Bab 31.

60.4K 4.7K 67
                                    

1,2k Vote, aku up

Selamat membaca

"Ayo kita makan siang, setelah itu kita akan langsung ke rumah sakit menemui dokter," ajak Viana.

"Bantu aku, sayang!" ujar Abimana.

Tanpa mengucapkan apa-apa, Viana membantu memapah suaminya menuju kursi roda kemudian mendorong kursi roda itu ke ruang makan. Mereka tidak membuat percakapan, tetapi bibir pasangan suami istri itu senantiasa tersenyum.

Saat kaki mereka memasuki ruang makan, mata mereka sudah bisa melihat beberapa hidangan yang tersedia di atas meja. Segera Viana mendorong kursi roda suaminya ke salah satu sisi meja kemudian mengambil sebuah piring kosong.

"Kamu mau apa?" tanya Viana pada sang suami.

"Apa saja," balas Abimana seadanya.

Viana mengangguk dengan tangan yang mulai bergerak mengambil nasi serta lauk pauk yang sekiranya cocok dengan Abimana. Setelah dirasa cukup, barulah Viana meletakkan piring yang sudah terisi lengkap itu di depan suaminya.

"Terima kasih," ujar Abimana tersenyum.

Viana balas mengangguk dengan bibir yang ikut menyunggingkan senyum tipis. "Sama-sama."

Akhirnya makan siang berlangsung dengan hikmat setelah Viana beralih mengambil nasi serta lauk pauk untuk dirinya sendiri dan menduduki dirinya di sebelah sang suami.

~o0o~

Mobil yang ditumpangi sepasang suami istri yang tak lain adalah Abimana dan Viana memasuki kawasan rumah sakit. Pengawal yang menjadi sopir dari mobil tersebut dengan sigap memarkirkannya di parkiran rumah sakit.

Setelah mobil terparkir apik, Viana dibantu pengawal, membantu Abimana untuk dipindahkan ke kursi roda. Kehadiran pengawal itu cukup membantu Viana. Karena pengawal itu, memindahkan Abimana jadi terasa lebih mudah.

Viana memperbaiki tas yang tersampir di bahunya, kemudian mulai mendorong kursi roda yang diduduki sang suami masuk ke dalam rumah sakit. Langkahnya cukup santai dan tidak terburu-buru sehingga orang-orang menangkap ekspresi biasa pada wajah Viana.

Mereka tidak tahu jika sejatinya Viana dilanda rasa gugup, takut dan gembira secara bersamaan. Ia gugup dikarena ini kali pertama mengantar seseorang ke dokter terlebih orang itu adalah suaminya sendiri.

Selain itu rasa takut yang melanda Viana adalah takut hasil yang tidak memuaskan. Bagaimana jika memang Abimana didiagnosa lumpuh selamanya? Apakah Abimana akan sangat kecewa? Ia takut membayangkan wajah frustrasi dari sang suami.

Tapi apapun yang terjadi, ia akan selalu menemani pria yang menjadi suaminya ini. Tidak peduli jika memang suaminya ini didiagnosa lumpuh selamanya, ia akan selalu bersama pria yang dicintainya.

Tak terasa, langkah Viana membawa mereka tiba di sebuah ruangan dengan pintu yang bertuliskan 'Dr. Alan Rouen'. Dokter yang tempo hari telah menjahit luka pada telapak tangan Abimana. Viana perlahan mengangkat tangannya kemudian mengetuk pintu tersebut.

"Masuk." Terdengar suara tersirat sebuah instruksi dari dalam ruangan membuat Viana memutar gagang pintu kemudian masuk ke dalam ruangan bersama dengan suaminya.

"Selamat siang, Dokter Alan," sapa hangat Viana tak lupa dengan senyum manis.

"Selamat siang juga Nyonya. Senang bertemu anda kembali," balas Alan.

Dahi Abimana mengernyit tak suka. Dadanya terasa panas saat melihat istri dan dokter yang diketahuinya bernama Alan itu saling membalas senyum. Ia jadi berharap kakinya cepat sembuh agar bisa mencegah Viana bertemu dengan pria lain selain dirinya dan jika diperlukan, ia akan mengurung Viana hanya untuk dirinya sendiri.

"Awas kau dokter sialan," batinnya menatap Alan penuh permusuhan.

Alan yang merasa ada tatapan yang tidak sedap segera mengalihkan pandangannya ke arah Abimana. Sekilas dapat ia lihat tatapan penuh permusuhan yang dilayangkan dari pria yang ada di depannya sebelum akhirnya tatapan itu digantikan dengan raut yang lebih bersahabat.

"Selamat siang Tuan," sapa Alan ramah meski dirinya sedikit bingung dengan tatapan penuh permusuhan itu.

Apakah dirinya pernah menyinggung Tuan Muda Adhias dengan sengaja atau pun tidak sengaja? Atau mungkin tatapan itu dikarenakan ia menjahit tangan dari pria yang ada di depannya sampai pria itu menangis meraung-raung? Entahlah yang pasti Alan tidak peduli. Sebagai dokter dengan nama melejit naik, tentu saja dirinya harus membangun sikap profesional yang tinggi.

"Siang." Abimana membalas sapaan Alan dengan sangat datar.

Tersenyum sekilas, Alan kembali menatap Viana. "Jadi Nyonya ingin memeriksakan tentang kaki suami anda yang tidak bisa berjalan, seperti yang sudah anda katakan, bukan?"

"Benar, apakah bisa?" tanya Viana.

"Tentu, silakan ikuti saya," ujar Alan. Pria itu bangkit dari tempat duduknya kemudian berjalan menuju sebuah ruangan kecil yang ada di sana diikuti oleh Viana dan Abimana.

Alan menyibak tirai gorden berwarna hijau pada ruangan itu sehingga menampilkan sebuah brankar. "Nyonya bisa bantu memindahkan Tuan untuk merebahkan tubuhnya di sini?" tanyanya sembari menunjuk brankar itu.

"Tentu." Segera Viana memindahkan suami ke atas brankar dengan dibantu Alan. Abimana sendiri hanya diam meski sebenarnya ia cukup risih dengan sentuhan dokter sialan itu.

"Baiklah Nyonya, bisakah anda menjauh sedikit? Saya ingin memeriksa anda."

Dengan patuh Viana sedikit memundurkan tubuhnya kemudian memperhatikan Alan yang terlihat lihai mengotak-atik alat medis. Beberapa saat kemudian, pemeriksaan telah selesai. Alan, Abimana serta Viana kembali ke tempat awal.

"Jadi bagaimana keadaannya, dok?" tanya Viana. Saat ini ia bersama dengan Abimana duduk berhadapan dengan Alan.

Dokter muda itu terlihat menghela napas pelan. "Ini cukup sulit dideteksi. Kemungkinan akan saya alihkan untuk melakukan pemeriksaan khusus bersama dokter ahli saraf karena saya sendiri kesulitan untuk mendiagnosanya," jelas Alan.

"Jadi, untuk sekarang, anda sama sekali belum bisa mendeteksinya?" tanya Viana.

"Benar. Oleh karena itu, saya meminta Tuan dan Nyonya untuk kembali datang besok karena akan ditangani langsung oleh rekan saya yang berprofesi sebagai dokter khusus saraf," jelas Alan lagi.

"Baiklah kalau begitu. Terima kasih atas waktunya, besok kami akan berusaha untuk datang. Sampai jumpa besok, kami permisi."

Viana bangkit kemudian beranjak bersama Abimana yang sedari tadi terlihat terdiam. Apakah suaminya ini sedih? Ataukah ada yang mengganjal hati suaminya?

Viana tak mau ambil pusing. Ia mengelus bahu sang suami pelan. "Semua akan baik-baik saja."

TBC.

Suami Gangguan Jiwa (TERBIT)Where stories live. Discover now