59 - Pasca Patah Hati

Mulai dari awal
                                    

"Atau gini." Aldo menyambung lagi, sebagai manusia paling berpengalaman tentang cinta di antara kita bertiga. "Mungkin tadinya lu emang suka beneran sama Mas Danang, tadinya. Tadinya lu mungkin emang patah hati beneran."

"Trus?"

"Lu udah dapet gantinya, Sha. Lu sebenernya lagi naksir orang baru." Aldo nyengir. "Makanya  ketika Mas Danang ilang, sakit hati lu juga nggak lama. Soalnya lu juga lagi mikirin orang lain."

"HAH?" gue menggeleng-gelengkan kepala. "Gila lu, Do. Ngarang lu. Mulai nggak masuk akal."

"Sha, orang nggak secepat itu move on, kecuali udah ada gantinya. Percaya sama gue."

"Ya trus siapa, Do? Siapa yang lu maksud? Orang gue gaulnya cuma sama kalian-kalian doang."

"Ya, gue juga nggak tahu." gumamnya. "Lu pikir aja sendiri, siapa orang yang suka bikin lu berdebar-debar."

"Misalnya?"

"ALDO!!!"

Kami bertiga serentak menoleh ke arah suara seruan yang berasal dari belakang, dari ujung workspace. Seolah punya memori otot, gue dan Eve langsung berbalik ke arah laptop dengan cepat. Langsung pura-pura kerja meninggalkan Aldo yang pucat menghadapi pemilik suara.

Siapa lagi yang suaranya kayak singa ngamuk kalo bukan Pakdhe.

"Lu kasih gue file yang belum update lagi?! Gue diemail partner Singapur, dia marah-marah di email sambil cc Pak Damar! Dibilang kita nggak profesional, salah kirim berkali-kali!" suara itu mendekat bersamaan dengan langkah kakinya. Kayaknya sekarang dia persis ada di belakang kami. Gue dan Eve makin merinding, sampe mau bernafas aja segan rasanya.

Suara itu menggeram sejenak. "Ini kedua kali lho, Do! Gue bilang sama lu sampe berbusa, jangan lupa update angka finalnya! Lu dengerin nggak sih waktu gue ngomong?!"

"H-hah? K-kayaknya udah saya update, Mas ..." suara Aldo jelas banget gemetar parah.

"Masa bodo alesan lu apa! Ikut gue sekarang! Kita jelasin ke ruangan Pak Damar!"

Gue sempet menoleh sedikit, kepo sama keadaan di belakang.

Sialnya, Pakdhe lagi pas melihat ke arah gue dan Eve. Gue menelan ludah kasar waktu mata kami bertemu. Mata tajamnya udah kayak bukan mata manusia normal, sekarang dia kayak mantan napi yang lagi kangen ngebantai orang.

"Apa lu liat-liat?! Mau gue seret juga kesana?!"

Gue langsung kembali ke laptop, langsung diem membatu, pura-pura jadi buah-buahan. Gue dan Eve sama-sama menghela nafas lega ketika suara langkah kaki mereka terdengar cukup menjauh dari kami. Kejadian Pakdhe ngamuk sebenernya selama ini udah cukup sering, apalagi ke Aldo, karena dia cowok jadi Pakdhe emang lebih keras. Cuma sampe sekarang entah kenapa kita masih belom terbiasa. Masih kena jumpscare aja rasanya.

Seketika kata-kata Aldo terngiang-ngiang lagi di kepala: gue harus tau siapa orang selain Mas Danang yang bikin gue berdebar-debar. Nah, jantung gue sekarang lagi deg-degan nih, parah banget debarannya. Sampai keringet dingin.

Tapi ini bukan deg-degan karena cinta, Do. Ini deg-degan karena takut mati.

***

"Eve, gue nggak bisa sendirian kesana, beneran deh. Gue minta tolong, please, sekali ini aja." gue memohon-mohon ke sahabat gue itu, yang sama sekali nggak mau menoleh. "Temenin deh ke tempat Mas Tion. Beneran deh, ini form reimburse gue nggak bakalan cair sampai ditandatangani dia!"

Eve, yang daritadi tangannya gue ganduli, menepis dengan kesal. "Takut, bro. Kon dewe ae, Cok! Jangan bawa-bawa aku!"

Gue mendesah kesal. Sekitar dua jam berlalu dari kejadian tadi, gue baru inget kalau batas pengajuan reimburse transport terakhir adalah hari ini. Sialnya, formnya masih di gue dan gue belom minta tandatangan manajer terkait: Pakdhe. Mana finance kantor gue agak brengsek, karena dia hanya menerima tandatangan basah.

Pakdhe!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang