Dua Puluh Tahun Kemudian

26 3 0
                                    

"Kenapa anak itu masih juga di sini?" Darman menggeram kepada Alan, sementara pandangannya tertuju ke arah Hamzah yang terlihat mengangkut karung berisi rumput pakan kambing milik Abah Ibrar.

"Bukannya sudah kusuruh kamu untuk singkirin dia? Kenapa selalu gagal?"

"Aku dan teman-teman sudah nungguin di pos sampai subuh tadi. Tapi dia nggak lewat sana." Alan berkilah membela diri.

"Gimana bisa dia nggak lewat sana? Itu jalan satu-satunya yang selalu dilewatin Hamzah kalau keluar masuk kampung ini. Nyatanya sekarang dia juga sudah di sini lagi. Kalian saja pasti yang ketiduran dan nggak liat dia lewat!"

"Enggak, Dar! Berani sumpah aku sama teman-teman. Jangankan bisa tidur, lha wong sepanjang malam kita sibuk perang sama nyamuk hutan, kok. Pakai lotion anti nyamuk pun nggak mempan!"

"Halah malah bahas lotion anti nyamuk segala lagi. Itu sekarang gimana kamu dan lainnya tanggung jawab atas kegagalan kalian buat nyingkirin si Hamzah?"

"Kita bisa lakukan lagi lain waktu kalau dia kembali pulang."

"Kita sudah kehabisan lain waktu! Tuh liat pakai mata kamu!"

Darman menolehkan kepala Alan ke arah Hamzah lagi.

Namun bila tadi Hamzah terlihat sedang mengangkut rumput untuk pakan kambing gurunya, sekarang pemuda itu sudah berdiri di sebelah primadona pujaan setiap pria di Watu Tulis, termasuk juga Darman yang telah lama berhasrat untuk memilikinya.

"Farida sudah ada di sana!" Darman menggeram di telinga Alan yang nyengir kuda salah tingkah.

"Oh, iya. Ngapain ya Mbak Farida pagi-pagi udah nyamperin Hamzah ke kandang?"

"Kukepret juga kamu lama-lama! menurutmu ngapain kalau dia sampai senyum-senyum gitu di depan si anak mantan napi?"

Alan kembali nyengir, kian ketar-ketir bakal dihadiahi bogem mentah oleh teman karibnya yang ringan tangan itu.

"Kalau semalam kalian nggak gagal, hari ini yang ngobrol sama Farida pasti aku, dasar gemblung nggak guna!"

Usai menggeplak kepala Alan, Darman pergi  membawa serta amarahnya.

Namun dasar entah Alan yang kelewat sabar atau bodoh, ia tetap saja segera menyusul teman yang selalu memperlakukannya layaknya kacung itu.

"Kamu mau ke mana, Dar?! Aku ikutlah! Jangan ambekan kamu ini biar Mbak Farida nggak diserobot Hamzah!"

*

"Bagaimana kabar emak sama bapaknya, Mas Hamzah?" tanya Farida dengan suara renyah sambil menunggui Hamzah yang masih sibuk meletakkan pakan pada keranjang khusus di depan setiap kandang kambing.

Farida adalah putri semata wayang Abah Ibrar yang tak lain juga merupakan sepupu jauh Darman.

Usianya terpaut tujuh tahun lebih muda dari Hamzah, tetapi Farida sudah sejak lama menaruh hati padanya, bahkan terang-terangan menolak cinta Darman dengan alasan cintanya sudah diberikan untuk Hamzah.

"Alhamdulillah, baik."

Farida memanyunkan bibir.

Jawaban singkat Hamzah sudah cukup menjelaskan bagaimana soal perasaannya.

Tak ada yang istimewa.

Selama ini, Hamzah hanya menganggap Farida sebagai adik perempuannya. Sebab dia terlalu fokus memperbaiki diri dan membalas budi sampai tak sempat untuk merasakan jatuh cinta.

Apalagi sampai naksir anak gurunya sendiri.

Hamzah tak senekad itu. Dan dia tidak punya waktu sebanyak orang lainnya untuk bisa menikmati masa muda karena banyak utang yang masih harus dilunasi.

"Lain kali, saya boleh dong, diajakin nengok bapak sama ibunya Mas Hamzah."

"Insya Allah, nanti akan Mas ajakin kamu." Usai mengulas senyum sekilas, Hamzah memasang masker dan berlalu menuju area penyimpanan peralatan.

Seolah ingin mengusir secara halus, Hamzah pun bergegas untuk membersihkan kandang.

