Gue, Mas Danang, Mas Andri, dan Aldo, duduk santai mengitari meja yang kami tempati di foodcourt. Kami semua sudah selesai makan beberapa menit yang lalu, jadi sekarang cuma bengong sambil kenyang bego. Eve dan Kanaya selesai makan langsung menuju ke tempat yang namanya Lutung Kasarung, semacam restoran di dekat situ dengan jembatan tengah hutan yang katanya bagus buat foto-foto. Gue berhasil menolak dengan alasan kekenyangan.
Kami sibuk sendiri-sendiri. Gue sibuk scroll instagram. Aldo yang duduk di sebelah gue juga sibuk dengan ponselnya sambil sesekali senyum-senyum sendiri, mungkin lagi scroll tiktok, karena nggak mungkin kalau dia lagi chatting-an sama cewek. Mas Andri dan Mas Danang yang duduk sebelahan di hadapan gue sedang asyik ngobrolin politik sambil sebat.
Sesekali gue melirik Pakdhe yang berdiri sendirian di tepi pembatas foodcourt. Pria itu juga sedang menghisap rokoknya, memunggungi kami sambil memandangi pemandangan hijau yang terbentang di sisi kanan foodcourt, ditimpa cahaya jingga dari matahari terbenam. Memang cantik banget pemandangan sore itu.
Tumben amat tuh orang anteng.
Gue sedikit merasa bersalah. Selama makan tadi, gue bener-bener sangat minim berinteraksi sama dia. Lebih ke gue yang membatasi diri. Pakdhe emang dasarnya social butterfly, dia bisa berisik banget kalau sedang kumpul orang banyak. Ia beberapa kali melontarkan lelucon yang bikin suasana makan tadi jadi rame dan nggak canggung. Sampai kami lupa kalau ada tiga manajer yang makan bareng sama kami.
Ledekan-ledekan yang dia lempar objeknya merata, semua orang kena, jadi semuanya merasa dilibatkan dan ikut ketawa. Tapi entahlah, mungkin dia sadar beberapa kali lelucon yang dia buat tentang gue, cuma gue tanggapi pakai senyum tipis. Untungnya tawa Kanaya yang keras menyelamatkan guyonannya. Kanaya yang duduk di sebelah Pakdhe tadi memang tampak berusaha keras buat pedekate, termasuk sering-sering memamerkan senyum manisnya.
Tapi gue ngeh kalau sepanjang tawa canda tadi Pakdhe tetap lebih sering melirik ke gue. Bukan gue ge-er, tapi memang iya, sampai gue harus menghindari tatapannya dan berusaha fokus ke Mas Danang yang duduk di depan gue. Gue berusaha juga memamerkan senyum termanis di depan gebetan gue.
Ngapain gue ngurusin yang di ujung?
"Sha, kamu nggak temenin Mas Tion?" tiba-tiba Mas Danang membuyarkan lamunan gue.
Gue agak bete mendengar kata-katanya. Dia sebenernya sadar nggak sih kalau gue taksir? Gue menanyakan hal itu berkali-kali dalam hati.
"Daripada disini, nanti bau rokok kali, Sha." Mas Andri menyahut. "Sana jalan-jalan, masa udah disini cuma nongkrong aja sama bapak-bapak."
Aldo yang ngeh disebut sebagai 'bapak-bapak' mencibir, "saya belum kali, Mas."
"Kan otw."
Ia hanya manyun. "Iya, sana temenin Mas Tion, Sha. Gue mau sebat juga disini. Nanti lu bau rokok." katanya sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya.
Gue menggeleng. "Kan Mas Tion lagi ngerokok juga. Sama-sama bau."
"Mas Tion mah nge-vape kali. Baunya enak." Aldo mengibaskan tangannya, "udah sono pergi. Kemana kek, susul aja tuh Eve sama Kanaya. Disini tempatnya om-om. Tidak menerima wanita. Hush!"
Gue hanya cemberut sambil bangkit dengan kesal. "Awas lu di kantor, kalau lu minjem seratus, nggak bakalan gue pinjemin lagi."
"Ya udah, dua ratus kalo gitu."
"Dua ratus kepala bapak lu!" seru gue sambil berjalan menjauhi tempat duduk mereka.
***
Gue berjalan ke area perkebunan bunga yang ada di sebelah kiri aula. Gue baru ngeh, ternyata di kanan aula ada jalan kecil yang waktu gue ikuti, mengarah ke sebuah tempat luas yang memukau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pakdhe!
ChickLitKalau kata Raditya Dika, manusia di dunia itu cuma bisa punya dua diantara tiga kelebihan : 'cakep', 'pinter', atau 'waras'. Bos gue di kantor, alias Mas Tion, alias Pakdhe, hanya punya kelebihan 'cakep' dan 'pintar'. Artinya, dia sinting, annoying...