Malam itu Surya yang tengah menikmati tidurnya harus terusik oleh sosok sang istri yang baru ia nikahi belasan jam yang lalu. Menyentuh pun ia tak mampu karena belum dapat ijin. Suami rasa duda kembali. Ia hanya bisa menghela nafas dan menahan gairah laki-lakinya. Coba pejamkan mata kembali tapi justru punggungnya terkena pukulan.
Akhinya ia menoleh dan mendapati kaki sang istri ada di atas perutnya. "Astaghfirullah, kok bisa tidur model gini?" gumamnya keheranan. Ia coba benarkan posisi sang istri, ia selimuti kemudian dirinya merebahkan tubuh kembali. Tapi, baru saja hendak memejamkan mata, kepalanya dihantam sesuatu. "Ya Allah!" pekiknya cukup kencang. Ia balik badan dan rupanya siku tangan sang istri yang tak sengaja menyikut. Ia akhirnya duduk, memperhatikan bagaimana cara Yana tidur.
Sungguh, ia baru tahu ada manusia—perempuan lagi—tidur dalam kondisi yang tak bisa tenang. "Apa kasurnya harus diperluas lagi?" Gumamnya. "Padahal ukurannya king size loh." Surya benar-benar tak memahami sama sekali. Ia pun memutuskan untuk turun dari ranjang, ia memilih sofa sebagai tempat ganti tidur.
Pukul empat pagi ia bangun, sempat ia melirik sang istri dengan posisi kepala menghadap bawah, selimut dan beberapa bantal bahkan sudah berjatuhan. Sakit kepala Surya melihat itu, sebab dirinya dikenal sebagai pria yang sangat perfect dan menyukai kerapihan. Lekas ia buka pintu dan masuk untuk mandi dan mengganti pakaiannnya.
Usai dengan semua itu, ia keluar kemudian menahan nafas saat melihat bagaimana tersingkapnya piyama sang istri sampai memperlihatkan gunung di bungkus kain hijau muda berenda. "Astaghfirullah, duh, kenapa cobaannya berat sekali?" gumamnya kesal, ia tak mau merapihkan dulu karena takut akan menyentuhnya. Ia sudah ada wudhu dan harus segera beribadah. Nanti saja ia bangunkan, bahaya, sebab saat nanti mendekat miliknya lah yang akan tegak berdiri. Lebih baik ia kabur saja.
Sementara di luar keluarga yang memang masih ada menyambutnya. "Gimana Pak Surya?" tanyanya dengan menahan cengiran. Pria itu hanya tersenyum kecil lalu melewatinya untuk ke Masjid. Mereka pun berbondong-bondong menunaikan ibadah sholat subuh.
Surya memang terkenal sebagai orang yang rajin ibadah, mereka kira selama ini betah di Masjid ya karena duda, tapi rupanya tidak. Sudah ada istri pun ia tetap berlama-lama di sana hingga terbit matahari.
"Pak Surya?" tegur salah satu tetangga. Laki-laki menoleh ketika tengah melipat sajadah. "Kenapa masih tetap berlama-lama di Masjid?" tanyanya heran.
Surya mengerutkan keningnya. "Memang kenapa ya?" Ia agak bingung dengan pertanyaan itu.
"Loh, Bapak ini bagaimana sih, kan baru saja menikah masa istrinya di tinggal di rumah lama-lama?" Surya langsung menghela nafas, ternyata karena itu. Ya, benar memang ia sudah menikah tapi bukan berarti mereka bisa bersenang-senang seperti itu. Pasalnya istrinya saja enggan ia sentuh karena perbedaan usia yang sangat jauh. Ia hanya bisa pasrah saja menerima.
"Ya, tapi ibadah itu lebih penting," jawabnya. "Toh, semalam sudah kan?" Ia melanjutkan dengan kalimat ambigu. Tapi yang ditangkap oleh sang tetangga adalah goal yang tercetak sempurna.
"Ya baiklah kalau begitu, kau pasti lebih paham." Ia pun pergi di susul Surya kemudian.
Ketika ia tiba di rumah dan masuk kamar, sebuah bantal melayang padanya. "Astaghfirullah!" ucapnya kaget. "Kenapa, Dek?" tanyanya sembari membungkuk guna memungut bantal tersebut.
"Kan aku sudah bilang, mas juga sudah janji tidak akan menyentuhku, tapi apa buktinya?!" serunya kesal dengan melempar kembali bantal ke arah sang suami. Bahkan air mata wanita itu sudah mengalir. Surya yang tak paham mencoba untuk menutup pintu kamar kemudian mendekat perlahan sembari memunguti bantal-bantal yang berjatuhan.
Suara isak tangis terdengar sendu. "Aku masih perawan, Mas. Masa aku harus lepas perawan sama kamu sih, hu-hu-hu," akunya dengan begitu sedih.
Surya menghela nafas, lalu meletakkan bantal di ranjang, ia kemudian duduk. "Kenapa kamu membahas soal perawan?" tanyanya yang heran. Masih tidak bisa menebak apa yang terjadi pada sang istri.
"Nggak usah sok polos deh, Mas!" sindirnya kesal. "Sok nanya soal perawan segala. Kamu itu kan pengalaman, jadi pasti paham maksudku!" Yana mengusap ingusnya dengan piyama yang masih ia kenakan. Tampilannya sangat berantakan.
