[END]
"Jika kata adalah mantra yang mampu menembus langit maka kupinta ia tetap bersamaku. Namun sayangnya kata tidak mampu mengembalikan yang pergi"
°
°
"Nana suka dandelion kak."
"Kenapa? Ada bunga yang lebih cantik loh."
"Dandelion itu rapuh kak...
“Ternyata aku gak bisa apa-apa tanpa Kakak,” -Nakula-
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[•••]
Hari demi hari Nakula lewati, terapi demi terapi Nakula lewati pula. Setiap harinya remaja laki-laki itu lewati begitu biasa dan lancar, kini entah kenapa semakin berat. Caranya berjalan pun sudah tidak seperti dulu.
Nakula berjalan sedikit mengangkang, dia kesulitan berjalan. Sesekali Nakula terjatuh. Di sekolah tidak sedetikpun Ceassa dan Aji meninggalkan Nakula. Bahkan ke kamar mandipun, keduanya selalu menemani. Bukan di luar, tapi di dalam. Ya keduanya menemani, takut sesekali Nakula terpeleset dan jatuh di lantai kamar mandi yang licin.
"Maaf," ucap Nakula yang duduk di closet, dia merasa malu. Karena harus ditemani Aji dan Ceassa, sedangkan keduanya hanya menggeleng tidak keberatan. Terkadang Aji dan Ceassa tidak mampu menahan air mata saat melihat kondisi Nakula. Nakula yang dulu begitu kokoh, kini sangat rapuh.
Tatapan mata teman-teman Nakula yang lain juga berbeda. Ada yang memandang dengan tatapan aneh, iba bahkan tidak sedikit yang merasa risih.
"Kamu gak usah urusin mereka."
"Ada kita di sini Kula," ucap Ceassa dan Aji bergantian. Keduanya menuntun Nakula berjalan di lorong sekolah. Sangat lamban.
"Belnya sudah berbunyi."
"Tidak masalah," jawab Ceassa
"Maaf kalian telat karena aku." Lagi-lagi Ceassa dan Aji hanya menggeleng.
Suara knop pintu membuat Pak guru yang sedang menjelaskan materi berhenti. Tidak hanya itu saja, seluruh siswa yang ada di kelas itu, yang tadinya sedang fokus mendengarkan materi pembelajaran, atensi mereka kini tertuju kepada ketiga remaja laki-laki yang baru saja masuk kelas. Kurang lebih lima belas menit ketiganya telat.
"Maaf Pak kami telat."
"Tidak apa-apa Nakula, kamu bisa duduk di bangkumu. Kalian juga Aji, Ceassa."
"Terimakasih Pak." Pak guru memulai kembali pembelajaran setelah ketiganya duduk di bangkunya masing-masing.
•
•
"Bagaimana hari ini Nakula?" tanya Dokter Angkasa yang sedang duduk di hadapan Nakula.
"Semuanya berjalan lancar dokter," jawab singkat Nakula.
"Baiklah, kita bisa mulai terapinya ya." Nakula mengangguk.
Cerita yang dipromosikan
Kamu akan menyukai ini
Entah sudah berapa kali Nakula melakukan terapi jalan. Ia berjalan di tengah-tengah dua besi yang menjadi pegangannya. Bukannya semakin lancar berjalan, kaki Nakula semakin hari semakin kaku. Tapi dia terus melanjutkan terapinya, meski di sela-sela terapinya Nakula terjatuh.
Seperti sekarang, Nakula kembali terjatuh. Dia kehilangan keseimbangannya, untung saja ada sebuah tangan yang menopangnya.
"Gak papa, ada Kakak di sini." Arjuna tersenyum memberi semangat kepada adik laki-lakinya. Nakula mengangguk mengerti, ia kembali berdiri dan melanjutkan terapinya.
Keduanya sedikit menjauh dari Nakula, membiarkan Nakula tidak mendengar apa yang ingin keduanya bicarakan.
Dokter Angkasa memberikan secangkir kopi hangat kepada laki-laki yang tidak jauh berbeda dengan usianya itu.
"Terimakasih Dok." Dokter Angkasa memberikan gestur yang bisa diartikan 'tidak masalah'.
"Arjuna, sebelumnya saya minta maaf. Saya sudah menangani pasien penderita saraf, tapi ini kali pertamanya saya menemukan pasien seperti Nakula." Dokter Angkasa berhenti sejenak, menegak kopinya.
"Penyakit itu menyarang di usia pasien yang bisa dibilang sangat rentan. Pilihannya hanya dua, bertahan atau menyerah." Arjuna mendengarkan seksama apa yang sedang dokter Angkasa ucapkan.
"Kasusnya di Nakula, dia memilih untuk bertahan. Meski dia sendiri tahu, umurnya tidak akan sepanjang teman-temannya nanti."
"Saya tahu Dok," jawab Arjuna singkat dengan pandangannya tidak lepas dari Nakula, sesekali memberikan senyuman kepada adik tercintanya.
"Nakula ingin sedikit lebih bertahan, alasannya adalah kamu Juna. Kakak yang begitu dicintai. Meski saya tahu, kamupun pasti tahu. Anak itu sudah menahan rasa sakit, penyakit itu benar-benar begitu cepat menyerang kondisi tubuhnya. Baru saja seminggu dari kejadian itu, kaki Nakula sudah sulit digerakkan."
Arjuna menghela napas panjang, menahan sedih, marah yang sepertinya akan meledak dari hatinya.
"Jika seperti ini, umur Nakula tidak akan bertahan lebih lama." Final Dokter Angkasa. Arjuna merekat gelas kopi yang terbuat dari kardus berlapis plastik itu.
"Saya tahu ini sulit untuk kamu dan Nakula. Tapi saya harap kamu bisa kuat Juna."
"Saya akan lakukan segala cara untuk kesembuhan adik saya Dokter. Jika rumah sakit ini tidak bisa menyembuhkan adik saya, saya akan bawa Nakula ke luar negeri!" Suara Arjuna sedikit menekan, dan pergi meninggalkan Dokter Angkasa.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.