti saja dia, pikirku sambil terus melangkah, menyipitkan mata pada pohon kaktus yang berkilau kekuningan di bawah terik matahari siang.

Sepertinya pohon kaktus ajaib itu menunjukkan jalur yang benar karena perlahan-lahan situasi di sekitarku mulai berubah. Area tandus, bukit batu, pohon aneh dan trenggiling batu lenyap dari pandangan.

Wowww! Terima kasih pohon kaktus!

Aku bersorak dalam hati, sesaat melupakan kecemasan akibat persediaan air minum yang menipis. Paling tidak aku sudah keluar dari area Rocky Hills. Walaupun area yang baru belum tentu subur dan menyediakan mata air, setidaknya ada secercah harapan baru.

Kini aku berdiri di tepi area baru yang tak kalah aneh bagiku. Ada banyak tumpukan batu-batu besar yang bersusun setinggi kurang lebih sepuluh hingga lima belas meter. Menjulang ke atas laksana menara. Meskipun disusun dengan cara ditumpuk, menara itu terlihat kokoh dan tidak mudah roboh. Mungkin susunan batu-batu ini sudah berdiri selama puluhan tahun. Siapa tahu. Aku mengamati dengan takjub sekaligus ngeri. Di beberapa titik, tumbuh lumut dan akar tanaman menyelimuti menara batu itu.

𝐓𝐡𝐞 𝐌𝐚𝐧 𝐢𝐧 𝐓𝐡𝐞 𝐒𝐞𝐚 𝐖𝐚𝐯𝐞𝐬Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang