tiwifl || 16

1.6K 338 52
                                    

Aku kembali pada realita ketika telinga mendengar dering alarm. Belum membuka mata, aku sudah mengulurkan tangan, mencari-cari handphone di atas nakas sebelah tempat tidur. Setelah dapat, baru lah aku melek untuk menekan tombol stop. Pukul 05:00, waktu yang aku atur untuk mulai beraktivitas di setiap pagi. Jujur, rasanya masih sulit untuk bisa mendengar Adzan dan bangun saat itu juga, aku masih harus dibantu dengan bunyi alarm ini.

Ketika menoleh ke samping, aku tersenyum karena ternyata ini mungkin adalah rutinitas laki-laki itu. Entah persisnya pukul berapa dia bangun, tetapi begitu aku sadar, dia selalu sudah tidak ada di tempatnya. Tidak mendengar alarmnya juga, jadi aku bertanya-tanya bagaimana cara dia sadar dari tidur.

Hal pertama yang aku lakukan adalah langsung ke kamar mandi, menggosok gigi dan membasuh wajah supaya segar, kemudian mengambil wudhu. Masih terlalu banyak hal yang belum bisa aku lakukan, salah satunya adalah mandi di pagi hari begini, sangat pagi yang katanya justru bagus untuk kesehatan. Tetapi membayangkannya pun aku sudah bersin-bersin sendiri.

Selesai dengan ibadah wajib, aku merapikan tempat tidur dan tak mampu menahan senyum menyadari betapa femininnya ranjang kami sekarang. Aku tidak tahu bagaimana perasaan Hans semalam tidur di sini dengan motif bunga meski ukuran kecil, karena biasanya yang dilihat hanya warna navy dan abu-abu.

Begitu aku ke dapur dengan niat minum air putih, aku mendengar suara berisik dari laundry room, ternyata Hans sedang sibuk di sana. Dengan keranjang baju di sudah kosong dan mesin cuci nyala. Tiba-tiba aku merasa bersalah padahal aku tahu itu tak perlu. "Mas."

Bukan hanya kepalanya yang menoleh, dia membalik badan dan menatapku. Meski tak ada suara keluar dari mulutnya.

"Pagi banget nyuci?"

"Iya."

Aku mengangguk. Ya, benar, apa lagi jawaban yang perlu dia berikan untuk pertanyaan canggung itu, Rey? Tentu saja hanya 'ya' karena memang itu kenyataan—tunggu dulu, apa aku tidak salah merasa? Apakah ini karena masih pagi atau memang wajahnya makin pucat? Bahkan dari sini, aku bisa melihat bibirnya begitu kering dan merah gelap atau agak ungu, aku tidak yakin bagaimana cara tepat mendeskripsikannya, tapi yang jelas–

"Reva?"

"Ya? Oh!" Aku menggelengkan kepala dan tertawa pelan begitu menyadari ekspresinya terlihat bingung. Mungkin dia bertanya-ternya kenapa aku masih berdiri di sini, melamun, dan tidak melakukan apa-apa. "Kamu baik-baik aja, Mas?"

Kepalanya mengangguk.

"Hari ini kamu keluar? Kerja?"

Dia menggeleng. "Aku mau istirahat, mau beresin pakaian ini dulu."

"Libur kah?"

"Meliburkan diri." Sudut bibirnya terangkat sedikit, lalu tangannya merapikan storage berisi detergen dan wewangian. Kemudian tubuhnya sepenuhnya berbalik, berjalan ke arahku. Sekarang aku makin yakin kalau dia sedang tidak terlalu sehat. "Kamu ada agenda apa hari ini?"

Aku refleks berjinjit dan menyentuh keningnya dengan punggung tangan. Seketika mataku melebar karena menyadari suhunya sudah di atas batas normal. Normal untuk toleransi panas di kulitku. "Kamu sakit, Mas."

"Cuma agak pusing, nanti minum paracetamol juga baikan. Aku bikin sarapan dulu, kamu mau sup jagung kepiting kah? Biar sekalian."

Kepalaku menggeleng kuat. Tidak peduli seberapa buruk peranku di rumah ini sebagai istri atau apa pun rencana kami, mana mungkin aku membiarkannya sakit dan masih harus mengurus diri sendiri sementara dia memperlakukanku dengan begitu baik sebagai tamunya? Aku mungkin sudah menjadi orang jahat, tetapi aku bisa bersumpah tidak sepenuhnya. Hatiku masih berfungsi dengan semestinya. Aku masih memiliki rasa iba, simpati, empati, apa pun itu namanya. Jadi, yang aku lakukan adalah memberinya gelengan kepala kuat-kuat, menyentuh tangannya dan mengatakan, "Tolong biarin aku bantu kamu, Mas. Aku urus sisanya nanti pakaianmu sampai dia masuk lemari. Aku yang bikin sarapan buat kita berdua, kamu tunggu, yaa. Obatnya sebelah mana biasanya?"

this is what it feels like || tiwiflOù les histoires vivent. Découvrez maintenant