[23] Reaksi

107 16 0
                                    

Danar dan Jemima pun duduk di kursi yang berhadapan dengan Dokter Tessa. Dokter Tessa membawa sebuah gambar yang menampakkan proses perkembangan janin sebagai bahan yang akan dia jelaskan kepada pasangan muda yang ada di hadapannya saat ini.

"Masnya tegang banget, ya," kekeh Dokter Tessa. "Yah, wajar sih ya, kehamilan anak pertama soalnya."

Danar hanya bisa terkekeh basa-basi. Sejujurnya, dia sampai mules sekarang saking gugupnya. Sebuah perasaan yang tak bisa dia deksripsikan dan belum pernah dia rasakan.

"Jadi ini pembelahan pertama ketika melakukan seks," Dokter Tessa menunjuk gambar yang dia pegang, berniat menjelaskannya kepada Danar dan Jemima. "Di sini sel telur bertemu dengan sperma, kemudian dia membelah sebagai deret ukur, dari dua jadi empat, empat jadi delapan, delapan dari enam belas, enam belas jadi tiga puluh dua, tiga puluh dua jadi enam puluh empat, enam puluh empat dari seratus enam puluh delapan, begitu terus dan cepet banget. Pada minggu pertamaー"

"Dok, Dok, ntar dulu," Danar menyengir kuda, tertawa stres. "Boleh gak pelan-pelan dan pake bahasa yang bisa saya ngerti, gitu? Saya bener-bener pengen ngerti semua proses yang dijelasin."

Jemima bisa melihat betapa serius Danar saat ini. Kedua matanya fokus ke gambar yang Dokter Tessa pegang. Danar tak bohong ketika dia bilang, dia ingin mengerti tiap proses yang dijelaskan.

Dokter Tessa pun menjelaskan dengan bahasa yang sesederhana mungkin, meskipun tetap ada beberapa kata dan proses yang Danar tidak mengerti. Namun, setidaknya, dia mengerti secara garis besarnya. Tak semua kondisi ibu hamil itu sama. Ada ibu hamil yang justru selalu mual di awal kehamilan, tapi ada juga ibu hamil yang seperti Jemima, justru tidak merasakan mual sama sekali dan biasa saja. Danar bersyukur Jemima tidak merasakan sakit apapun sejauh ini.

"Ini minggu ke delapan, udah ada kepalanya, tapi tangannya masih kaya tangan bebek, ya. Terus ini ada calon kaki, namanya lim, masih semacem tonjolan aja," terang Dokter Tessa.

Danar tersenyum ringan melihat Jemima yang tersenyum manis selama Dokter Tessa menjelaskan. Danar bisa melihat dari kedua mata Jemima, betapa dia senang dengan fakta bahwa saat ini mereka sedang menunggu kehadiran seorang bayi.

"Terus, yang terpenting adalah dari mulai masa pembentukan sampe usia 16 minggu, itu disebut sebagai highly sensitive period. Artinya, pada masa ini, Bu Jemima harus masukin nutrisi yang banyak," kata Dokter Tessa.

"Ada pantangannya gak, Dok?" tanya Jemima.

"Misalnya, makanan manis gitu, Dok?" tambah Danar terkekeh geli, dibalas pukulan kecil oleh Jemima.

"Gak ada pantangan, ya. Semuanya boleh dimakan. Yang jadi pantangan tuh aktivitas. Nah, kalau mamanya banyak aktivitas, energinya jadi keambil dan bayinya jadi dapet energi sisa, energi yang gak bagus," jawab Dokter Tessa. "Pada dasarnya, gak ada pantangan makanan asalkan baik, bersih, dan gak berlebihan."

"Kalau kopi gimana, Dok?" tanya Danar.

"Kopi mah boleh-boleh aja. Gak ada masalah," jawab Dokter Tessa.

"Tuh," ujar Jemima. "Denger, gak?"

"Kopi tuh boleh, tapi maksudnya, ada zat-zat tertentu di kopi yang bikin bayinya aktif. Jadi, kalau bayinya hiperaktif ya… bisa karena kebanyakan kopi," jawab Dokter Tessa.

"Tuh," balas Danar. "Lebih baik jangan dulu, sayang."

Setelah melakukan USG dan semacamnya, Danar dan Jemima mengetahui fakta bahwa ternyata usia kandungan Jemima sudah menginjak empat minggu. Benar-benar suatu hal yang mengagetkan bagi Danar bahwa secara teknis, ternyata dia sudah menjadi seorang ayah sejak sebulan yang lalu. Sepanjang Jemima di-USG pun dia merasa cukup gelisah, entah kenapa. Bukan hanya gelisah, ada perasaan lain juga yang tersimpan di hatinya, meskipun dia tak tau perasaan apa itu.

Mungkin, perasaan khawatir dan senang, bercampur menjadi satu sehingga jadi terasa aneh.

Setelah selesai melakukan konsultasi seputar kandungan, Danar dan Jemima pun pulang ke rumah. Mereka mengobrol sepanjang perjalanan, hanya mengobrol tipis mengenai Dokter Tessa yang cantik dan masih muda, kliniknya yang bagus dan nyaman, dan lain-lain. Namun, mereka tak membicarakan kehamilan Jemima sama sekali. Sungguh, Danar tak pernah segugup ini sebelumnya untuk berhadapan dengan Jemima.

"Uhuy, ada yang pulang nih," kekeh Janu, menoleh ke arah Danar dan Jemima yang baru saja memasuki rumah. "Gimana, Mbak? Cewek atau cowok?"

"Apaan sih, Nu. Namanya juga baru empat minggu, ya belum bisa nebak jenis kelamin, lah," jawab Danar. "Kamu udah kerjain PR, belum? Biar hari Minggu bisa nyantai, loh."

"Galak amat. Nanti kalau udah punya anak gak boleh galak-galak, tau," cibir Janu.

Danar dan Jemima pun menaiki anak tangga, berjalan menuju kamar.

"Besok kamu mau ngapain, sayang?" tanya Danar melepaskan pakaiannya untuk menggantinya menjadi pakaian santai di rumah. "Azizah gak ngajakin main, gitu?"

"Aku di rumah aja," jawab Jemima. "Dengerin apa kata dokternya."

"Oh, ya? Kamu gak mau nonton bareng aku besok? Katanya ada film superhero bagus, tau, yang kuceritain waktu itu, terusー"

Ucapan Danar spontan terpotong ketika dia menyadari Jemima mulai menangis. Danar terdiam di posisinya, kaget. Apa? Ada apa? Kenapa Jemima menangis? Apakah Danar baru saja melakukan sesuatu yang salah? Lagi?

"Kenapa, sayang?" tanya Danar, berjalan mendekat ke arah Jemima. "Ada apa? Aku ada salah bicara?"

"Kamu gak seneng, ya."

"Gak seneng apa?"

"Sama bayinya."

Danar terdiam sejenak. Dia menenggelamkan kepala Jemima di dadanya, mengusap rambut Jemima perlahan dan penuh sayang. Dia mengerti maksud Jemima. Danar memang tak pernah secuek ini dalam menanggapi sesuatu, sebelumnya. Biasanya, sesimple Jemima yang bercerita mengenai harinya saja Danar bisa mendengarkan dengan antusias. Namun, kali ini, di saat ada bayi di perutnya, Danar tak bereaksi apapun. Bahkan, mereka belum berbicara serius mengenai kehamilan Jemima.

"Mana mungkin sih aku gak seneng," kata Danar, tersenyum ringan. "Aku seneng banget. Kalau bisa terjun ke samudra juga aku terjun, kali. Eh, alay banget ya perumpamaannya?" Danar tertawa, mencium puncak kepala Jemima. "Aku cuma kaget, bingung, dan khawatir aja. Bukan perasaan yang nyaman untuk dirasain karena aku sekhawatir itu sama kondisi kamu. Tapi, selebihnya, aku seneng banget."

"Beneran?"

"Aku bahkan gak tidur semalem. Kalau kamu liat aku bangun pagi dan main sama Janu, itu sebenernya aku belum tidur. Aku semaleman searching tentang apa yang boleh dimakan sama ibu hamil dan apa yang gak boleh. Apa kegiatan terbaik untuk ibu hamil, apa risikonya. Banyak, deh. Aku sekhawatir itu," kata Danar, menghela napasnya.

"Kamu gak tidur semaleman?" tanya Jemima, mengernyitkan dahinya khawatir.

Danar mengangguk. "Maafin aku ya karena reaksiku dari kemarin bikin kamu sedih. Bukannya aku gak seneng sama anak kita. Aku cuma semacem butuh waktu untuk memprosesnya, sayang."

"Tapi, waktu itu, kamu kan pengen nunda."

"Namanya juga rezeki, masa gak seneng? Lagian, kalau manusia ditanya kapan siap untuk sesuatu, jawabannya ya gak bakalan pernah siap. Kita justru ngerasa siap setelah kita ada di situasi itu," balas Danar. Danar menangkup kedua pipi Jemima, menempelkan hidungnya dan hidung Jemima, menatap Jemima dengan lekat. "Kita jadi orang tua, tau."

Jemima tersenyum. Danar terkekeh kecil.

"Sebenernya, di film-film tuh biasanya ceweknya tes kehamilan pake test pack gitu, Nar. Kita kok enggak, ya," kata Jemima, memasang wajah sedih. "Yang di film ternyata gak ada yang relate sama dunia nyata, nih. Gimana, sih."

Danar menahan tawanya. "Nanti ya, pas anak kedua."

Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang