Kedelapan Belas • Bukan Modus, Kan?

289 44 3
                                    

Jaya terus di kamar sampai hujan benar-benar berhenti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jaya terus di kamar sampai hujan benar-benar berhenti. Kalau duduk saja, mungkin Jenaka akan maklum. Namun, kenyataannya setiap kali petir datang, Jaya selalu memeluknya. Mana durasinya cukup lama.

"Ini diminum." Jenaka meletakkan gelas berisi teh manis hangat di meja. Katanya teh hangat bisa menenangkan pikiran. Maka dari itu Jenaka berinisiatif membuatkan minuman itu. Manjur atau tidak urusan nanti.

Jaya langsung menangkup gelas tersebut, menyeruputnya sedikit demi sedikit. Sementara itu, Jenaka sibuk membersihkan sisa air hujan di depan rumah. Di luar juga banyak tetangga yang melakukan hal yang sama. Jenaka tidak bisa menghindari mereka.

"Jena, udah berapa bulan sekarang? Kok, masih kecil perutnya?" tanya seorang ibu-ibu.

Jenaka memegang gagang alat pel erat-erat. Dia sudah tahu arahnya ke mana. Menikah dadakan begini, ya, udah pasti tidak jauh-jauh dari hamil duluan.

"Ya jelas nggak keliatan, lah, Bu. Wong saya belum hamil." Jenaka membela dirinya sendiri. Kalau bukan dirinya, siapa lagi? Orang lain tidak ada yang peduli dengan perasaannya. Mereka hanya mementingkan pemikirannya sendiri. Tidak mau mendengar pendapatnya. 

"Lho, buktinya kamu nikah buru-buru, pasti takut perutmu cepet besar, kan?" 

Jenaka mendengkus. Mau dijelaskan pakai bahasa alien pun, orang tua ini tidak akan paham. 

"Jangan keseringan pulang malam, to, Mbak Jena. Kasian dedenya. Masa, lagi hamil keluyuran terus."

Ini siapa, sih, yang membuat narasi dirinya sedang hamil? Jenaka tidak habis pikir kenapa ada orang yang berani membuat fitnah seperti itu. Kalau tersebar ke mana-mana, kan, dosanya juga ikut ke mana-mana. 

"Bu, ngerasa nyium bau nggak?" Jenaka mendekat, kemudian mengendus-endus ke dekat ibu-ibu itu.

Ibu-ibu itu lantas memundurkan kepalanya. Matanya menyipit saat menatap Jenaka. "Bau apa, to?"

"Bau bangkai. Katanya kalau ngomongin orang itu ibarat makan bangkai saudara sendiri. Hiii." 

Jenaka mengatakan itu sembari mengibas tangannya di depan hidung. Sontak saja mata ibu itu terbelalak sempurna.

"Anak setan! Berani ngomong kayak gitu sama orang tua!" 

Jenaka tidak takut sama sekali. Ia justru melenggang masuk membawa sapu serta alat pel yang barusan digunakan. Celotehan ibu-ibu itu ia abaikan. Jenaka sudah tidak peduli lagi dirinya dicap anak setan. Malas berurusan dengan orang stipe ibu-ibu tadi. Lagi pula, dirinya begini sampai enam bulan ke depan. Setelah itu bebas. 

Setelah menutup pintu, Jenaka mendapati Jaya masih duduk menikmati teh hangat. Laki-laki itu langsung menoleh begitu mendengar suaranya. 

"Kamu ngomong sama siapa?" tanya Jaya. 

"Kepo." Jenaka enggan membalas. Ia meletakkan peralatan kebersihan tadi di belakang. Tak lama kembali lagi ke tempat semula. 

"Kakak nggak mandi?" 

Jelujur Cinta JenakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang