Langkah kaki River yang tergesa menuju kediaman Rosemary membuat Travey yang bergelantungan di bahunya tersentak-sentak panik. Tikus itu sesekali mencicit marah karena ketakutannya akan terjatuh.
Tertawa, River meraih tubuh gendut Travey dan menggenggamnya di depan dada, memberikan rasa aman pada teman curhatnya sedari kecil. "Maafkan aku Travey, aku hanya ingin segera bertemu dengan Sophia untuk berkonsultasi masalah baju yang akan aku kenakan. Baju milik ayah entah hilang kemana, kemungkinan ulah wanita itu."
Melihat bangunan serba putih, iris cokelat River berkilat senang. "Karena aku yakin, Nyonya yang terhormat itu tidak akan pernah mau membelikan aku sepasang baju bagus untuk menghadiri pesta. Kemungkinan besarnya juga dia tidak akan pernah mau membiarkan aku menunjukkan diriku di acara seperti itu."
Sesampainya di depan gerbang kediaman Rosemary, River mengatur napasnya, melepaskan Travey untuk menjemput Sophia sementara dirinya bersembunyi dulu, takutnya terpergok oleh Merida. "Dia tidak akan pernah pantas untuk menggantikan gelar Baroness Anderson yang ia rebut dari ibuku." Gumamnya geram sembari melambai pada Travey.
Saat itu Sophia tengah berbincang dengan Arthur, tunangannya. Keduanya masih menjaga jarak aman ditemani oleh sang bibi pengasuh. Rona merah di wajah sepasang tunangan itu tak dapat membohongi siapapun bahwa mereka berdua saling jatuh cinta. Bibi pengasuh mengulas senyum memandangnya.
Ketika Sophia hendak mengatakan sesuatu untuk membangun topik, dari ujung matanya ia melihat sosok putih kecil yang berlari menuju ke arahnya. Gadis itu memutar kepalanya dan membulatkan mata terkejut. "Loh, Travey?!!"
Mendengar nama laki-laki lain keluar dari bibir tunangannya, Arthur hendak memprotes namun urung ketika melihat Sophia menghampiri seekor tikus bulat berwarna putih, bukan seorang laki-laki seperti yang ia bayangkan. Pemuda berambut pirang itu berdeham malu, melirik kondisi sekitar, beruntungnya tak ada yang memergoki sikap cemburu butanya itu.
"Tikus? Apakah kamu memelihara tikus?" Tanya Arthur membuka suara ketika Sophia kembali duduk di sebelahnya dengan seekor tikus putih di tangannya. Gadis bermarga Rosemary itu menggeleng tenang, "bukan tikusku, tapi sahabatku yang sering kuceritakan padamu. Sepertinya ia berada di luar dan memerlukan bantuan. Bolehkah aku membawanya masuk?"
Mendengar izin dari tunangannya, Arthur merasa dirinya benar-benar dihargai. Kernyitan di dahinya tanpa sadar timbul, "namanya River bukan?" Arthur memastikan. Mendapat anggukan dari Sophia, pemuda pirang itu mengulas senyum lembut. "Boleh, lagipula aku juga penasaran dengan seorang pemuda yang menulis kisah romansa."
Apa yang Arthur ucapkan murni pujian, ia benar-benar kagum dengan seorang pemuda di balik nama pena RV yang sering tunangannya ceritakan dengan menggebu-gebu. Arthur juga memburu novel-novel terbitan milik RV omong-omong, menurutnya membaca novel milik RV meredakan stresnya akan pekerjaan yang tak ada habisnya.
"Baiklah kalau begitu bibi pengasuh, bolehkah aku meminta tolong kepadamu?" Pinta Sophia dengan tatapan memohon. Bibi pengasuh tersenyum dan mengangguk, "tentu saja nona, serahkan kepada saya." Sosok bibi pengasuh berlalu, meninggalkan Sophia yang masih menggoda Travey dan Arthur yang memandanginya dengan senyum.
"Tidak kamu saja yang membukakan gerbang dan pintunya?" Sophia menggeleng, menatap tunangannya dengan sorot mata jenaka. "Tunanganku kan disini, untuk apa aku membuang waktu membukakan pintu demi pemuda tak ada daya juang sepertinya." Mendengar tunangannya mengejek sahabatnya lagi dan lagi, Arthur hanya bisa menegurnya lembut.
"Bukan begitu, mungkin River tengah mengalami apa yang dinamakan rendah diri."
Memikirkan nasehat dari tunangannya, Sophia merenung. "Benar juga, sepertinya ia benar-benar rendah diri. Lihat saja, ia tak pernah merasa percaya diri bisa mengaet hati Nona muda kediaman Naois." Gumamnya menyetujui.
Pemuda pirang dengan iris hijau itu tersenyum. Rasa-rasanya ia tak pernah berhenti tersenyum setiap bersama dengan tunangannya.
"Sophia, aku mau ikut pesta perayaannya besok- astaga, maafkan saya Tuan muda Arthur!" Nada riang River seketika menyentak menjadi nada penuh kehati-hatian, sosoknya juga langsung berlutut meminta maaf membuat bibi pengasuh terkejut. Pasalnya, ia benar-benar merasa bersalah mengunjungi kediaman seorang gadis yang sudah memiliki tunangan. Ditambah ternyata tunangannya ada disini, untungnya jadi tidak menimbulkan salah paham.
Diluar pikirannya, Arthur malah tersenyum dan bangkit dari duduknya. Lengan pemuda pirang itu terulur, membantu River berdiri tanpa segan. "Santai saja, aku sudah sering mendengar ceritamu dari Nona Rosemary. Omong-omong, ceritamu sangat menarik." Pujiannya di akhir kalimat membuat River membulatkan kedua matanya terkejut.
"A-Anda tahu?" Tanyanya bingung, pemuda beriris cokelat itu melirik Sophia yang tengah memainkan tubuh gembul Travey dengan tajam. Gadis berambut cokelat itu tertawa girang dan mengerling. "Tentu saja, semua tentangmu kuceritakan pada tunanganku. Termasuk kisah asmaramu yang tak ada daya juangnya itu." Cetusnya tanpa rasa bersalah.
River meghela napas pasrah, salahnya juga menceritakan hidupnya pada Sophia. Padahal dirinya sudah tahu bahwa gadis itu akan selalu menceritakan apa saja pada tunangannya. Meskipun sedikit jengkel, River hanya bisa menggerutu pelan.
Arthur yang mengingat seruan River sewaktu masuk ke ruang pertemuannya dengan Sophia menjadi tertarik. "Jadi, apakah kau berniat mengikuti pesta perayaan untuk mengejar Nona muda Naois?" Tanya Arthur penasaran. Sontak membuat River menepuk dahinya lelah. Lirikan tajam kembali ia berikan pada Sophia.
"B-Bukan begitu, saya hanya-"
"Bisakah gunakan kosakata 'aku' saja pada tunanganku? Aku risih mendengarnya." Tegur Sophia tiba-tiba yang dilanjutkan anggukan oleh Arthur. "Aku setuju, gunakan saja bahasa yang tidak terlalu formal denganku." Memilih menurut, River menganggukkan kepalanya.
"Baiklah. Bukan berarti aku akan mengejar Nona Ruley, tapi aku sudah ada janji dengan seseorang yang kutemui tadi di toko buku. Katanya, ia penggemarku sejak tadi malam." Jelasnya malu-malu. Sophia mengernyit heran, "penggemarmu baru tadi malam tapi sudah janjian? Wah, siapa?" Tanyanya penasaran.
River menggeleng, mengatur raut wajahnya sedemikian rupa. "Tidak tahu, ia menggunakan jubah hitam. Karena itu aku mau menemuinya di pesta perayaan nanti." Pemuda beriris cokelat itu tak berniat membongkar identitas gadis berjubah hitam tadi meskipun itu pada Sophia.
Mendengarnya, Sophia melepaskan Travey yang lelah memberontak kemudian memandang sahabatnya serius. "Jadi, kau membutuhkan bantuanku untuk masalah baju?" Tebaknya tepat sasaran. Mendapat anggukan River, Sophia mengangguk serius.
"Baiklah, ayo kita berburu baju!" Serunya semangat. Gadis itu hendak berlalu ketika River menghalangi langkahnya dan menggeleng panik. "Bukan begitu maksudnya, cukup baju bekas saja, tidak usah beli baru!" Tolaknya halus.
Sophia mengernyit heran, bahkan Arthur terbengong. "Maksudmu kau mau meminjam baju bekas ayahku?" Tanya Sophia heran, River mengangguk. "Iya, yang sudah tidak dipakai saja." Gadis itu menepuk dahi pasrah. "Astaga, yasudahlah. Aku ambilkan dulu, untung ayahku baru pulang tengah malam waktu bulan purnama."
Sophia berlalu dengan bibi pengasuhnya, menyisakan River dan Arthur dalam keheningan. "Kau benar-benar akan menggunakan baju bekas Baron Rosemary?"
River mengangguk halus, "ya, lagipula aku tidak nyaman mengeluarkan uang hanya untuk baju sekali pakai." Terangnya, Arthur mengangguk paham. Pemuda berambut pirang itu mengajak River duduk di sofa yang telah disediakan dan mulai mengobrol lebih dekat.
"River, aku hanya menemukan ini yang masih bagus dan layak pakai." Sophia meletakkan beberapa setel pakaian bekas ayahnya. Meskipun bekas yang telah dibiarkan oleh Baron Rosemary sejak lama, kondisi pakaian tersebut benar-benar masih layak dijual kembali di toko.
River beranjak dari duduknya, mengamati satu demi satu, sesekali mengusap sudut pakaian untuk mengecek bahannya. "Yang ini saja, apakah boleh?" Lengan pemuda bersurai cokelat itu meraih sebuah setelan berwarna hitam dengan ornamen perak yang sangat sederhana.
Sophia mengernyit, "tidak mau yang ini?" Gadis itu menunjuk salah satu setelan berwarna cokelat dengan ornamen emas, terlihat sangat elegan dan mewah. River menggeleng, "terlalu mencolok, aku kurang menyukainya." Sahutnya.
Sophia hanya mengangguk menghormati keputusan sahabatnya, gadis itu kemudian menatap pemuda berambut cokelat dengan mata menyipit. "Lalu, apalagi yang dibutuhkan? Tidak mungkin kau datang ke pesta perayaan dengan sandal bututmu itu." Kritikan Sophia yang tajam membuat Arthur meringis kasihan.
River memutar bola matanya, "biarlah, lagipula tidak ada yang melihat ke bawah." Tukasnya tak acuh. Pemuda itu masih mengamati setelan hitam di tangannya dengan semburan bunga di hatinya. Arthur menepuk bahu River, "sepertinya kau benar-benar harus mencari sepatu, River."
Mendapatkan saran dua kali, River merenung. Kemudian pemuda itu mengangguk, "baiklah, aku akan mencarinya di rumah." Seberkas ingatan melintas di pikirannya, membuat River meredupkan sorot mata. "Oh iya, ibu tiriku sudah membakar semua barang-barang ayah." Gumamnya terdengar oleh Sophia dan Arthur.
Sepasang tunangan itu saling pandang, seketika Sophia membulatkan mata. "Oh, sebentar!" Gadis itu berlalu, ketika kembali ia membawa sepasang sepatu hitam butut di tangannya. "Aku menemukan ini di gudang tadi, pakailah." Ujarnya menyerahkan sepasang sepatu butut namun masih layak pakai kepada River.
Terharu, River mengusap sudut matanya yang merah dan basah. "Terima kasih." Ungkapnya tulus. Sophia mengangguk dengan wajah santai, "santai saja, omong-omong kalau bisa kembali kesini dengan pakaian dan sepatu itu tengah malam ya, aku mau mencucinya dulu agar ayah tidak curiga. Terutama sepatu itu."
Mengangguk, River menyetujuinya. Pemuda itu membungkus pakaian dan sepasang sepatu hasil pinjamnya ke dalam sebuah kain. "Semoga tidak ketahuan." Desisnya lembut. Arthur dan Sophia saling pandang, keduanya beralih menatap River dengan sorot penuh dukungan.
"Baiklah, aku pamit dulu." River menundukkan kepala, dibalas anggukan oleh Arthur dan lambaian tangan Sophia.
"Hati-hati, semoga lancar. Sampai jumpa di pesta perayaan!"
Sosok River lenyap bersama tikusnya, menyisakan Arthur dan Sophia yang memandangi punggung ringkih pemuda itu.
"Dia benar-benar melebihi ekspektasiku." Gumam Arthur takjub, Sophia mendongakkan dagu angkuh. "Benar kan, sahabatku memang keren. Firasatku mengatakan dia berhasil mengaet hati Nona muda kediaman Naois sih."
Arthur mengangguk, menyetujuinya. Saat itu juga Sophia menepuk dahinya, "sial, aku lupa memberikan tinta yang dia pesan!"
o --