"Sudahlah, apa yang kamu khawatirkan itu tidak pernah terjadi," jelasnya sembari membuka kancing koko nya.
Yana langsung mendekap tubuhnya. "Mau ngapain, Mas?" tanyanya dengan wajah was-was. Surya malah terkekeh melihat konyolnya Yana. "Jangan ketawa!" sentaknya kesal.
"Ya, aku mau ganti baju dulu, setelah itu kau mandilah."
Yana hanya merenggut dan sedikit malu karena ternyata suaminya tidak pernah menyentuh dirinya.
***
Yana ke ruang makan setelah rapih dengan pakaian yang ia ambil dari lemari khusus—yang disediakan oleh Surya—ia berjalan agak pelan karena dress yang pendek. "Mas, ini baju apa daster sih, pendek amat?" gerutunya kesal.
Surya menahan nafas saat melihat seksinya sang istri di depannya. Ia tak sangka jika asset istrinya oke juga. "Ehem!" Ia berdehem. "Bagus dan cocok kok," pujinya sembari memberikan sepiring nasi goreng pada Yana. Wanita itu menerimanya dengan sedikit ragu. Lalu duduk perlahan dan meletakkan piring di atas meja. "Makanlah, setelah ini kita akan berkunjung ke rumah Kakak ku."
Yana melongo. "Mas masih punya Kakak?" Laki-laki itu hanya mengangguk saja, seolah enggan menjelaskan lebih. "Kok nggak datang waktu kita menikah?"
Surya yang hendak menyuap melirik Yana. "Rumahnya cukup jauh."
Yana mengangguk, lalu meraih sendok dan mulai memasukan makanan ke dalam mulutnya. Sembari mengunyah ia bertanya lagi. "Kalau jauh nggak bisa datang ya, memangnya seberapa jauh?"
Surya meletakkan sendoknya. "Makan dulu, jangan bicara kamu bisa tersedak nanti."
"Nggak kok, aku sudah terbiasa makan sambil bicara," sanggahnya.
"Tapi itu tidak baik."
Yana manyun, ia jadi malas makan. "Soal makan saja jadi masalah sih, Mas?"
"Bukan jadi masalah, tapi ...." Surya menghentikan ucapannya, ia memilih diam saja dan melanjutkan makannya.
"Tapi apa?" justru Yana yang penasaran dengan kalimat menggantung itu. Surya hanya menggeleng dan memberi kode untuk melanjutkan sarapan. Wanita itu pun menurut saja hingga makanan dalam piring tandas. "Masakan Mas enak juga."
"Terima kasih."
"Mas bisa masak apa saja?" tanya Yana dengan tangan meraih gelas minum dan meneguknya hingga setengah, tidak ada kata anggun di sana. Surya yang terbiasa disiplin dan perfect sedikit gatal untuk melarang tapi ia sadar jika dirinya tak boleh kaku dalam menghadapi wanita yang berusia di bawahnya.
Surya berdiri dari duduk, meraih piring kotor milik Yana lalu menumpuk dan mengangkatnya. Yana melongo. "Eh, biar aku aja Mas yang cuci," cegahnya tapi laki-laki itu tetap saja berjalan ke arah dapur dan meletakkan cucian di sana. Kaos lengan panjangnya ia gulung lalu mulai mengambil spons cuci piring. Yana memperhatikan sosok itu dari belakang, tubuh yang tinggi, tegap, pundak lebar dan pinggang yang ramping. Terlihat begitu gagah serta rapih dan terawat.
"Ganti bajumu, kita akan berangkat ke rumah Kakak ku." Yana gelagapan karena tiba-tiba sosok itu berdiri tepat di depannya. "Kenapa?" tanyanya yang membuat wanita itu langsung menggeleng cepat. Ia lekas berdiri kemudian masuk ke dalam kamar.
***
Surya tersenyum melihat penampilan Yana yang lebih tertutup saat pergi. Dengan celana jeans panjang dipadukan blouse warna silver, rambut yang diikat kuncir kuda membuat penampilan wanita itu terlihat makin dewasa dan cantik.
Mereka masuk ke dalam rumah yang dibilang cukup besar dan mewah. Bahkan lampu Kristal tergantung di teras rumah itu. Yana geleng-geleng kepala dengan orang kaya yang hobby sekali membeli lampu Kristal yang tentu saja mahal. "Ayo, jangan bengong," ucapnya. Yana menurut dan langsung membuntuti sang suami.
Begitu tiba di rumah itu seorang wanita yang mirip dengan suaminya muncul. Ia mengenakan hijab instan, dengan mas di jari dan pergelangannya. "Mbak," sapa Surya sopan sembari mencium punggung tangan wanita itu. "Dek, ini Mbak Ida, Kakak ku." Yana mendekat kemudian tersenyum dan langsung mengecup punggung tangannya.
"Oh, ini wanita yang tergila-gila padamu dulu?"
Deg.
KAMU SEDANG MEMBACA
TERJERAT CINTA PRIA TUA
Romance"Aku nggak mau nikah sama pria tua itu, Mah!" seru Yana dengan air mata mengalir. "Harus, Yan, kalau kamu nggak nikah sama Om Surya bagaimana nasib keluarga kita?!" Wati kekeh dengan pendiriannya. Sang putri geleng-geleng kepala melihat sikap sang i...