9. Pagi hari

368 55 10
                                    

Makan bersama di pagi hari sudah biasa untuk Blaze. Namun, saat ini Blaze benar-benar terlambat bangun karena beberapa hal yang harus dirinya persiapkan sebelum lomba sepakbola di sekolahnya.

Blaze mengusap matanya yang masih ingin tertidur. Berbeda dengan yang Solar memotong dagingnya dengan sempurna. Disamping Blaze ada Thorn yang masih tak berani menyentuh pisau atau garpu.

Solar mencoba tak peduli dengan anak laki-laki yang setahun lebih tua darinya itu. Dirinya lebih memilih sibuk dengan urusannya.

Seolah paham dengan apa yang dirasakan Thorn, Ice yang berada sampingnya menukar makanannya dengan milik Thorn. Meski sudah Ice makan beberapa.

Ice itu pintar, dirinya bisa mengerti bagaimana cara memotong daging dengan pisau meski masih ada beberapa kesalahan.

Solar menghela nafas, "Aku rasa aku akan sakit." Amato tersenyum miring mendengar tuturan putra bungsunya.

"Apa rasanya tidak enak, Solar?"

"Rasanya sama seperti biasa, tapi suasananya sangat tidak biasa." Amato sontak mengerti apa yang akan Solar bicarakan.

"Pergilah kekamar, sebentar lagi kau akan ikut Olimpiade bukan?" Amato membersihkan kotoran dari mulutnya menggunakan serbet.

"Apa kau ingin Ayah mengirim makanan kekamarmu?" Solar menggeleng lalu pergi kekamarnya.

Melihat putranya pergi sontak Amato melirik Taufan. Taufan segera membereskan makanannya.

"Gempa kita harus cepat. Aku tidak ingin Yaya mengomel karena kita terlambat." Taufan mengambil tas miliknya dan Gempa.

"Kami pergi dulu Ayah!" kedua anak kembar itu dengan cepat pergi meninggalkan ruang makan.

"Aku ingin menunggu Solar berangkat. Tapi lebih baik sekali-kali Aku juga berangkat lebih pagi." Blaze ikut mengambil tasnya dan sebuah roti tawar.

Ini bukan hanya perasaan Halilintar jika hawa diruang makan lebih dingin karena Ice juga merasakannya.

"Ice."

Ice menoleh kearah Amato saat namanya dipanggil dengan dingin. Ice tak bisa mengeluarkan kata-katanya, dirinya keheranan. Ini pertama kalinya Amato sedingin itu padanya.

"Akan lebih baik jika kau mengajarkan Thorn untuk memotong daging miliknya. Bukan memberikan bekasmu," ucap Amato. Ice hanya mengangguk, tak ada yang bisa Ice keluarkan dengan mulutnya sekarang.

Thorn yang melihat raut Ice yang menjadi pasi meneguk ludahnya. "Ini salah Thorn. Maaf."

Perhatian Amato tertuju pada Thorn. Memang benar jika Thorn masih banyak kekurangan, seharusnya Amato tau itu. Jika seperti ini dirinya hanya akan menambah beban untuk anak yang baru diangkatnya itu.

Amato salah besar.

Amato menggeleng, "Ini salahku. Maaf Ice karena membuatmu takut. Aku tidak ingin Thorn terlalu bergantung padamu nanti. Dan aku juga tidak ingin Solar tersentak dengan perilaku tadi."

"Maafkan aku, Ice."

Ice masih menunduk tanpa sadar jika kepalanya mengangguk.

Halilintar yang berada didepan adik-adiknya hanya mengulum bibirnya. Dirinya tak bisa melakukan apapun sekarang.

Amato berdiri dari duduknya, "Aku akan pergi sekarang." Amato berjalan mendekati Ice yang menurutnya masih ketakutan.

Amato mengusap lembut rambut Ice. "Jika ada masalah selama Aku tidak ada dirumah. Kalian bisa meminta tolong seseorang."

Kini hanya tinggal Ice dengan saudaranya yang berada diruang makan. Ice menatap makanan milik Thorn yang belum tersentuh. Dirinya kembali menunduk.

"Jangan terlalu dipikirkan, Ice. Lebih baik kau kembali makan," ujar Halilintar kembali pada makanannya.

Mawar dibelakang MansionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang