18 - Back Off

4.1K 372 3
                                    

Gue, Mas Danang, Mas Andri, dan Aldo, duduk santai mengitari meja yang kami tempati di foodcourt. Kami semua sudah selesai makan beberapa menit yang lalu, jadi sekarang cuma bengong sambil kenyang bego. Eve dan Kanaya selesai makan langsung menuju ke tempat yang namanya Lutung Kasarung, semacam restoran di dekat situ dengan jembatan tengah hutan yang katanya bagus buat foto-foto. Gue berhasil menolak dengan alasan kekenyangan.

Kami sibuk sendiri-sendiri. Gue sibuk scroll instagram. Aldo yang duduk di sebelah gue juga sibuk dengan ponselnya sambil sesekali senyum-senyum sendiri, mungkin lagi scroll tiktok, karena nggak mungkin kalau dia lagi chatting-an sama cewek. Mas Andri dan Mas Danang yang duduk sebelahan di hadapan gue sedang asyik ngobrolin politik sambil sebat.

Sesekali gue melirik Pakdhe yang berdiri sendirian di tepi pembatas foodcourt. Pria itu juga sedang menghisap rokoknya, memunggungi kami sambil memandangi pemandangan hijau yang terbentang di sisi kanan foodcourt, ditimpa cahaya jingga dari matahari terbenam. Memang cantik banget pemandangan sore itu.

Tumben amat tuh orang anteng.

Gue sedikit merasa bersalah. Selama makan tadi, gue bener-bener sangat minim berinteraksi sama dia. Lebih ke gue yang membatasi diri. Pakdhe emang dasarnya social butterfly, dia bisa berisik banget kalau sedang kumpul orang banyak. Ia beberapa kali melontarkan lelucon yang bikin suasana makan tadi jadi rame dan nggak canggung. Sampai kami lupa kalau ada tiga manajer yang makan bareng sama kami.

Ledekan-ledekan yang dia lempar objeknya merata, semua orang kena, jadi semuanya merasa dilibatkan dan ikut ketawa. Tapi entahlah, mungkin dia sadar beberapa kali lelucon yang dia buat tentang gue, cuma gue tanggapi pakai senyum tipis. Untungnya tawa Kanaya yang keras menyelamatkan guyonannya. Kanaya yang duduk di sebelah Pakdhe tadi memang tampak berusaha keras buat pedekate, termasuk sering-sering memamerkan senyum manisnya.

Tapi gue ngeh kalau sepanjang tawa canda tadi Pakdhe tetap lebih sering melirik ke gue. Bukan gue ge-er, tapi memang iya, sampai gue harus menghindari tatapannya dan berusaha fokus ke Mas Danang yang duduk di depan gue. Gue berusaha juga memamerkan senyum termanis di depan gebetan gue.

Ngapain gue ngurusin yang di ujung?

"Sha, kamu nggak temenin Mas Tion?" tiba-tiba Mas Danang membuyarkan lamunan gue.

Gue agak bete mendengar kata-katanya. Dia sebenernya sadar nggak sih kalau gue taksir? Gue menanyakan hal itu berkali-kali dalam hati.

"Daripada disini, nanti bau rokok kali, Sha." Mas Andri menyahut. "Sana jalan-jalan, masa udah disini cuma nongkrong aja sama bapak-bapak."

Aldo yang ngeh disebut sebagai 'bapak-bapak' mencibir, "saya belum kali, Mas."

"Kan otw."

Ia hanya manyun. "Iya, sana temenin Mas Tion, Sha. Gue mau sebat juga disini. Nanti lu bau rokok." katanya sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya.

Gue menggeleng. "Kan Mas Tion lagi ngerokok juga. Sama-sama bau."

"Mas Tion mah nge-vape kali. Baunya enak." Aldo mengibaskan tangannya, "udah sono pergi. Kemana kek, susul aja tuh Eve sama Kanaya. Disini tempatnya om-om. Tidak menerima wanita. Hush!"

Gue hanya cemberut sambil bangkit dengan kesal. "Awas lu di kantor, kalau lu minjem seratus, nggak bakalan gue pinjemin lagi."

"Ya udah, dua ratus kalo gitu."

"Dua ratus kepala bapak lu!" seru gue sambil berjalan menjauhi tempat duduk mereka.

***

Gue berjalan ke area perkebunan bunga yang ada di sebelah kiri aula. Gue baru ngeh, ternyata di kanan aula ada jalan kecil yang waktu gue ikuti, mengarah ke sebuah tempat luas yang memukau.

Kamu akan menyukai ini

          

Gue berdiri sejenak di sebuah bundaran, tepat di bawah tulisan besar "Dusun Bambu". Hamparan luas di sekeliling gue full warna hijau, dengan sedikit semburat warna-warni dari beberapa bunga yang ditanam disana. Warnanya jadi sedikit bernuansa oranye karena pengaruh matahari senja. Memang sih, sudah hampir setengah enam sore. Beberapa lampu taman juga sudah dinyalakan, menambah kesan temaram dengan lampu warna-warninya. Susah dijelaskan, tapi pemandangan kali ini benar-benar cantik. Gue sampai bertanya-tanya apakah Eve dan Kanaya nggak tahu tempat seindah ini.

Gue mengambil jalan setapak kecil ke arah utara, lalu berhenti sejenak di jembatan kayu mungil. Di bawahnya tampak sungai mini dengan gemericik aliran air  yang tenang, kayaknya sungai buatan. Suasana masih ramai, banyak pengunjung yang masih foto-foto, main rollerblade, naik sepeda, atau sekedar duduk-duduk di bundaran tempat gue tadi.

Klik! Gue tergoda mengambil foto pemandangan dengan ponsel dan mengirimkannya ke Eve. Gue memutar ke segala arah, mencari sudut yang paling bagus. Emang sih, skill foto gue sangat patut diragukan. Kayaknya Eve dan Kanaya beruntung nggak menjadikan gue fotografer, bisa sia-sia itu film kamera instax-nya Kanaya.

"Bisa foto nggak sih?"

Gue menoleh, merasa tersinggung dengan suara itu, walaupun bener.

Sudah kuduga, lagi-lagi orang ini. Pakdhe berdiri sekitar 5 meter dari gue. Memicingkan mata dengan kedua tangan yang dimasukkan ke saku celana, kayaknya ini jadi pose favorit Pakdhe. Tubuhnya yang tegap memang tampak cocok dengan pose itu, apalagi dipadu dengan kaos oblong hitam dan jaket semi-formal warna senada. Udah cocok jadi model Salvatore Ferragamo.

"Sini gue fotoin." perintahnya sambil mengulurkan tangan. "Biar lu bisa kefoto juga."

Gue melengos. Lanjut mengambil foto di sisi lain. "Nggak usah. Saya nggak suka difoto."

"Lu kenapa sih sama gue?"

Gue yang memunggungi dia tahu kalau Pakdhe berjalan mendekat. Sebenernya kalau gue bisa terbang, gue terbang saat itu juga. Tapi nyatanya gue nggak bisa. Kalau lari, pasti kalah karena kalah panjang kaki sama Pakdhe.

"Nggak kenapa-kenapa."

"Lu masih marah kejadian kemarin?" ia terdengar menghela nafas. "Natasha, gue cuma bercanda."

Bercanda lu nggak lucu, anjir.

Sebetulnya daripada masalah boneka kemarin, gue lebih dongkol karena sepertinya Mas Danang jadi mengira gue dan Pakdhe ada apa-apa, saking seringnya Pakdhe ledekin gue. Rasanya hampir semua kesempatan gue pedekate sama Mas Danang hilang dan dia mundur duluan, mungkin nggak enak karena Pakdhe seniornya di kampus.

Dan sudah pasti kecurigaannya bakal bertambah kalau lihat gue dan Pakdhe disini berduaan.

"Mas Tion kenapa ikutin saya kesini, sih?" nada gue kayaknya sedikit kesal, meskipun udah gue tahan daritadi. Masih memunggungi Pakdhe.

"Kalau lu nyasar gimana? Kan lu nggak bisa baca maps! Makanya jangan sendirian!" suaranya terdengar lebih kesal. "Lagian siapa sih yang ngajarin lu ngomong sama orang kasih punggung begitu?! Apalagi sama yang lebih tua!"

Gue cemberut sambil berbalik menghadap pria itu dengan sedikit malas. Ia memandang gue dengan ekspresi galaknya. Kali ini kedua tangannya berkacak pinggang. Tubuhnya yang lebih tinggi dari gue makin tampak mengintimidasi. Mirip bapak-bapak yang lagi marahin anaknya karena bolos ngaji.

"Punya anak, nggak ada sopan-sopannya." gumamnya.

Gue sendiri nggak bisa menyembunyikan ekspresi jengkel. Samar-samar gue mencium aroma manis dari tubuh tegapnya, mungkin bekas vape yang tadi dihisapnya, tapi itu nggak membantu mengurangi kerutan emosi gue.

"Coba bilang, apa yang bikin lu marah sama gue, Sha!"

Kami berdua saling diam sejenak. Matahari sudah nggak ada sama sekali. Suasana sudah gelap, hanya diterangi lampu-lampu taman yang warna-warni, dan suara ramai pengunjung yang masih beraktifitas di sekeliling kebun.

"Bisa nggak sih, Mas Tion menjauh sedikit dari saya?" gue menggumam.

Pria itu tampak bingung. Alis tebalnya berkerut. "Maksudnya?"

Gue mendesah kesal, "Kenapa sih, Mas Tion suka banget ngeledek dan bikin saya jengkel? Kenapa Mas Tion seolah-olah mencegah Mas Danang buat deket-deket saya? Kenapa juga Mas harus ikutin saya ke sini? Saya kan cuma nggak bisa baca Maps, tapi itu bukan berarti saya anak kecil, yang semua-muanya bisa sesuka hati Mas!"

Gue menghela nafas sejenak, "Saya nggak mau orang-orang mikir, saya ini punya Mas Tion!"

Hening sejenak. Gue baru sadar nada gue sedikit ketinggian tadi. Kayaknya gue agak kelepasan. Gue sedikit mengintip ekspresi pria itu dari balik poni rambut. Wajah pria itu cukup ...

... terkejut.

Alis tebalnya terangkat karena kaget, tapi entah kenapa juga kelihatan sangat kecewa. Bibir tipisnya terlihat sedikit terbuka, seolah mau menjawab, tapi nggak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.

Gue jadi sedikit insecure. Apa kata-kata gue tadi terlalu ke-ge-eran? Tapi mana mungkin gue bilang kalau gue lagi pedekate sama Mas Danang, dan Mas Danang selalu arahin gue ke elu.

"Gue ... nggak tahu kalau lu sangat terganggu."

Gue mendongak. Pakdhe memandang dengan tatapan poker face yang biasa dia pakai waktu kerja. Kedua tangannya sudah turun. Ekspresi kecewa berat yang tadi sudah hilang entah kemana.

"Gue nggak pernah menganggap lu punya gue. Gue gangguin lu, karena seneng aja punya anak yang bisa gue ganggu. Gue ikutin lu, simply karena lu perempuan dan lu bawahan gue, gue khawatir sebagai bos lu, itu aja."

Gantian gue yang kaget. Nada Pakdhe tiba-tiba jadi tegas, kayak waktu reviu report. Nadanya yang rileks, fun dan jail sama sekali lenyap tak berbekas.

"Gue juga nggak peduli lu mau deket sama siapa. Danang? Silakan, itu hak lu. Gue minta maaf kalau kelakuan gue jadi membatasi kalian." ia mundur selangkah dari tempat berdirinya. "Go ahead. Gue nggak akan ganggu lu lagi, kalau itu bikin lu risih."

Gue menangkap suaranya sedikit serak di kalimat terakhir, yang membuat perasaan gue jadi ikut kacau.

Apa kata-katanya tadi diucapkan bener-bener tanpa beban, atau sebenernya dia tertekan? Gue sama sekali nggak tahu. Di pekerjaan, Pakdhe adalah aktor dadakan yang cukup manipulatif. Ia terbiasa pasang poker face yang sempurna dan tegas di depan klien, menutupi sifat aslinya yang cukup ekspresif.

Samar-samar dari kejauhan terdengar suara Kanaya memanggil kami berdua. Di depan pintu masuk kebun, tampak Kanaya dan teman-teman menunggu kami untuk turun. Gue melirik jam handphone, memang nggak kerasa sudah jam setengah tujuh malam.

"Iya, ini mau turun! Tadi kebetulan gue ketemu pas Tasha kesasar disini, ini baru nemu jalan balik!" seru Pakdhe, seperti mengklarifikasi keberadaan gue dan dia disini.

Ia hanya melirik gue sejenak dan tersenyum tipis, lalu berbalik dan jalan duluan ke arah pintu masuk tanpa kata-kata.

Gue hanya bisa memandangi punggung bidang Pakdhe yang menjauh. Baru kali ini gue lihat, senyuman tadi bukan senyum tulus Pakdhe yang biasanya, itu senyum formalitas.

Entah kenapa gue berasa kayak lagi patah hati, padahal orang yang gue suka harusnya bukan dia.

***

Pakdhe!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang