24. Crying Out

18 1 0
                                    


"Gia," panggil pria itu dengan nada lembut. Saat istirahat tadi Ganif yang mencari keberadaan Gia, menemukan ia bersama ibunya dan seorang lelaki asing. Gadis itu terlihat sangat menyedihkan sedangkan mamanya tersenyum gembira bersama lelaki asing tersebut.

Ganif yakin, lelaki tersebut ada hubungannya dengan perceraian orang tua Gia.

"Kau tidak bisa merubah takdir." Mata pria itu menatap Gia sendu

Manik mata gadis itu kembali berair, mengingat hal yang sudah ia lakukan justru membuat mamanya bertemu sang mantan kekasih. Pada akhirnya Gia tau kemana takdir akan bekerja.

"Kau tidak tau apa yang kurasakan," Suara gadis itu bergetar seperti tak mampu menahan kepedihan hatinya.

Mata sipit pria itu menatap manik hazel milik Gia, "Percayalah padaku."

"Disini, kita tidak bisa merubah apapun."

"Apa kau tau, Gia? beberapa tahun yang akan datang, kakakku akan meninggal," mata pria itu menyorotkan kesedihan yang tak pernah Gia lihat sebelumnya.

"Sejak pertama kali datang kesini, aku berkali-kali mencoba merubah hal-hal kecil pada kakakku, berharap takdir buruk yang menimpanya tak terjadi. Namun tak ada yang berubah sedikitpun. Semua tetap berjalan semestinya."

"Kakakku. Orang yang memberiku kasih sayang ketika orang tuaku tak pernah memberikannya, hanya ia yang selalu mendukungku."

"Selama itu, kupikir dia merebut orang tuaku, karena mereka lebih memperhatikan dia daripada aku. Segala hal kulakukan untuk menarik perhatian orangtuaku. Aku mengikuti banyak organisasi, aku belajar dengan keras tapi hasilnya nihil, mereka lebih menyayanginya. Jadi dulu aku sangatlah membencinya. Aku menjauhinya, bahkan mengucapkan segala kebencian pada kakakku."

"Kakakkumenderita kanker otak, aku sibuk mengurus diriku sendiri sampai baru tahu halitu setelah dia meninggal. Dia berjuang keras karena sangat ingin hidup, tapitakdir berkata lain"

"Dan aku baru menyadari setelah kepergiannya bahwa tak ada yang menyayangiku selain dia. Kedua orang tuaku pun menganggap aku adalah penyebab kakak meninggal, mereka semakin membenciku."

"Aku-" Suara Ganif parau dan mulai terisi air di pelupuk matanya. Tenggorokan Ganif tercekat tak mampu meneruskan kata-katanya. Serasa ingin muntah ketika menceritakannya. Kini, satu orang lagi yang tahu kebenaran tentang hidup Ganif.

Gia bungkam, hatinya yang sudah perih terasa semakin sakit mendengar kisah Ganif. Seseorang yang Gia anggap paling sempurna hidupnya ternyata juga menyimpan luka.

Mereka sama sama menderita dengan kisah yang berbeda.

Memang benar kata orang, there is no rose without a thorn. Setiap orang pasti punya rasa sedih dan kecewa meskipun ia bahagia.

-

-

-

"Kakak, waktunya makan malam!" teriak mama yang terdengar melengking di telinga Gia.

Gadis itu turun dari kamarnya dengan acuh tak acuh.

"Ayo kakak, makan dulu." Gia menjauhkan kepala saat sang mama hendak mengusapnya.

"Aku makan di luar, temanku sudah menunggu." Ujarnya sambil pergi tanpa menatap kearah mama.

Wanita paruh baya itu kebingungan dengan sikap dingin putrinya, tak biasa ia menggunakan kata 'aku' ketika menyebut dirinya sendiri.

Sudah berhari-hari anak gadisnya mengurung diri di kamar, terlihat menghindari berpapasan dengan sang mama. Bahkan ketika tak sengaja berpapasan pun, gadis itu hanya menolehkan wajah dan melenggang pergi.

"Gia, makan dulu sayang!" sang mama menahan Gia yang hendak keluar pintu.

Gia menepis tangan mama yang memegang lengannya, "Gia tidak lapar, ma!"

"GIA!" kini teriakan itu berasal dari arah meja makan.

"Jangan kurang aja pada mamamu!" papa Gia kini ikut andil.

"Kau kenapa, sayang? sejak beberapa hari yang lalu bersikap dingin pada mama? tidak pernah memakan masakan mama. Apa mama berbuat salah, sayang? apa Gia tak menyukai makanannya?"

"Gia, kalau mama bertanya itu di jawab!" tegas papa

"Iya, Gia tidak suka, Gia tidak suka apapun yang di buat oleh wanita ini!" tunjuk Gia pada sang mama.

Plaakk

Gadis itu memegang pipinya yang memerah akibat tamparan dari papa.

Mama memegang tangan papa ingin menghentikan pertengkaran, "Sudah sayang, jangan."

Gia menyeringai, "Sayang?" dia hanya mendecih mendengar sang mama memanggil 'sayang' pada papa.

Bullshit, pembohong. Sayang dari mana? kau pikir aku tidak tau apa yang kau lakukan di belakang papa?

Berkali-kali Gia memergoki sang mama sedang bercengkrama hangat dengan seseorang di ujung telepon saat papa tak ada di rumah.

Tak perlu mencari tau lagi karena Gia yakin orang di balik telepon itu adalah Delon, mantan dari mama.

Gadis itu kembali menyeringai, "Papa akan sangat menyesal membela dia," kemudian berlalu pergi meninggalkan kedua orang tuanya.

Gia menerka alasan papa selingkuh di beberapa bulan yang akan datang. Hal itu karena mamanya lah yang memulai. Menurut Gia papa membalas perbuatan mama.

Mata ganti mata, gigi ganti gigi. Jika hidup seperti itu, semua orang di dunia akan buta. Seperti papa yang membalas perbuatan selingkuh mama Gia. Kini yang terkena imbasnya adalah anak.

Buliran bening terus mengalir, dadanya sesak mengingat hal itu hingga panas di pipinya pun tidak dia rasakan.

Gadis itu terperanjat kaget kala di depan pagar sudah ada Ganif, dia tak tau berapa lama pria itu berdiri disini. Satu hal yang Gia yakini, pria itu melihat muka Gia yang memerah dan penuh air mata.

Namun pria itu tak bertanya satu patah kata atapun menatap Gia aneh. Dia hanya tersenyum dan mempersilahkan Gia duduk di sadel belakang.

Gia melingkarkan tangannya pada pinggang Ganif dan menyembunyikan muka dibalik punggung pria itu. Merasakan aroma Ganif yang menguar di hidungnya, membuat ia lebih tenang.

Gadis itu tak tau apa akibat dari perbuatannya pada Ganif. Setelah mendengar pertengkaran Gia dengan orang tuanya ia menjadi iba, tapi di lain sisi jantungnya berpacu dengan cepat karena hal yang gadis tersebut lakukan.

Sekuat tenaga ia mengontrol pikiran juga hatinya dan membiarkan gadis itu memeluknya berharap agar ia menjadi lebih tenang.



Selamat malam chingudeul~~

Sehat selalu ya di musim yg tak menentu ini :) 

A Walk Through The TimeWhere stories live. Discover now