Chapter 12 ✈ Heart Flight

185 4 0
                                    

" Butuh bantuan? "

Gadis itu menoleh saat mendengar suara di belakangnya. Reflek ia mundur satu langkah dan menutup mulutnya yang tercengang saat melihat siapa sosok itu.

" Euh, Pak..." gadis itu tidak menyangka bahwa sosok sepenting Wildan mau menghampirinya.

" Kamu kenal saya? "

Gadis itu mengangguk. " Ya kenal lah, Pak. Soalnya kakak saya suk— engmm.. Maksudnya nge-fans banget sama Bapak.. Hehe. Pak Wildan. Nama saya—"

" Shalin,"

" Bapak tahu nama saya? ", tanya gadis bermata monolid itu kaget. Sungguh sesuatu yang membanggakan orang setampan dan sepopuler Wildan mengetahui namanya.

" Mana mungkin gadis secantik kamu saya nggak tahu namanya. Apalagi kamu kan populer di kalangan teman-teman kamu. Mereka semua ngomongin tentang kamu,"

Wildan tersenyum dan mengerlingkan matanya. Membuat gadis berusia 21 tahun itu menyentuh pipinya yang bersemu. Apakah dia benar-benar sepopuler itu sampai kru kabin seniorpun mengenalnya?

" Oh ya, nanti selesai latihan saya antar kamu pulang boleh? ", tawar Wildan.

" Gimana, pak? ", tanya Shalin kaget, bahkan hampir mengira telinganya salah mendengar.

" Kamu mau pulang sama saya kan? "

" Eu.. "Shalin mengangguk cepat. Wildan tersenyum puas dan menegakkan kembali kepalanya yang sedikit ia sejajarkan dengan wajah Shalin.


***

Jihan meletakkan jeruk di atas nakas. Hari mulai menjelang gelap ketika ia datang ke rumah sakit untuk menjenguk. Bahkan perempuan yang dipanggilnya dengan sebutan 'ibu' itu sudah terlelap. Entah karena mengantuk atau mungkin karena efek obat yang di minumnya. Setidaknya setahu Jihan setiap obat memiliki efek samping rasa kantuk—meskipun ia tidak bersekolah di bagian farmasi.

" Hai, bu. Maaf Jihan telat datangnya. Hari ini latihannya agak lama," Jihan tersenyum miris.

Ia menunduk, menyadari kalau dirinya berbohong ia tidak dapat mencegah cairan bening memenuhi matanya, karena alasan yang sebenarnya adalah ia lupa.

Dan ia merasa menjadi anak yang tidak tahu diri karena tega melupakan kondisi sang ibu yang sekarang ini. Sungguh, anak macam apa dia ini? Pikir Jihan.

" Oh ya, Jihan bawain jeruk madu. Yang ini manis banget, Jihan beli langsung dari distributor kebunnya. Masih segar karena baru di petik. Ibu pasti suka,"

Meski hatinya selalu berdenyut setiap kali berbicara sendirian, namun Jihan tetap melakukan itu setiap hari. Tidak peduli sang ibu sedang tidur atau dalam keadaan sadar. Jihan tetap mengajak perempuan yang 'terperangkap' dalam berbagai alat infus dan peralatan medis itu berbicara. Toh, ia tidak pernah mendapat respon apapun berupa lisan. Hanya reaksi kecil apabila ibunya sadar—reaksi fisik berupa anggukan atau gerakan tangan yang lemah. Hanya itu, tidak lebih.


***


" Gimana kabar nyokap lo? Udah mendingan? "

Hanif meletakkan satu keranjang buah-buahan ke atas meja, kemudian menghempaskan tubuhnya di sofa. Tadi Hanif menjemput Jihan dari rumah sakit, karena Jihan juga minta tolong di bawakan beberapa barang-barangnya dari rumah ke cluster. Sekarang rumah keluarga Jihan benar-benar kosong tanpa penghuni.

" Yah.. Gitu deh," jawab Jihan pasrah.

" Lo ga putus asa kan? Soalnya kalo gua denger kayanya lo udah pasrah banget," tanya Hanif khawatir. Ia mendekat pada Jihan dengan bibir dicebikkan.

Jihan menjatuhkan kepalanya ke punggung sofa.

" Semoga aja kabar tentang gue lulus tes pramugari bisa bikin dia sembuh. Itu hal terakhir yang pengen ibu lihat,"

Jihan memejamkan matanya. Air matanya terasa sudah kering hingga tak mampu lagi menetes dari kelopak matanya. Entah sampai kapan ia harus menanggung semua ini. Ia merasa menjadi manusia yang dikutuk dari kebahagiaannya.

Menjadi pramugari bukanlah impiannya. Bukan juga cita-citanya sejak kecil. Ia hanya mencoba meneruskan karena beberapa bulan yang lalu, kakak laki-lakinya pergi untuk selamanya tanpa mengucapkan selamat tinggal ataupun salam perpisahan.

Jason, kakak laki-laki Jihan meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat saat baru menjadi pramugara di maskapai tempat Hanif sekarang ini. Jihan lahir dari keluarga yang berada, tetapi harta seolah tak menjanjikan seseorang untuk bahagia.

Dan sang ibu sangat ingin melihat Jihan menjadi seorang pramugari untuk meneruskan cita-cita kakak laki-lakinya sekaligus impian terbesar ibunya ditengah kondisi sekaratnya.

Ia berpikir, mungkin dengan itu, dengan melihat ia sukses menjadi seorang pramugari, ibunya akan sembuh lebih cepat, atau seandainya pun harapannya tak tercapai, setidaknya ibunya pergi dalam keadaan damai.

Greb

Ketika ia melamun, ia merasakan sebuah dekapan hangat dari lelaki di sampingnya. Lelaki itu menyandarkan dagunya di bahu Jihan.

" Jangan sedih, Han, lo ga sendiri, kok. Ingat, masih ada gue. Kita udah kayak keluarga, gue udah anggap lo saudara sendiri,"

Jihan tersenyum dan membalas dengan mengusap lengan Hanif yang mendekapnya. Ia bersyukur masih punya sahabat yang selalu perhatian padanya. Sedikit kecewa karena Hanif hanya menganggapnya saudara, tetapi perasaannyapun terhadap lelaki itu sepertinya mulai terkikis karena ada orang lain yang membuatnya nyaman..

Orang lain yang mungkin selalu membuatnya kesal— tetapi dengan begitu pikirannya jadi teralihkan dari seluruh beban hidupnya yang amat berat. Orang lain yang tidak segan mengatakan 'suka' padanya. Orang lain yang belum mengenalnya lama tetapi sangat percaya diri bahkan sok akrab dengannya. Which is ketika ia dengan orang itu, ia merasa dilindungi dari kejamnya dunia.

HEART FLIGHT ; 🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang