Bunyi mesin EKG memenuhi ruangan. Seorang gadis terbaring di brankar dengan oksigen dan selang terpasang di beberapa bagian tubuh. Bibirnya sangat pucat. Meski begitu, dia berhasil melewati masa kritis hari lalu.
Di sudut ruangan, seorang anak laki-laki duduk berdiam diri. Kepalanya tertunduk, menatap lantai keramik. Dia Alfan Reardika, sang penyelamat terhebat. Dia berhasil menyelamatkan nyawa Claudia yang diambang kematian pasca kecelakaan itu.
"Alfan ...." Jemari Claudia bergerak pelan. Matanya terbuka perlahan.
Alfan menoleh, menatap ke arah brankar. Sudut bibirnya menampilkan senyum segaris. Tak membiarkan Claudia mencari-cari keberadaannya, Alfan pun berjalan mendekat.
"Kamu masih ... di sini?" tanya Claudia lemah. Di hari pertama kali ia membuka mata, Alfan satu-satunya orang yang ia lihat. Bukan sang papa atau pun mamanya.
Alfan mengangguk pelan. "Gue di sini."
Alfan duduk di kursi. Ia pandangi Claudia yang sekarang menatap langit-langit ruangan yang ditempati dengan sorot sendu.
"Ada apa, Clau?" tanya Alfan pelan. Sebelah tangannya perlahan menggenggam telapak tangan Claudia yang terasa dingin. Ia beri kehangatan.
Air mata Claudia turun begitu saja. Ia tak tahu sedang memikirkan apa, semuanya terasa menyesakkan dada. Ia hidup, tapi rasanya seperti mati.
"Aku berharap hari itu mati," lirihnya.
Alfan menguatkan genggaman. "Dan, gue nggak akan pernah biarin hal itu terjadi sama lo."
"Kenapa?" Sorot Claudia berpendar, menatap Alfan dengan air mata menggenang.
"Karena kita sama." Alfan tersenyum hangat. Dia mengusap air mata Claudia penuh kelembutan. Tatapannya penuh ketulusan.
Claudia terdiam.
"Tetap hidup Claudia," pinta Alfan.
Claudia membiarkan air matanya kembali luruh. Perkataan Alfan membuatnya kian sesak.
"Jangan biarkan kehidupan yang berat ini ngerenggut nyawa lo. Lo harus tau satu hal, Clau. Di depan sana ... pasti ada secercah kebahagiaan yang sedang menunggu kita. Kenapa harus menyerah sekarang?" tanya Alfan tanpa melepaskan genggaman.
"Gue tau lo kuat, buktinya lo masih bisa bertahan sampai detik ini. Bahkan, jiwa dan raga lo menolak untuk mati di hari itu. Lo masih bisa melihat dunia."
"Kalau lo ngerasa sendiri, datang ke gue. Gue akan selalu ada buat lo, kapan pun itu. Dengan senang hati, gue beri lo pundak untuk bersandar. Satu hal yang gue mau dari lo ... gue mohon, tetap hidup." Alfan menunduk.
"Ayo berjuang bersama," kata Alfan lagi.
Claudia terisak kencang. Tangisnya mengisi ruangan. Alfan semakin menunduk, berusaha menyembunyikan air matanya yang semakin mendesak untuk keluar.
"Kamu sudah makan, Fan?" Claudia mengalihkan pembicaraan. Ia seka air matanya. Ia tak ingin terlihat semakin menyedihkan lagi.
Alfan mengangguk. "Udah tadi."
Pintu ruangan terbuka. Seorang pramusaji masuk membawa nampan berisi makanan dan air minum.
"Waktunya Claudia makan siang," katanya ramah lalu beranjak dari ruangan setelah menaruh nampan tersebut ke meja di dekat brankar.
Alfan menatap pintu ruangan yang kembali di tutup rapat. Setelahnya, pandangannya beralih pada nampan. Seperti hari lalu, menunya bubur ayam.
"Waktunya makan siang." Alfan melepaskan genggaman lalu bergeser mengambil nampan dengan hati-hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not A Narsis Baby (TERBIT)
Teen FictionFOLLOW SEBELUM MEMBACA KARENA SEBAGIAN CERITA DI PRIVATE! JANGAN TUNGGU SAMPAI ENDING, NANTI NYESEL🥵 Ini bukan kisah tentang Cinderella yang kehilangan sepatu kaca atau pun kisah seorang nerd girl yang bertemu pria kaya raya. Ini hanyalah kisah Ru...