Populasi manusia di dunia hanya tersisa sebanyak dua milyar jiwa setelah perang dunia ketiga berakhir. Semua senjata mutakhir telah dikerahkan, dan korban jiwa bertebaran di tanah seolah tak ada harganya. Atau mungkin memang tidak ada harganya. Tak ada yang berharga dalam pusaran peperangan.
Dan setelah semua teknologi dikerahkan untuk saling menggenosida satu sama lain, yang tersisa hanyalah manusia-manusia beruntung yang bahkan tidak tahu caranya merangkai mesin sederhana untuk memudahkan pekerjaan rumah tangga. Segalanya kembali seperti masa awal manusia diciptakan; semua hal dilakukan secara manual.
Peradaban hancur. Ilmu pengetahuan hampir musnah. Apa yang tersisa hanyalah puing-puing segala sesuatu di antara tumpukan mayat-mayat yang membusuk dan mengering.
Helena telah berjalan begitu jauh dari tempat dirinya dilahirkan, hingga akhirnya beristirahat sejenak di bawah sebuah pohon yang tak kami ketahui namanya, di tanah yang kami juga tak yakin apa namanya sebelum semua kekacauan ini.
“Kalau nenekku masih hidup,” celetuk Helena, “dia akan tahu di mana kita berada sekarang. Dia akan tahu apa nama pohon ini. Dia akan tahu peradaban seperti apa yang pernah ada di sini.”
“Bukankah peperangan sudah dimulai sejak nenekmu masih muda?” tanyaku, agak prihatin padanya.
“Memang.” Helena mengangguk. “Tapi ada perbedaan yang besar antara permulaan dengan hasil akhir. Perbedaan yang sangat besar.”
“Kita telah menyeret gerobak ini sejauh ribuan kilometer,” kataku seraya mendekati gerobak pengangkut jerami yang kami gunakan untuk mengangkut buku-buku kuno. “Apakah tidak ada satu pun yang berguna dalam menemani perjalanan kita?”
“Kata nenekku, namanya atlas,” timpal Helena sembari membuka tali yang mengikat tarpaulin yang menutupi buku-buku tersebut. “Diambil dari nama dewa Yunani kuno yang memanggul dunia di punggungnya. Buku yang namanya atlas itu isinya peta—gambar daratan dan lautan di seluruh dunia kalau dilihat dari atas.”
“Nenekmu terdengar sangat pintar dan menarik, kau tahu?” ucapku sambil turut membuka ikatan tali yang lain, kemudian membantunya untuk menyingkirkan tarpaulin itu sejenak.
“Nenekku berpengetahuan luas,” kata Helena, mulai celingukan mencari-cari di mana atlasnya berada. “Aku beruntung dibesarkan olehnya, sementara orang tuaku sibuk mempertaruhkan nyawa mereka di medan perang.”
“Kalau ini, apa namanya?” tanyaku seraya melambai-lambaikan sebuah buku dengan sampul bergambar seorang wanita cantik.
“Itu novel,” jawab Helena sembari terus mencari-cari atlasnya.
“Isinya hanya khayalan, ‘kan?” tanyaku lagi.
“Biasanya begitu.” Helena mengangguk dan terus mencari-cari. “Tapi ada beberapa yang berdasarkan kisah nyata. Tapi yang khayalan jauh lebih asyik untuk dibaca daripada yang berdasarkan kisah nyata.”
“Namun, mata Nina justru terpaku pada bagian yang sebenarnya terlarang baginya. Bagian tubuh pria yang sebenarnya hanya boleh dilihat oleh istri mereka. Dan tanpa sadar, Nina telah tertegun. Bibirnya sedikit terbuka karena area pribadi di antara paha Lonan itu sudah berdiri tegak menjulang,” kubaca novel itu dengan lantang.
Kemudian aku menyadari sesuatu.
“Astaga!” pekikku.
“Bagus?” Helena terkikik tanpa berhenti mencari atlasnya.
“Tidakkah ini terlalu vulgar?” tanyaku. Aku yakin alisku sudah saling bertaut oleh rasa heran.
“Begitulah orang-orang pada masa kuno,” jelas Helena, “tidak takut mengekspresikan isi pikiran dan khayalan mereka dengan lantang. Tak kenal takut.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Library of Alexandretta
FantasySetelah perang dunia ketiga, semua bangunan, ilmu, peradaban, dan harapan tinggallah puing-puing saja.