28.1 Pantai

0 0 0
                                    

Satu bulan berlalu begitu cepat.

Kini Lily memilih menyalurkan penatnya di pantai. Ia memakai baju kaus kebesaran  dengan celana levis yang pas di kakinya. Lalu rambut yang biasa dikuncirnya dibiarkan bebas tanpa ikat rambut, membuat banyak helai menari beterbangan mengikuti alur sepoian angin.

Ia sendiri di sana. Memejamkan mata dan tangan direntangkan. Meresapi nyanyian ombak yang menghampiri kaki telanjangnya, kicau burung yang mengepak sayap di udara dan sayupan nada gumamannya.

“Rasanya gue baru hidup,” gumam Lily dengan senyuman lebar.

Ngomong-ngomong, terlalu sering ya dirinya tersenyum simpul selama ini? Bila kalian tahu, senyuman simpulnya selalu dipancarkan kepada dunia tipu seperti ini. Terlalu lelah untuk mengekspresikan kelamnya yang ia hadapi, tetapi banyak orang berkata; sesulit masalah, tetaplah tersenyum. Dan makanya senyuman simpul selalu ia gunakan.

Menurut kalian, tersenyum simpul itu apa? Karena menurutnya, senyum simpul itu adalah senyum kebohongan. Senyum yang kedua ujung bibir itu tertarik sedikit ke atas agar rasa penat yang menyergap tidak mampu membuat orang tahu. Namun, bila orang lain mau mengerti, maka senyuman simpul itu terlihat seperti senyuman rutinitas yang terpaksa. Senyuman itu akan terlihat munafik, tapi kembali lagi, bila orang lain mau mengerti.

“Lily kacamata!”

Lily membuka matanya. Kemudian membalik. Mendapati Ryan berdiri di samping mobilnya. Ia tersenyum cerah, melambaikan tangannya tinggi-tinggi.

Ryan menghampiri. “Lo kalo ngilang pasti ada di sini.”

Lily tertawa. Ketika dia mendekat, tangan kanannya saling ber-tos ria. “Oke. Ada gerangan apa lo kemari?”

Ryan mulai duduk di pantai, kemudian diikuti oleh Lily. “Gue mau ngomong.”

“Ngomong apa ngobrol?” tanya Lily kembali tertawa ringan. “Waktu itu lo mau ngomong masalah pelajaran, tapi malah ngobrol bahas yang lain.”

Ryan terkekeh saja. “Kali ini nggak bakal, deh. Gue mau bicara sesuatu. Yang mungkin lo harus tau.”

Lily siap mendengarkan.

“Pasca gue kecelakaan dan amnesia sama beberapa hal. Lo orang pertama yang nggak gue kenal, tapi lo seolah gak asing di ingatan gue, Ly. Ada foto palaroid yang bergambar gue sejak kecil dan perempuan yang sangat mirip sama lo,” Ryan menoleh ke arah Lily. “Lo Jenika, kan?”

Lily menatap balik Ryan. Dengan ragu mengangguk. “Kenapa lo tau panggilan waktu kecil gue?”

“Karena gue David.”

Napas Lily tertahan. “David?”

“David Kusuma Ryansyah. Itu nama kepanjangan gue.”

Lily merasakan seluruh organ tubuhnya kembali hidup. Ia berusaha untuk mengendalikan sikapnya, tetapi senyum getir terpampang jelas di wajahnya. “Jadi lo David? Kenapa menghilang?”

“Gue kecelakaan, Ly.”

“Tapi ... kenapa lo ada sekarang ketika gue udah mau berniat melupakan.”

Ryan mengangkat kedua alisnya. “Maksudnya?”

“Gue suka sama lo,” aku Lily. “Sejak lama.”

Ryan terhenyak. Namun, beberapa kemudian dirinya tersenyum kecil. “Jadi lo suka gue?” bisiknya dengan nada mengejek.

Wajah Lily memanas. “Nggak, maksudnya gue suka sama David—“

“Dan David itu gue. Berarti lo suka sama gue,” putus Ryan merasa menang membuat Lily skakmat.

“Tapi gue gak percaya ya lo David!” cerocos Lily memalingkan wajahnya. “Lagian sejak kapan David mukanya songong begitu.”

Ryan tetap Ryan yang kesabarannya tetap setipis benang sutra. “Lo ngatain gue songong?!”

“Dan David gak pernah marah-marah,” tambah Lily.

“Lo—“ Ryan tak bisa berkata-kata. “Oke. Lo gak percaya? Tapi lo harus percaya sama orang yang sekarang di belakang lo.”

Lily membalik ke belakang. Matanya spontan membulat melihat seseorang duduk di kursi roda tepat di belakangnya. Ia kemudian bangkit. Ia sungguhan mengenal siapa wanita itu. “Tante Ratna ....”

Ratna tersenyum. “Lama gak bertemu kamu, Jenika.”

Mata Lily berkaca-kaca. Segera, ia memeluk Ratna merasa rindu. “Tante sehat? Udah lama Jenika gak ketemu Tante. Tante tinggal di mana sekarang?”

“Kak Lily juga pernah mampir ke rumah, kan?” Raisa bersuara, ternyata perempuan itu juga ikut kemari. “Ibu. Kak Lily ini suka ke rumah kita. Tau tuh Kak David suka bawa anak orang ke rumah.”

“Lily?” Ratna mengerutkan keningnya. “Kok ganti nama panggilan?”

Lily tersenyum. “Karena aku serasa gak pantes disebut Jenika, Tan. Dan ketika aku SMP, semua orang nyebut aku dengan panggilan nama depan. Kebetulan nama depan aku Lily, melekat sampai sekarang.”

“Dua-duanya juga bagus,” puji Ratna, ia tersenyum tulus. “Jadi kamu masih dekat sama David ya sampai sekarang?”

“Baru sekarang kelas dua belas, Bu,” Ryan yang menyahut. “Aku baru tau dia teman lama baru-baru ini. Dan baru tau juga, ternyata Jenika suka aku sejak lama.”

Pipi Lily kembali memerah. Ia melotot kepada Ryan sebagai bentuk pertahanan malunya. “Dia dari kecil selalu pede.”

Ryan yang tak terima tidak bisa lagi menahan kesabarannya. Ketika Lily terduduk di depan kursi roda ibunya, ia angkat tubuh mungil itu hingga ke pangkuannya.

“RYAAAN!!!” Lily menjerit panik. “TURUNIN GUE!”

Ryan memangkunya ala bridal style. Ia tersenyum puas. Melangkah kakinya mendekati ombak pantai.

Lily yang menggerak-gerakkan kakinya agar bisa turun itu terperangah ketika Ryan terus melangkah lebih dalam hingga air membasahi lutut lelaki itu.

“Lo mau berenang?” tanya Ryan terdengar diseram-seramkan.

Lily bergidik, melihat air yang pasti kedalamannya setinggi sepahanya itu. “Gue ke pantai gak mau berenang, ya! Gue—RYAAAAAN!!”

Pakaian Lily dan Ryan spontan basah semua ketika Ryan sendiri merendahkan posisi berdirinya menjadi duduk. Meski keadaan basah seperti itu, Ryan belum melepas tubuh Lily yang berada di pangkuannya. Lily yang posisinya masih merangkul leher lelaki itu terhenyak saat sadar betapa dekatnya jarak antara mereka. Ia menatap kedua mata tajam itu yang balik menatapnya teduh.

Tatapan teduh itu mirip seperti David. Membuat hatinya menghangat.

“Sekarang gimana? Masih mau nyangkal kalo gue ganteng?”

Bahkan dinginnya air tak bisa membuat pipi panas Lily mereda, “Sekarang gue gak bisa nyangkal, lo emang David yang gue kenal.”

“Kenapa natap aku kayak gitu? Aku ganteng, ya?”

Ryan tersenyum puas. “Lo suka gue?”

Lily mengerutkan keningnya galak. “Nggak!”

“Gue gak tau Jenika yang pernah gue kenal itu seperti apa karena gue lupa,” Ryan mengangkat bahunya ringan. Namun, wajahnya nampak mendekati wajah Lily hingga memupus jarak antara keduanya. “Dan ...

Napas Lily tertahan, tubuhnya menjadi membeku kaku.

... gue lebih tertarik sama lo yang sekarang.”

Deg!

Jantung Lily berdetak cepat. Butuh beberapa waktu dirinya kehilangan pernapasannya seolah udara tak mengizinkannya hidup. Namun, semua kembali normal ketika jari basah Ryan mencubit pipinya cukup keras, “Aw!”

Ketika Ryan melepaskan Lily, perempuan berkacamata itu rupanya dendam. Kedua tangan itu mendorong arus ombak hingga membuat cipratan air yang mengenai tepat pada wajah Ryan.

Akhirnya kedua remaja itu silih melempar air hingga keduanya basah kuyup. Sementara Ratna dan Raisa hanya bagian tertawa melihat mereka yang bak anak-anak itu.

“Mereka berdua memang ditakdirkan saling bertemu. Dari sejak kecil dan sejak sekarang.”

Lily Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang