Empat.

40 5 1
                                    

Dipikir-pikir, kejadian kemarin sangat menjijikkan, memalukan, dan uh... Bumi menjadi pusat perhatian.

Keesokannya.

Sepersekian Bumi memasuki gerbang sekolah, langsung saja, banyak mata memicing memandangnya, banyak yang mulai berbisik antar sesama.

Ada beberapa yang sengaja menyeruput minuman mereka dengan berisik untuk memancingnya, minuman plastik pinggiran yang hampir sama yang Bumi tenggak kemarin,

"...itu yang kemarin bukan, sih?"

"...tapi, emang sih katanya dulu bolak-balik rumah sakit"

"emang penyakitan anaknya..."

Berisik, mereka berisik, Bumi memilih berlari. Namun, semakin cepat langkahnya sorakan semakin terdengar.

Hingga sesampainya di kelas, nafasnya terengah-engah, saat hampir duduk di bangkunya, kerah belakangnya ditarik, lehernya terasa tercekik, badannya limbung ke belakang.

Bumi jatuh, jatuh di lantai dengan sedikit terbatuk, merasakan sakit di lehernya.

Kepalanya nyaris terantuk lantai, Bumi mendongak.

Lalu, beberapa gadis mulai melemparkan sapu dan kemoceng padanya.

"Nyusahin! Gara-gara kamu muntah, kita yang harus bersihin, dah sana piket"

Maksudnya... Piket membersihkan satu kelas? Tidak adil, pikir Bumi.

Tapi, memang kesalahannya. Jadi, Bumi hanya menghela napas dan mengerjakan piketnya. Saat sedang piket saja mereka masih menjulid, aneh. Bumi sudah merasa rendah.

Hingga saat menyapu di luar kelas, beberapa siswa yang lewat sengaja menghentak-hentakkan sepatu mereka, bahkan dengan sengaja menendang sapu yang dipakai Bumi. Membuat lantai bertambah kotor dengan membuang bungkus-bungkus sampah jajan yang mereka bawa di saku.

Lantasnya, mereka hanya tertawa riang kencang sembari mengangkat kaki mereka menjauh dari tempat Bumi berdiri.

Hingga selesainya menyapu debu-debu lantai, sepertinya ada yang kurang?

"Permisi, semuanya. Tolong sepatunya dilepas dulu, ya. Mau aku pel lantainya," suara Bumi dengan lantang di penghujung pintu, berhasil menarik perhatian seisi kelas.

Seluruhnya langsung berbondong-bondong keluar kelas, melepas sepatu mereka satu-persatu, begitupula Bumi, diletakkannya di rak depan kelas. Memang sudah di sediakan pihak sekolah untuk fasilitas setiap kelas.

Hingga selesai sudah, Bumi langkahkan kakinya menuju ke belakang kelas, mengambil peralatan yang sekiranya ia butuhkan. Ember hitam kecil, sabun lantai, dan pel sebagai objek utamanya.

Dimulailah, acara Bersih-bersih menyeluruh ini, dari sudut kelas hingga kebagian teras lantai depan kelas, semuanya tidak luput dan gerakan pel Bumi. Bahkan, tempat bekas Bumi mengeluarkan isinya kemarin pun ia gosok dengan kuat. Takut-takut baunya masih tercium

Dan disana, dapat Bumi lihat, dengan sangat jelas! Emi mengobrol ria dengan kelompok geng-nya, bersenda gurau, tertawa dengan lepasnya, seakan.. Lupa ia yang "meracuni" Bumi kemarin?

Namun, Bumi tidak menghiraukannya, Bumi tetap melanjutkan apa yang sudah kewajibannya(?)

Hingga waktu sudah hampir menunjukkan pukul tujuh tepat, bersamaan dengan Bumi yang sudah selesai mengepel lantai, banyak yang awalnya duduk-duduk di depan kelas mulai angkat diri dan kaki memasuki kelas.

Dengan hanya alas yang tertutup kaus kaki berwarna hitam-putih.

Bel mulai berdering kencang, menandakan jam masuk sudah di mulai. Pembelajaran di mulai sejak jam tujuh tepat hingga jam empat sore, dengan selingan ishoma; istirahat, sholat, makan.

Di tengah-tengah ishoma itu, Bumi manfaatkan untuk beribadah di musala sekolah.

Derap langkahnya menginterupsi, hingga berhenti di depan rak sepatu.

"Yang ini ngga, sih? Tadi pagi aku liat dia pakenya yang ini"

"Yaudah, ambil aja."

Sesuai perintah, lalu mereka berlalu begitu saja. Misterius, ditenteng nya kepemilikan "seseorang" di tangan kanannya, ia bawa ke area kolam sekolah, dibuangnya begitu saja dengan tatapan bahagia. Bahagia akan kesuksesan.

Sudah cukup mungkin sepuluh menit ia gunakan, Bumi kembali ke kelas dengan perasaan yang tenang, tanpa ada rasa curiga apapun.

Bumi mulai menikmati pembelajaran jam terakhir, yaitu biologi, tak ada rasa kantuk selama angka-angka persamaan tidak bermunculan.

Beberapa kali diadakan diskusi antar sebangku untuk pembahasan soal yang diberikan oleh guru, hingga tak terasa sudah pukul empat. Huh, dunia begitu cepat, ya?

Hingga sepeninggal teman-temannya inilah Bumi mulai cemas, dimana sepatunya?

Bumi yakin meletakkannya di rak, paling ujung agar memudahkannya untuk mencari sepatunya, dipikir, mungkin ada temannya yang iseng, lantas ia kejar beberapa rombongan temannya. Dengan kaki yang tidak berbalut apapun, tak ingin kaus kakinya kotor.

Sesekali memanggil mereka, meski salah. Karena Bumi belum terlalu hapal nama mereka, hingga ia mulai melewati kolam ikan sekolah, terdapat jembatan lengkung di tengah atas kolam.

Pada kolam ikan koi yang sudah mulai menghijau itu, sesuatu mulai menarik perhatian Bumi, sesuatu yang mengambang. Itukah sepatunya?

Dengan cepat Bumi langsung bertanya pada tukang bersih di dekat sana, untuk meminjamkannya jaring untuk mengambil sepatunya itu.

Sepatunya sudah basah, kotor, dan bau amis, tidak mungkin Bumi akan memakainnya. Sementara, di depan gerbang Skala sudah meng klakson mobilnya dengan kencang.

Masa bodoh! Ia bawa sepatunya sambil berlari menuju gerbang, terlihat Skala membuka jendela kaca penumpang dan terpampang jelas mimik wajahnya yang sedikit menekan.

"Sepatumu geno?" ketus Sekala.

"Oh, nggak. Tadi, pas di toilet ngga sengaja ke siram," balas Bumi sambil tersenyum, senyum manis yang terkesan terpaksa.

Sekala curiga, Sekala tau, gadis ini tidak pintar berbohong. Air kamar mandi akan sebau ini? Kecuali ia sendiri mengencingi sepatunya bukan pada toilet.

"Ayo masuk, masih ada waktu sebelum aku rapat himpunan," pungkasnya yang terkesan cuek, namun, dirinya kembali berpikir, Bumi tidak sebodoh itu untuk mengotori sepatunya. Atau, ini ketidaksengajaan, apalagi cerita soal Bumi kemarin di sekolah oleh Bella.

Bumi bergegas masuk, tanpa alas kaki, dengan sepatu yang sudah ia lapisi plastik, sayang katanya. Masih bisa dipakai. Meski warnanya sudah hampir berganti, karena kolam yang kotor hingga berwarna hijau.

"Yakin, gak popo?" tanya Sekala kembali.

"Aku gak popo, kak."






Bersambung.

Bumi dan Sekala Where stories live. Discover now