Dia melakukan pekerjaan itu sedari pertama kali menginjakkan kaki di Watu Tulis dan berlangsung sampai sekarang.

Hamzah tak pernah sekalipun mengeluhkan pekerjaannya dan tidak pernah berkeinginan untuk meninggalkan padepokan meskipun ayahnya telah dibebaskan semenjak beberapa tahun lalu.

Dalam hatinya, dia sudah bertekad baru akan pergi jika gurunya sendiri yang mengusirnya.

Sebab jika bukan karena kebaikan Abah Ibrar yang meminjamkan uang untuk menyewa pengacara, tidak mungkin juga ayahnya bisa keluar penjara lebih cepat dari vonis hakim.

Hamzah merasa terikat oleh utang uang sekaligus budi sejak saat itu. Dan hal tersebut menjadi sebab dia rela terpasung di sini sampai sekarang.

Lama Farida bertahan di sana meski diabaikan, sampai kemudian terdengar panggilan Darsih--pembantu yang bekerja di rumahnya, dari arah depan.

"Mbak, dicariin Abah, tuh!" panggil Darsih yang kini berjalan tergopoh mendekati Farida. "Dari tadi saya cari-cari nggak ketemu, nggak tahunya di sini nungguin embek makan."

"Ngapain Abah nyari saya, Mbak?"

"Wah nggak tahu e, Mbak. Tapi tadi di depan ada mobil kinyis-kinyis. Sepertinya tamu penting."

Menoleh sekilas ke arah Hamzah yang tampaknya tidak peduli lagi dengan keberadaannya, Farida akhirnya mengangguk dan berjalan pulang tanpa pamit pada sang pujaan hatinya.

Sesampainya di rumah, Farida sudah ditunggu oleh tamu yang tadi dikatakan Darsih sebagai tamu penting.

"Kamu dicariin Leo, Da." Abah Ibrar mengutarakan kepada putrinya yang berjalan ragu-ragu memasuki ruang tamu rumah mereka. "Nah, karena anaknya sudah datang, sekarang silakan bicara sendiri padanya, Nak Leo. Saya sebagai orang tua cuma akan mengikuti apa kata anak saya saja, sebab saya nggak ikut menjalani."

Farida menelan ludah gugup mendengarkan perkataan abahnya.

Meskipun dia belum tahu apa yang hendak disampaikan oleh tamunya ini, tetapi dari bagaimana cara abahnya berbicara, Farida sudah bisa menebak apa yang hendak diutarakan oleh tamunya. Yang tak lain dan tak bukan merupakan teman kampusnya.

"Ada apa, Leo?" tanya Farida sambil menarik kursi rotan di sebelah abahnya. "Kok tumben kamu pagi-pagi sudah ke sini?"

"Soalnya aku takut kedulan sam orang lain." Leo menjawab sembari mengurai senyuman lebar. Tak terkesan ingin basa-basi. "Aku pengen meminang kamu, Da."

Tidak meleset sama sekali dari dugaan Farida.

Harun yang kebetulan menyirami tanaman di sekitar teras dan tak sengaja mendengarkan pembicaraan itu, cepat-cepat berlalu dari sana guna mencari Darman.

"Dar, celaka tiga belas!" teriak Harun begitu menemukan Darman yang tengah asyik sarapan bersama Alan di gubuk dekat kolam ikan tak jauh di belakang padepokan.

"Mau ngapain kamu ke sini? Jangan gangguin aku yang lagi makan. Suasana hatiku lagi nggak bagus gara-gara keteledoran kalian."

"Maaf, tapi ini berita penting soal Mbak Farida."

"Kamu mau bilang kalau dia sama Hamzah lagi ngobrol di kandang kambing?" tebak Darman sotoy mengira memang itulah yang akan disampaikan oleh Harun padanya.

"Bukan! ini lebih gawat dari sekadar Hamzah. Mbak Farida ... dilamar sama teman kampusnya!"

Darman langsung menyemburkan nasi di mulutnya begitu Harun selesai melapor.

Tidak cukup sampai di sana, dia juga langsung membanting piringnya dan menjawat kerah pakaian Harun murka.

"Jangan bercanda kamu sama aku!"

"Aku nggak bercanda! Kalau kamu nggak percaya, silakan periksa saja sendiri langsung ke rumah Abah. Sekarang tamunya masih di sana. Dan dia jauh lebih meresahkan dibandingkan Hamzah! Anak orang tajir!"

*

Diburu BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang