Seperti yang udah dicantumkan di bio, Levanter ini genrenya survival angst jadi jangan kaget kalau ada jump scare-nya. Alur di chapter ini maju-mundur jadi tolong baca dengan teliti ya.
Jangan lupa vote dan ramaikan kolom komentarnya juga☺️❤️
⚠️ TW // harsh word, suicide, corpse, blood, part of body, needle, exe, gun, violence, etc. (17+) ⚠️
"Kapal selam bukannya bagianmu?!"
"Mentok di 10 km katamu? lelet!"
Jarek terpaku begitu bentakan menginterupsi langkah kakinya. Dari atensi kayu gaharu yang 5 centi lagi didorong telapak tangan, pupilnya bergeser mengikuti arah klausa tadi berasal.
Di lorong lantai dua, tepatnya sebelah kiri selepas lempengan granit teratas, berjejer dua kamar yang masing-masingnya dipatenkan sebagai hak Jan dan Hainrich. Jarek sering mencuri kesempatan di sela-sela waktu istirahat pengawalnya untuk kabur menemui Jan, karena itu dia tahu betul bahwa sang saudara kembar memang memiliki selera luar biasa, lemari yang terletak di lantai. Terkadang semua celana dalamnya baik yang sudah kotor maupun baru dicuci akan bertebaran dengan pakaian-pakaian lain seperti maha karya ─mari persingkat saja, Jan sangat jorok. Sementara Hainrich... Sampai detik ini pun Jarek tidak tahu seperti apa kakak tertuanya itu menyusun isi kamarnya. Hainrich selalu sibuk di luar, sementara Jarek tak memiliki keberanian untuk terlalu banyak bertanya.
Mengurungkan niat awalnya menemui Jan, Jarek justru penasaran misi besar apa yang tengah diarungi kakaknya sampai kamar yang biasanya tak nampak tanda-tanda kehidupan itu kini terdengar riuh.
"Nah 'kan cacat!"
Kala countertenor milik sang kakak mencuat, Jarek sudah berdiri di dekat figura foto besar yang dipajang di dinding luar kamar ─Hainrich 10 tahun dengan dua balita di atas pangkuannya. Mama bilang satu-satunya alasan mengapa tawa Hainrich nampak begitu natural sebab Jan menangis saat potret itu diambil, si kembar berebut mainan sampai Jarek menjambak rambut Jan.
"Kakak sedang apa?"
Menghadap layar komputer yang menayangkan scene perang, silk kelabu itu masih anteng di atas kursi putar saat Jarek masuk dan menutup kembali pintu kamar.
Tak segera mendapat sahutan sebab Hainrich justru malah menunjukkan bakatnya dalam bersumpah serapah, Jarek akhirnya mendongak. Obsidiannya berbinar, menyambut jatuhnya ratusan cahaya yang berpendar di langit-langit kamar sang kakak. LED hologram itu datang dari bola proyektor di atas nakas, bersebelahan dengan miniatur hero game seksi pembawa Malefic Gun ─Lilyan.
Meski nampak seolah-olah menyandang titel duta pangku sedunia, rupanya Hainrich tak seperti Jan yang didominasi wangi strong maskulin. Dibanding black musk, sang kakak justru cenderung seperti hutan, aroma Siberian pine basah dengan sisa embun dari hujan malam lalu menyapa hidung bangir Jarek tatkala dirinya menyentuh jaket kulit di atas tempat tidur. Lembut nan sensual.
Hainrich memiliki cita rasa bagus soal estetika. Selain mengecat rambutnya, Hainrich rupanya tak sesembrono kelihatannya. Kamarnya bahkan tertata rapi, kemeja serta jaket yang baru dipakai sekali berjejer di atas gantungan, di bawahnya lagi terdapat rak sepatu yang terbuat dari rotan. Sementara action figure, stick controller, serta piala kemenangannya disusun di cabinet TV ─berhadapan langsung dengan tempat tidurnya.
"Bajingan! Niat perang tidak sih?! Tadi 'kan sudah dibilang, majuan sedikit!" Berusaha menyelamatkan kapal yang hampir tenggelam, kali ini Hainrich nampak frustasi menekan beberapa tombol keyboard secara bersamaan.
Si yang lebih muda mendekatinya, berdiri tepat di sebelah kiri sang kakak demi mengamati 4 layar besar dengan green-purple electric itu berkedip menyuguhkan skill pertarungan.
"Bukankah seharusnya mengeluarkan helikopter juga seperti mereka? Dengan jarak 36 kilometer mustahil serangan kakak dapat mencapai kapal induk," ucap Jarek. Telunjuknya mengarah tepat pada koordinat merah di dalam komputer tengah.
"What the f─" tanpa sadar berteriak dan menepis lengan Jarek, Hainrich melompat dari atas kursi kemudian melepaskan headphonenya. "JAREK!"
Hainrich kaget, adiknya jauh lebih kaget.
"Sejak kapan kau ada di dalam kamarku?!" Bulir almond menghunus Jarek yang sama sekali tak bergerak di tempatnya. Hainrich mengusap wajah, mengambil jeda untuk mengontrol degupannya. Sementara sisanya ia merasa begitu berdosa atas spontanitas gegabahnya barusan.
"Maksudku... Maaf, aku tidak mendengarmu masuk tadi," serunya lagi. Kali ini lebih lunak.
Lelaki itu lantas menarik halus pergelangan tangan sang adik, menginstruksikannya untuk duduk di kursi kemudian bertepuk tangan dua kali. "Shut down," ucapnya. Room device merespon, seluruh layar komputer mati bersamaan dengan bola yang tadi mengeluarkan sinar ultra perputaran nebula ─kamar kembali diambil alih cahaya normal dari lampu yang berada di tengah.
"Anything's wrong? You good?" Hainrich membungkuk, mencoba mencapai atensi Jarek yang semula tertunduk. Namun saat telapak tangannya menyentuh pundak sang adik, senyum Jarek justru terbit.
Ia nampak mendongak dan mengangguk antusias, "Seharusnya aku yang meminta maaf karena masuk tidak bilang-bilang. Aku juga ceroboh, tidak tahu kalau ternyata kakak tidak mendengar suaraku karena sedang bermain dengan squad kakak."
Hainrich berdecih, "Squad apanya. Mereka itu beban, terlalu tolol untuk seukuran level 25."
Sebenarnya ekspresi meyakinkan Jarek yang nampak baik-baik saja sudah lebih dari sekadar jawaban harap yang dipanjatkan Hainrich dalam benaknya saat ini. Benar, Hainrich merasa kikuk. Lidahnya beku untuk berbasa-basi apalagi menyusun semantik manis penuh perhatian sebab kurangnya jalan komunikasi diantara mereka.
Namun Jarek tahu Hainrich selalu memenuhi kedudukannya sebagai seorang kakak. Lihatlah! meski sempat melamun memperhatikan uap hyacinth yang keluar dari humidifier diffuser di sudut kamar, setelahnya Hainrich langsung berbicara sendiri ─mengkomando smart device agar menaikkan suhu ruangan. Baru ingat jika Jarek sensitif terhadap udara dingin.
Siapa bilang kak Hainrich cuek? Yang ini jelas pemikiran Jarek. Tarikan di kedua sudut bibirnya semakin melebar, mengikuti kesibukan kakaknya yang entah mengapa malah sok menepuk-nepuk kemudian menggantungkan jaketnya.
"Kalau begitu lain kali ajak aku saja."
Kepala Hainrich tertoleh, "Memangnya bisa?" Ia menekuk bibirnya tanda sangsi dengan kalimat percaya diri Jarek. Apalagi saat adiknya itu melipat kedua lengannya di depan dada.
"Aku ini cepat paham jika belajar sesuatu. Jadi tergantung seberapa pro kakak mengajariku saja, kalau benar aku pasti akan jago."
Si sulung menarik senyum tipis, baru akan mempertebal reaksi saat verbal yang amat ia hafal melompat dari balik pundaknya.
"Benar di sini rupanya. Aku mencarimu kemana-mana."