38. Manusia Gagal

583 27 3
                                    

Sudah hampir 2 tahun berlalu setelah Syila melaksanakan wisuda sarjana. Sudah puluhan kali pula ia mengirim surat lamaran kerja dan mengikuti wawancara. Namun, hingga kini masih belum ada pekerjaan yang menjadi rezekinya.

Syila tahu betapa sulitnya menjadi mencari pekerjaan, namun ia tak bisa berbuat apa-apa. Terkadang yang bisa ia lakukan hanyalah menangis dan menangis. Syila merasa ia hanya menjadi beban untuk orang tuanya.

Syila merasa lelah menjalani hari-harinya sebagai seorang pengangguran. Belum lagi omongan tetangganya yang selalu mengatakan ini dan itu untuknya. Memangnya Syila mau seperti ini? Apa mereka pikir Syila tidak berusaha mencari kerja? Ingin rasanya Syila menjambak orang-orang yang sudah julid terhadapnya.

Karena terlalu malas berada di rumah, hari ini Syila memutuskan untuk pergi ke makam Faris. Syila merindukan adiknya itu. Jika saja Faris masih ada, Faris pasti akan menghiburnya dan Syila tida akan sesedih ini.

Syila mengusap batu nisan bertuliskan nama adiknya. "Assalamualaikum, Farisku," ujarnya seraya tersenyum tipis.

"Maaf, ya. Kakak baru datang lagi. Kakak kangen banget sama kamu. Kakak pengen dipeluk kamu, tapi sekarang udah nggak bisa, ya? Nggak apa-apa, yang penting sekarang kamu udah nggak sakit lagi. Kamu pasti udah jauh lebih bahagia," lanjut Syila.

Syila menengadah seraya memejamkan matanya. Ia berusaha untuk menghalau agar air matanya tidak jatuh. Namun, usahanya gagal ketika kembali menatap batu nisan Faris. Air mata Syila sudah mengalir membasahi pipinya.

"Faris, maafin kakak, ya? Kakak nggak bisa bahagiain mama dan papa. Kakak nggak bisa jadi contoh yang baik untuk Saskia. Mungkin sekarang orang-orang menyebut kakak sebagai manusia yang gagal. Udah hampir 2 tahun lulus kuliah, udah puluhan kali menebar surat lamaran ke sana kemari, tapi tetap aja kakak nggak diterima." Syila menjeda sejenak ucapannya. Ia mengusap air matanya.

"Kakak tahu kalau mama, papa, dan Saskia kecewa sama kakak. Tapi, Faris nggak boleh kecewa, ya? Dari dulu, cuma Faris yang tetap dukung kakak di saat orang lain nggak percaya kakak bisa. Padahal Faris nggak ngerti sama permasalahan kakak, tapi Faris nggak pernah menghakimi. Faris selalu kasih ketenangan dengan pelukan untuk kakak. Sekarang, kakak nggak bisa dapat pelukan itu lagi. Faris udah pergi jauh.."

Syila semakin terisak. Ia sudah tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Ia menangis tersedu-sedu sembari memeluk nisan. Jika dulu ketika sedih Syila selalu memeluk Faris, maka kini ia hanya mampu memeluk batu nisannya.

Langit yang sedari tadi mendung menjadi semakin gelap. Bulir-bulir air hujan pun mulai berjatuhan. Akan tetapi, Syila enggan beranjak dari sana. Ia malah semakin memeluk erat batu nisan itu.

Syila menyukai menangis ketika hujan. Karena, air matanya akan bercampur dengan air hujan. Tidak akan ada yang mengetahui bahwa ia sedang menangis.

Hujan semakin deras disertai petir dan kilat yang menyambar-nyambar. Dan Syila masih setia di sana. Hingga tiba-tiba Syila merasa hujan tak lagi membasahinya, padahal ia yakin hujan masih sangat deras. Karena penasaran, Syila pun mendongak, hanya untuk menemukan seorang perempuan tua yang sedang berdiri sembari memayunginya.

Syila otomatis berdiri dan menjauh dari perempuan tua itu.

"Jangan takut, Nak. Saya kebetulan sedang ziarah ke makam suami dan anak saya. Lalu saya nggak sengaja melihat kamu menangis sambil memeluk batu nisan ini," ujar perempuan tua itu sembari melirik makam Faris.

Perempuan tua itu kembali memayungi Syila dan mengajaknya berteduh di sebuah halte yang tak jauh dari area pemakaman.

Syila menurut, walaupun sempat kaget, tetapi ia tak punya firasat buruk tentang perempuan tua itu.

Sandyakala TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang