Malam itu Rumah Duka Akar Pinus sedang ramai dikunjungi orang-orang dengan raut wajah dan pakaian berkabung. Karangan-karangan bunga tersebar sepanjang jalan dan tidak ada seorang pun yang terlihat di sekitar jalan utama, kecuali anjing dan kucing liar yang terus melolong—atau terdiam sama sekali—seakan ikut berduka. Seluruh kota sunyi senyap, bulan berpendar muram, kabut mulai turun mendinginkan malam. Seorang putri walikota yang terhormat baru saja dibaringkan di peti mati.
Organ baru saja dimainkan, menandakan upacara pemakaman akan dimulai. Walikota berusaha terlihat tegar dengan menebarkan senyuman dan rasa terima kasih yang tulus—sama sekali tak cocok dengan wajahnya yang ketus dan menyeramkan—kepada semua orang yang turut berbela-sungkawa. Lilin-lilin berpendar termaram, menerangi wajah cantik sang putri yang memejamkan mata untuk selamanya. Bunga kesukaannya mawar, bertabur indah menghiasi tempat tidur terakhirnya.
Semuanya begitu khidmat, hingga tak ada yang menyadari kedua kelopak mata sang putri kembali terbuka. Bola matanya menghitam, sekelam malam yang tak berbintang. Merah, semerah darah warna mata irisnya, bibirnya yang pucat terbuka perlahan. Dia sangat haus.
Jari-jari lentik sang putri mengelus pinggiran peti kayu tempatnya berbaring. Ia senang dengan harum bunga mawar yang menyambutnya ketika kembali ke dunia nyata, namun dia lebih senang dengan bau-bau lain yang memenuhi ruangan itu.
Mendadak seorang gadis kecil menjerit. Dia terus menunjuk ke peti mati, melihat ngeri jari-jari sang putri yang seharusnya terbujur kaku, bergerak-gerak perlahan. Kemudian upacara itu tidak lagi khidmat, orang-orang berdiri dan panik. Berteriak dan berbisik-bisik. Ada yang mencoba mendekati peti, namun sang putri sudah bangun dan menyambutnya dengan desisan, seraya membuka mulut lebar-lebar dan memamerkan taringnya yang memanjang. Orang itu berlari ketakutan, lalu membaur dengan orang-orang yang terus berteriak, “IBLIS! IBLIS!”
“Hellen! Anakku!” Walikota mendadak berseru. “Oh! Kau telah kembali dari tidurmu, aku sudah tahu kau belum meninggal!”
“Ayah,” Hellen mendesis, “aku sangat haus.”
Sang ayah yang tidak bisa berpikir jernih, segera mengambilkan air dari dispenser lalu menyodorkan pada putri kesayangannya. Mendadak warga membisu. Hellen langsung meneguk dengan cepat, namun ia tak puas lantas menghancurkan gelasnya. Sang ayah mengambilkannya lagi, namun kali ini putrinya berteriak, “ambilkan aku darah!”
Kemudian Hellen melompat dan menyerang pria paruh baya itu dari peti mati, sang ayah spontan mengelak dan tak sengaja menendang putrinya. Hellen tersungkur, namun tak lama kemudian ia mencengkeram seorang pemuda malang yang langsung diserang tengkuknya. Pemuda itu menjerit, berusaha membebaskan diri dari Hellen yang membelenggunya kuat dari belakang. Darah dihisap, darah merembes membasahi karpet kelabu rumah duka dan gaun putih milik Hellen. Rambut platinanya yang panjang juga ternoda merah, orang-orang berusaha menghentikan dengan menarik gadis itu atau melepaskan cengkeramannya pada si pemuda. Namun dia baru benar-benar berhenti ketika sebuah pasak kayu menghujam punggungnya.
Hellen menjerit. Ia berlari menembus kerumunan orang-orang dan keluar dari rumah duka setelah memecahkan kaca jendela yang besar, kemudian sosoknya menghilang di kegelapan malam. Sekilas beberapa ekor kelelawar terlihat mengepakkan sayapnya di luar jendela sebelum ikut lenyap.
***
- Lair of the Vampire – Greetings -
***
“Tadi itu.. kau tidak membangkitkan mayatnya kan?” Edgar berbisik pada si pemain organ yang tak lain adalah kakaknya, Allan.
“Organ bukan spesialisasiku, kau tahu,” balasnya, “walau aku ingin sekali mengadakan upacara pemakamannya dengan biola.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Lair of The Vampire
HorrorSeorang putri anak walikota baru saja dimakamkan, namun dia kembali dari kematian dan haus akan darah.