Tiga hari setelah pertemuan mereka, Killian masih menetap di kota yang sama dengan Kanaya. Ia menghandle semua pekerjaannya dari jarak jauh.
Siang ini ia kembali menagih janji temu dengan Kanaya. Mendiskusikan baiknya mau dibawa kemana hubungan keduanya. Terutama dengan Lucianna, Killian akan berusaha lagi mendapat panggilan Papa dari putrinya.
Kanaya dan Killian sepakat untuk menghadapi masalah keduanya dimasa lalu. Tanpa ada adegan kabur lagi. Sudah cukup kebodohan itu ia lakukan dimasa lalu, diusia sekarang mereka tak ingin bersikap saling sembunyi. Usia dan waktu memang guru dan pengalaman yang paling berharga.
Selepas menyelesaikan berkasnya lebih awal dan sudah mengirim pada Bayu sekretarisnya. Pria itu bersiap menemui Kanaya. Siang ini mereka akan makan siang bersama dan berdiskusi.
Killian segera membersihkan diri, pria itu keluar dari kamar mandi lalu meraih satu stel pakaian formal. Ya, ia memang lebih nyaman memakai baju formal ketika keluar. Kemeja warna biru langit yang memeluk pas tubuh tegap Killian dengan lengannya digulung hingga siku memperlihatkan otot lengan bawah Killian, dipadukan dengan celanan hitam. Menyisir rapi rambutnya, memberi perawatan pada rambutnya juga. Tak lupa wajahnya ywng rupawan tak mungkin tanpa perawatan. Killian juga merawat hal itu dengan berbagai skincare pria.
Menyemprot parfum pada tubuhnya, setelah itu barulah Killian meraih ponsel serta dompet dan juga kunci mobilnya. Killian memang sengaja meminta Bayu mengirim mobilnya ke kota ini, agar mempermudah pria itu dalam berkunjung kemanapun nantinya. Seperti menjemput Lucianna pulang sekolah.
Killian keluar dari hotel, benar Killian membuang uangnya dengan menginap disalah satu hotel berbintang selama di kota ini. Pria itu memasuki mobilnya lalu menjalankannya menuju lokasi yang telah ia dan Kanaya janjikan.
Tiba disebuah restoran, diujung dekat jendela Kanaya telah menunggu pria itu. Killian yang baru tiba segera menghampiri Kanaya.
"Maaf, terlambat," ucap Killian menarik kursi didepan Kanaya.
"Duduklah, aku tau kamu pasti sibuk, tenang saja aku juga baru saja sampai," balas Kanaya. Tanpa ada maksud menyindir. Ia tau Killian sibuk, kemarin ia baru mengetahui fakta bahwa pria itu adalah pewaris salah satu perusahaan yang cukup terkenal.
"Syukurlah, sudah memesan?" Tanya Killian. Mendapat balasan gelengan dari Kanaya.
Killian mengangkat tangannya lalu memanggil salah satu staff resto. Buku menu sudah ada di tangan Killian dan Kanaya. Setelah keduanya mengatakan pesanannya barulah mereka kembali berbincang.
"Aku gak menyita waktu kerjamu?" Tanga Killian.
"Gak, hari ini butik gak ramai. Jadi aku bisa makan siang diluar."
Tak berselang lama pesanan mereka tiba. Keduanya makan sambil sesekali berbincang, bertukar kabar yang penting maupun tidak penting. Duduk dengan kepala dingin memang lebih baik, daripada berperang dengan amarah. Berdamai dengan keadaan dan tidak memperkeruh suasana terkadang diperlukan sesekali.
"Bagaimana keadaan Luci, apa lukanya masih sakit?" Tanya Killian beralih topik tentang Lucianna.
"Lukanya sudah membaik, dia juga sudah mulai berangkat kembali ke sekolah kemarin. Oh, ya, kemarin Luci juga menanyakan kamu," balas Kanaya. Ia juga menyampaikan tentang Lucianna yang menanyakan Killian. Ah, Kanaya tak bisa menampik, darah memang lebih kental daripada air. Keduanya terikat dan dipertemukan kembali oleh takdir.
"Iya, kah. Boleh nanti sore aku yang menjemput Luci?" Tanya Killian. Ia juga merindukan gadis kecil itu.
"Boleh," balas Kanaya. Ia juga tak ingin membatasi hubungan ayah dan anak tersebut.
Killian baru akan kembali berbicara, namun terhenti karna ponsel Kanaya berbunyi.
Kanaya mengernyit saat nomor sekolahan yang menelponnya. Ia menatap Killian sebagai kode untuk meminta izin mengangkat telfon.
"Halo, dengan Kanaya disini."
"Halo, Bu Kanaya. Saya kepala sekolah dari Kinderkids Shcool, Maaf mengganggu waktunya. Bisa datang ke sekolah sekarang, Lucianna dan temannya bertengkar," balas dari sebrang.
"Baik, saya akan segera kesana." Telfon ditutup. Kanaya menatap Killian dengan panik.
"Kenapa?" Tanya Killian.
"Dari sekolah Luci, dia bertengkar dengan temannya. Luci gak pernah bertengkar selama sekolah, aku harus segera kesana." Kanaya panik, bahkan ia lupa jika mobilnya berada di butik, tadi dirinya ke resto dengan jalan kaki karna jaraknya hanya 10 menit.
"Biar aku antar, kita kesana bersama." Killian menawari, lagipula Lucianna juga tanggung jawab dirinya.
Killian meletakkan beberapa lembar uang ratusan ribu, lalu menarik Kanaya keluar resto menuju parkiran mobilnya.
Keduanya memasuki mobil, Kanaya tak henti mengkhawatirkan Lucianna. Bahkan ia tak sadar jika Killian menggenggam tangannya.
***
Saat akan memasuki ruang kepala sekolah, ponsel Killian berbunyi. Membuat langkah pria itu terhenti begitupula dengan Kanaya.
"Masuklah dahulu, aku harus mengangkat telfon dari Bayu," ucap Killian. Kanaya mengangguk, lalu memasuki ruang kepala sekolah, sementara Killian memilih agak menepi lalu mengangkat panggilan dari sekretarisnya.
Didalam ruangan Kanaya sudah disambut dengan kepala sekolah, seorang wanita yang menatap putrinya tajam tengah duduk bersama putrinya disebrang sofa dan Lucianna yang tengah menunduk. Kanaya segera menghampiri Lucianna yang menunduk.
"Selamat datang Bu Kanaya, silahkan duduk." Kepala sekolah mempersilahkan Kanaya duduk.
"Terima kasih," balas Kanaya.
Kanaya mengusap kepala Lucianna, membuat gadis kecil itu mendongak. Lucianna terlihat kacau dengan bekas air mata yang coba disembunyikan. Kanaya terlihat kembali merasa sakit karna gagal menjaga Lucianna. Terlihat sekali putrinya merasa bersalah pada Kanaya yang harus dipanggil oleh kepala sekolah.
"Mama ada disini, Sayang. Kamu yang tenang, ya."
Kepala sekolah kembali berbicara mengambil atensi orang-orang yang ada di ruangannya.
"Baik karna semua sudah datang, saya memanggil Bu Kanaya dan Bu Aster karna anak-anak kalian bertengkar, keduanya terlihat ngotot untuk tidak mau mengakui siapa yang memulai pertikaian," ucap Kepala sekolah.
"Lucianna menyiram Lolita dengan air minumnya, sementara Lolita mencakar lengan Lucianna...."
Kanaya segera melihat lengan Lucianna, benar saja terdapat beberapa garis bekas cakaran dari temannya. Bahkan ada bercak darah yang terlihat mengering.
"Saya tidak terima pokoknya anak itu harus dihukum dengan berat, karna sudah membully Lolita," potong Aster. Tanpa menunggu penjelasan dari kepala sekolah, ia merasa anaknya benar dan tidak bersalah.
"Membully?" Sarkas Kanaya menatap tajam wanita itu. Bahakan bisa dilihat siapa yang paling banyak terkena luka dan wanita tersebut berkata Lucianna yang membuli. Kanaya ingat gadis itu, yang beberapa hari lalu membuat Lucianna tak nyaman saat dirinya mengobrol dengan ayah gadis kecil itu. Bahkan lihat tampangnya tidak bersalah dan tanpa rasa takut.
"Benar! Lalu kau kira apa? Anakku yang manis ini yang merundung putrimu!" Maki wanita itu.
"Maaf Nyonya yang terhormat sebaiknya anda tak langsung berasumsi tanpa fakta! Bahkan putriku yang terluka lebih banyak. Kenapa tidak tanya saja pada putri anda."
"Tolong ibu-ibu jangan membuat keributan, saya akan menjelaskan lebih lanjut ...." Perkataan kepala sekolah sama sekali tak bisa menyela perdebatan keduanya.
"Saya yakin, putriku tidak menyakiti putrimu. Bisa saja itu ulahnya sendiri yang melukai tangannya! Putrimu tidak jelas asal usulnya, kau juga wanita yang suka menggoda suami orang, mana bisa dipercaya!" Ibu dari Lolita sama sekali tak mau mengalah dan terus saja menyerocos.
"JAGA BICARA ANDA!" Kanaya tak bisa lagi mengontrol suaranya untuk tetap tenang.
"Kenapa?! Takut dengan fakta bahwa kau penggoda suamiku!"
"Darimana gosip murahan itu!?" Kanaya bahkan tak sedang dekat dengan pria manapun dan bisa-bisanya wanita itu mengatakan ia menggoda suami orang.
"Beberapa hari yang lalu kau menggoda suamiku yang tengah mengantar Lolita!? Wanita gatal sepertimu, aku sudah tau tabiatnya?!" Ibu Lolita menunjuk-nunjuk pada wajah Kanaya.
"Setampan apa suami anda?! Bahkan dia tak pernah masuk kriteria saya, apa itu juga perkataan dari putrimu jika aku menggoda suamimu? Apa dia tak tau jika suamimu duluan yang menghampiriku dengan alasan ingin memesan baju," balas Kanaya. Mulai mengerti arah pembicaraan mereka. Kanaya menatap sinis pada Lolita. Anak sekecil itu sudah bisa membuat gosip sedemikian rupa.
"Halah! Bilang aja tabiat kau sudah tertangkap. Tcih, bahkan sudah terlihat buktinya, putrimu yang anak haram itu itu lahir tanpa ayah dan tidak tau siapa ayahnya. Sebutan apalagi untukmu kalo bukan wanita murahan?!" Aster ibu dari Lolita terlihat puas mengatakan perkataan kasar barusan.
"BU ASTER!" Teriak kepala sekolah.
Cukup Kanaya sudah habis kesabaran. Wanita didepannya yang bukan siapapun berani menghinanya dan putrinya. Bahkan tujuan dari pemanggilan ini jadi melenceng. Menuduhnya sebagai pelakor dan menyakiti perasaan putrinya.
Brak.
Suara pintu terbuka dengan kasar. Killian berada dengan pandangan dingin, menjurus pada wanita yang berada disebrang Kanaya.
"Siapa yang berani mengatakan Lucianna tak memiliki ayah?!" ucap Killian dengan dingin.
***
Tbc