Esok harinya, pada suatu siang yang terik. Pada akhirnya Jimin pun mengikuti permintaan sang ayah untuk berkunjung ke kantor perusahaan propertinya. Tentu saja ia melakukannya dengan sedikit terpaksa karena sore hari nanti ia harus bertemu dengan Rose. Jimin tak mau waktunya bersama gadis itu ada yang mengganggu.
Seperti sebelumnya, Jimin selalu asyik menghabiskan waktu bersama Rose. Pergi ke taman kota, tempat karaoke, hingga menemani gadis itu belanja di mall. Rose selalu meminta pendapatnya ketika membeli sesuatu. Seperti jam tangan, jepit rambut, baju dan sebagainya.
Sepanjang langkah ia masuk ke dalam bangunan itu. Jimin harus melihat banyak sekali karyawan yang sedang membenahi barang - barangnya. Mereka terpaksa dipecat karena dampak dari pandemi. Perusahaan sudah tidak sanggup untuk menggaji. Omset yang didapat tidak bisa menutup pengeluaran.
"Ratusan rumah tidak laku terjual, beberapa hotel juga kini sudah tidak ada pemasukan. Belum lagi dengan beberapa konsumen yang pembayaran sewanya menunggak. Mereka memilih untuk memutus kontraknya." Sang asisten menjelaskan kepada sang ayah.
"Bagaimana dengan saham di pabrik Excavator ACR dan perusahaan lainnya?"
Pria itu menggeleng. "Tidak ada harapan lagi Pak. Sahamnya juga turun anjlok karena proses produksi di pabrik yang terpaksa dihentikan. Di tengah pandemi ini, seluruh infrastruktur tidak bisa berjalan dengan normal. Semuanya terhambat karena banyaknya karyawan yang terpapar virus. Perusahaan lain juga demikian."
Tanpa sadar Jimin mengepalkan tangannya setelah mendengar penjelasan dari asisten sang ayah. Mendadak ia teringat akan obrolan Ibunya dengan Dami semalam. Mungkinkah benar bahwa keluarga mereka mengalami...
"Untuk selanjutnya, kami menunggu keputusan dari bapak," ucap pria itu.
Jihyun melepas kacamatanya kemudian tersenyum. "Karyawan-karyawan yang dipulangkan sudah dapat kompensasinya?"
"Sudah pak." Jihyun mengangguk paham. "Kalau begitu, tolong diinformasikan kepada semuanya. Untuk sementara kantor dinonaktifkan dulu"
'Deg'
Jimin langsung mendongak mendengar ucapan sang ayah.
"Pa? M-maksudnya gimana? Kenapa langsung dinonaktifkan? Lalu kita bagaimana?" ia bertanya dengan panik kepada sang ayah.
"Nggak ada jalan lain Jim. Memaksa perusahaan berjalan di saat seperti ini bukan pilihan yang tepat," jawabnya dengan santai.
"Pak Kim, silahkan diinformasikan ke semuanya ya?" Jihyun memerintahkan sang sekretaris.
"Baik pak!"
Seperginya pria itu, Jihyun menoleh kepada Jimin yang nampak begitu shock. Dengan hati-hati Jihyun menyentuh dan mengusap bahu Jimin.
"Ini yang mau Papa bicarakan sama kamu... "
Jimin menatap Sang ayah dengan mata yang memerah.
"Maaf, tapi keluarga kita sedang dalam kebangkrutan"
Satu kata yang sangat tak ingin Jimin dengar, akhirnya keluar lancar dari mulut Sang ayah. Salah satu ketakutan Jimin akhirnya terjadi.
"Jangan terlalu dipikirin," kata Jihyun.
"Pokoknya kamu harus tetap fokus sama kuliah kamu ya? Papa pasti bakal berusaha kok demi kamu sama mama." Jimin tidak menjawab. Ia hanya diam dengan wajah yang kaku. Moodnya benar-benar dalam kondisi terburuk. Di dalam hatinya yang dipenuhi ego, Jimin tidak pernah menerima kalau keluarganya kini mengalami kebangkrutan. Ia tidak pernah rela kalau harus jatuh miskin. Jimin benci dengan hal itu.
...
Mengecek rumah sakit milik mamanya, Jimin melihat banyak sekali pasien Covid yang sedang dirawat di sana. Ia tak masuk lebih jauh lagi, hanya menunggu sang ayah di lobi. Membenarkan kaitan maskernya, Jimin memilih duduk di salah satu bangku. Ia hanya diam sambil mengamati suasana Rumah sakit yang antriannya membludak itu. Dalam hatinya, lumayan. Pemasukannya jadi bertambah. Berdosa sekali Jimin karena berharap orang - orang sakit semakin diperbanyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nobody Knows You're a Jerk
Teen FictionDosa yang pernah ia lakukan di masa lampau itu membuat Jimin tidak pernah tenang dalam hidupnya. Kemanapun ia melangkah, karma seakan mengikutinya. Kehidupan indahnya sebagai anak tunggal kaya raya, haruslah berubah drastis ketika Corona melanda sel...