Ning Khalisa
Iya Gus. Kami baru mau berangkat ini. Mbak Safa lelet banget, ngapunten ya Gus 🙏🏻
Irham Zaid Al-Fattah tersenyum tipis membaca pesan masuk dari Khalisa, adik dari Ning Safa. Ya, mereka memang terlambat datang dari jam yang sebelumnya sudah di tentukan. Sang pewaris cafe dan resto milik Abinya itu menyesap kopi hitam tanpa gulanya yang tinggal setengah gelas. Benar kata orang, menunggu itu melelahkan, tapi mau bagaimana lagi ia sudah kadung janji dengan Ayah Malik untuk membimbing Ning Safa mempelajari bisnis.
Saffana Husna Gayatri ...
Sosok yang menurut Ayah Malik cukup keras kepala dan susah di atur itu apakah akan nyaman jika belajar bersamanya?
Sedangkan setiap kali ia datang ke rumah Ayah Malik untuk membahas pekerjaan, tatapan Ning Safa seperti tidak menyukai dirinya, apalagi saat Bunda Khilma memanggilnya 'calon mantu' tatapan Ning Safa seolah tidak suka dengan keberadaannga disana.
Ia tahu kata itu hanyalah guyonan semata, meski Bunda Khilma bilang jika ia dan Ning Safa sudah di jodohkan sedari bayi, tapi Amihnya tidak pernah mengatakan apa pun tentang perjodohan itu.
Hubungan yang erat diantara keluarga mereka membuat ia dan Ning Safa sering bertemu dan menjalin pertemanan bersama dengan Fikron juga yang seumuran dengan mereka berdua. Ia dan Fikron selalu menyempatkan datang ke setiap kajian dan menonton Ning Safa yang selalu menjadi pematerinya.
Nama Ning Safa selalu berhasil menarik para remaja milenial setiap dirinya menjadi pemateri dalam kajian. Peserta yang datang juga selalu penuh, hal ini yang membuatnya kagum kepada putri sulung Ayah Malik. Ia memiliki daya tariknya sendiri, selain paras yang cantik, di era serba digital dan canggih ini, Ning Safa mampu menarik banyak remaja yang biasa bermalas-malasan bermain ponsel di rumah, untuk datang ke kajiannya.
Ning Safa bahkan memiliki jadwal ceramah yang cukup padat, bahkan sampai ke beberapa kota besar di indonesia. Ceramah yang ia bawakan saat kajian pun beragam, dan berbeda serta menarik.
"Ham! Eh kok bengong. Aku dari tadi panggilin sampeyan malah bengong. Ada apa sih bro?"
Suara itu menyadarkannya dari pikirannya yang diam-diam mengagumi sosok Ning Safana. Ia mengangkat wajah dan menemukan sosok Fikron Muhamad Ali yang duduk di kursi yang berada hadapannya, mereka hanya terhalang sebuah meja bundar. Putra dari Baba Ikmal, dan Umi Shilla itu bahkan kini tengah menyesap kopi miliknya.
"Ew. Apa enaknya sih minum kopi pahit, Ham." Putra Baba Ikmal itu menggeleng tidak suka, setelah merasakan pahitnya kopi milik Irham.
Irham terkekeh. "Buat menghindari penyakit diabetes Fik. Sama menghindari sampeyan biar ndak minum kopi punyaku."
Fikron mencebik. "Ada menu baru nggak?" tanyanya.
Irham tertawa, "Halah, sok-sok an tanya menu baru. Bilang aja mau ngopi, sama ngemil gratis di cafe aku."
Kedua Gus itu tertawa menarik perhatian para remaja perempuan yang datang ke cafe. Siapa memangnya yang tidak mengenal dua Gus tampan tersebut, para perempuan bahkan sampai rela menjadi pelanggan tetap di cafe ini hanya untuk melihat seringnya dua Gus itu yang datang secara rutin ke cafe ini.
Kedua Gus itu memiliki paras tampan, yang membius mata kaum hawa. Apalagi dua-duanya sama belum memiliki pendamping, tentu membuatnya semakin menarik.
"Sampeyan darimana toh Fik? Sengaja kemari mau minta ngopi?"
Fikron tertawa. "Yo ndak. Aku tuh habis dari pabrik Baba, memastikan pesanan kain sesuai dengan yang kita pesan gitu lho. Sampeyan tumben duduk disini, ndak di ruang kerja." Ia lantas melambaikan tangan kepada seorang pelayan laki-laki, memesan sebuah kopi dolce latte, minuman favoritnya juga beberapa camilan.
"Aku nunggu Ning Safa sama Ning Khalis Fik. Biasa, belajar bisnis lagi." jawab Irham. Ia juga turut memesan kopi hitam lagi.
Mendengar nama Ning Safa di sebut, ada gelenyar aneh yang akhir-akhir ini singgah di hatinya mengingat nama salah satu putri dari Ayah Malik. Ia yang menemani masa kecil Ning Safa bersama Irham, sampai dewasa tentu memiliki ketertarikan khusus kepada Ning Safa, apalagi Ning Safa versi dewasa semakin menawan dan memikat.
"Ndak ada jadwal kajian apa Ning Safa?" tanya Fikron.
Irham mengangkat bahu. "Lagi kosong kayanya Fik. Kita tahu sendiri kan, Ning Safa ndak bakal batalin jadwalnya meski Ayah, dan Bunda melarang."
Fikron mengangguk. "Kalau katanya Ayah Malik, Ning Safa ini keras kepala."
Irham setuju, karena memang benar seperti itu adanya.
Irham sengaja memilih duduk di cafe nya yang ramai, karena tidak mau ada fitnah jika ia mengajari Ning Safa belajar bisnis di dalam ruang kerjanya.
"Ning Safa, sama Ning Khalis sudah berangkat toh?" tanya Fikron.
"Sudah sejak tujuh menit lalu Fik." jawabnya.
Kedua Gus itu larut dalam obrolan ringan sampai suara salam menginterupsi.
"Assalamualaikum, Gus."
Kedua Gus itu kompak menoleh, dan kedua dadanya langsung berdebar melihat sosok cantik Ning Safa yang mengenakan gamis berwarna biru, dengan kerudung senada bermotif bunga-bunga yang baru saja datang bersama Ning Khalisa, adiknya.
Dalam diam, dan tanpa ada yang tahu bahwa hati kedua Gus yang merupakan saudara sepupu itu sama-sama menyukai Ning Saffana Husna Gayatri.
"Eh, ada Gus Fikron juga." Safa berucap setelah kedua Gus itu mengucap salam, dan menundukkan pandangan mereka.
Keduanya sadar, jika tidak boleh menatap lawan jenisnya, apalagi keduanya memiliki perasaan khusus kepada Ning Safa.
"Iya Ning, kebetulan habis dari pabrik juga, jadi mampir ke sini sekalian mau ngopi." jawabnya.
"Mau ke lantai dua aja engga?" tawar Gus Irham, selaku sang pemilik cafe.
Di lantai dua juga ramai, selain karena berada di rooftop yang menyediakan view indah pegunungan, juga disana tersedia meja dan kursi panjang tempat yang leluasa untuk kegiatan belajar bersama, yang biasa di gunakan anak sekolah untuk mengerjakan tugas kelompok juga.
Ning Safa mengangguk. "Boleh." jawabnya.
"Iya, disana lebih seru deh kayaknya." imbuh Ning Khalisa.
Mereka semua akhirnya setuju untuk pindah ke lantai dua. Gus Irham memerintahkan pelayan untuk membawa kopi dan camilan miliknya dan Gus Fikron, serta menanyai apa yang akan di pesan oleh kedua Ning itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS TAKDIR [TERBIT] ✓
General FictionIrham Zaid Al-Fattah, dan Fikron Muhamad Ali adalah saudara sepupu. Sejak kecil selalu bersama-sama, meski saat dewasa keduanya harus menempuh pekerjaan yang berbeda. Irham yang meneruskan bisnis kuliner Abinya, dan Fikron yang mengurus pabrik konve...