BAB 2 : Kepingan Yang Hilang

17 2 0
                                    

*Layla POV

Sejujurnya, aku tidak terlalu menyukai manusia. Bukan berarti aku membenci mereka. Aku hanya tidak menyukai cara mereka melihatku. Seakan aku adalah makhluk langka yang sudah lama punah.

Meski lahir dan besar di antara para manusia, aku tidak pernah merasa menjadi bagian mereka. Seperti ada jurang lebar yang memisahkan kami. Karena itu aku mulai berpikir, mungkin mereka benar. Aku adalah sesuatu yang seharusnya tidak pernah ada.

Keberadaan ku adalah bukti bahwa kami sudah semakin dekat dengan akhir.

***

Mala hanya mengatakan satu hal setelah tes berakhir. Bahwa aku telah menghina semua data yang para peneliti dapatkan selama ini.

Mungkin itu benar. Kekuatan yang kutunjukkan pada mereka mungkin akan mengubah arah penelitian ini. Aku seperti menunjukkan semua pengetahuan mereka tentang Weaver selama ini salah. Mungkin mereka juga sudah mengubah pertanyaan dari 'bagaimana' menjadi 'apa yang sebenarnya kita pelajari'.

Walaupun itu bukan kesalahan mereka, tentu saja. Beberapa hal yang mereka ketahui tentang Weaver nyatanya tepat, meski hanya hal-hal dasar. Tapi kurasa, sihir sama sekali belum menjadi bagian dari hipotesis mereka. Dan tentu saja, Mala menepati janjinya. Dia bahkan mengizinkan tanganku bebas hanya untuk malam ini. Mengajakku ke area kantin di lantai satu-satu-satunya lantai yang berada di permukaan karena seluruh fasilitas dibuat di bawah tanah. Menyuruhku mengambil satu nampan berisi dua porsi makanan dan dua gelas air, lalu kembali menaiki lift menuju lantai terbawah.

Aku tidak akan berbohong jika Mala bertanya mengapa aku terlihat gugup. Ini pertemuan yang kunantikan. Semua yang kulakukan sejauh ini-membuat kerusuhan di dunia manusia dan dengan sengaja membiarkan mereka menangkap ku-hanya berdasarkan pada sebuah pertaruhan bodoh.

Jika dia bukan orang yang kucari, maka aku tidak memiliki alasan untuk tetap di sini. Mungkin menghancurkan seluruh tempat ini sebagai pelampiasan juga tidak buruk.

Namun jika 'dia' adalah orang yang kucari, seseorang yang kulihat dalam visi ku, alasanku memulai semua ini. Apa yang akan dia katakan saat melihatku? Bagaimana reaksinya saat itu? Apa dia akan meminta maaf padaku, atau malah tersenyum dan berterima kasih.

Aku tak akan berbohong jika seseorang bertanya mengapa aku tampak begitu gugup. Meski aku yakin wajahku tak menunjukkan ekspresi apapun, aku yakin orang lain akan dengan mudah menyadari perbedaannya.

Mala terus berjalan di sampingku. Melewati koridor panjang dan sepi, serta beberapa persimpangan dan sekat penghalang yang hanya bisa dibuka dengan kartu identitas. Pengamanan di lantai ini jauh lebih ketat dibanding lantai lain. Bahkan jalan menuju kamar tahanan ku di lantai tiga tidak sesulit ini. Di ujung lorong, pintu besi itu akhirnya terlihat.

Mala menempelkan kartu identitasnya di gagang. Membuat bunyi yang cukup nyaring saat pengaman dari pintu itu satu-persatu membuka. "Dua puluh menit," kata Mala. "Aku akan menjemputmu setelah itu."

"Dua puluh menit untuk makan dan mengobrol?" Cibir ku. "Serius, apa kau tak pernah berkencan?"

Mala hanya mengangkat tangannya, melangkah mundur dan mempersilahkan ku untuk masuk. Saat bunyi terakhir menjadi hening, pintu itu sudah sepenuhnya terbuka. Aku menarik nafas panjang dan melangkah masuk, berhenti tepat di depan pintu yang kembali menutup.

Ruangan itu sama seperti kamarku. Warna dinding dan segala peletakan perabotnya, bahkan baunya yang seperti bau obat-obatan. Yang berbeda, hanya seorang lelaki yang duduk di belakang meja dengan kepala tertunduk.

Tubuhku menegang saat kumpulan emosi mulai menerobos masuk. Saling berebut untuk menjadi dominan.

Tapi... dia tak mengatakan apapun. Bahkan tidak bereaksi sama sekali pada semua hal di sana. Dia tidak mati atau tertidur. Dia juga tidak sedang menunggu seseorang. Aku baru menyadarinya setelah beberapa saat dalam keheningan.

          

Laki-laki itu tak peduli pada apapun.

Semua perasaan itu pun seketika menguap. Digantikan oleh amarah dan kekecewaan. Aku kembali melangkah, menarik kursi dan duduk di depannya. Bahkan dia tetap tak bereaksi pada suara dan bau makanan dari nampan yang kubawa.

Aku bisa melihat wajahnya dengan jelas sekarang. Rambut hitamnya lebih lebat dan berantakan. Matanya dari dulu memang hitam, tapi tak ada satupun cahaya yang tersisa sekarang. Saat pertama melihatnya di ambang pintu, aku tahu pertaruhan yang kulakukan tidak sia-sia. Dia adalah orang yang kucari, seseorang yang kulihat dalam visi itu.

Tapi... dia bukan lagi San yang kukenal dari enam tahun lalu.

Dia terlihat begitu rapuh dan lemah. Tidak seperti dulu saat dia begitu yakin untuk berdiri di depanku, menyuruhku pergi setelah memaksaku berjanji untuk mencarinya suatu hari. Pertaruhan ku memang berhasil, tapi... apa artinya?

"Kau terlihat menyedihkan," ucapku. Sesuatu yang tidak seharusnya dikatakan pada pertemuan pertama.

Mata San melebar saat mendengar ku. Perlahan, kepalanya terangkat dan pandangan kami bertemu. Ekspresinya berubah saat melihatku. Dia terus menatap mataku, mungkin mencari sesuatu dari mata biru ku. Kemudian menatap rambutku yang sewarna salju, mungkin mulai bertanya-tanya siapa yang ada di depannya sekarang. "Kau... sama sepertiku."

Kini giliran ku yang menunduk. Aku tidak ingin dia melihat ekspresi ku saat ini. "Katakan padaku." Suaraku sedikit bergetar. "Apa yang kau pikirkan sekarang?"

"Awalnya, kupikir kau salah satu dari mereka."

"Apa karena aku juga memakai baju tahanan?"

"Tidak," jawabnya. "Aku hanya merasa... kau berbeda."

Perlahan, aku kembali menatapnya. Setelah yakin bahwa wajahku tak menunjukan apapun lagi. "Dengar, aku akan menanyakan beberapa hal. Jawabanmu akan menentukan apa yang akan kulakukan kedepannya. Atau, bagaimana aku akan bersikap padamu."

San mengangguk. Aku bisa melihatnya sedikit gugup sekarang. "Apa yang kau tahu tentang Weaver?" Tanyaku.

"Tidak banyak. Mala hanya bilang kalau Weaver adalah mereka yang memiliki kekuatan untuk mengendalikan elemen."

"Dan kau ingin tahu kenapa kau tidak bisa mengendalikan elemen apapun." Kali ini bukan pertanyaan. Itu adalah pernyataan yang tidak akan bisa dia bantah. Tapi, San tetap mengangguk.

Aku melanjutkan, "Api, Tanah, Angin, Petir, dan Weaver campuran yang bisa mengendalikan dua elemen sekaligus. Atau bahkan para penyihir yang menggunakan darah sebagai media untuk mengontrol energi murni. Kekuatanmu tidak termasuk dalam semua kategori itu."

Lagi-lagi sebuah pernyataan. Wajah San tampak menegang seiring penjelasan ku. "Tentu saja," aku menambahkan. "Teleportasi berbeda dari semua konsep kekuatan yang digunakan Weaver."

Wajah tegangnya sontak kembali berubah. Kini yang ditampilkan adalah rasa terkejut. Aku tahu apa yang dia pikirkan tanpa perlu menanyakannya. Bagaimana aku bisa mengetahui hal itu, sesuatu yang selalu dia sembunyikan selama ini.

Saat San ingin mengajukan pertanyaan, aku langsung memberinya pertanyaan lain. "Di mana kau tinggal sebelumnya?"

San tidak langsung menjawab. Dia memalingkan wajahnya. Apapun yang akan dia katakan, aku bisa melihat bahwa dia tidak pintar untuk menyembunyikan sesuatu. "Aku selalu berpindah tempat. Aku tidak tahu di mana tempat-tempat itu."

"Kenapa?"

San mengerutkan keningnya. Aku bisa menebak ini adalah bagian yang ingin dia sembunyikan. Tapi aku yakin dia juga tahu bahwa dia tidak akan bisa berbohong. Akhirnya, dia memilih untuk tidak mengatakan apapun.

Aku menghela nafas panjang. "Karena setiap tempat yang kau anggap rumah selalu berakhir menyedihkan. Seperti yang terjadi pada panti asuhan yang kau tinggali sebelum mereka menangkap mu."

Dia kembali menatapku. Kali ini San tidak berusaha menyembunyikan apapun. Aku bisa melihat ketakutannya, keputusasaannya. Sebuah kesedihan. Sesaat, aku bisa melihat kembali cahaya di matanya.

"Apa... Kau mengenalku?"

"Pertanyaan terakhir," balas ku. Mungkinkah dia berharap padaku sekarang. "Kalau kau memiliki pilihan untuk menghancurkan seluruh dunia dan semua hal yang kau benci. Atau mengubah takdir dan memperbaiki semua kesalahan itu. Apa yang akan kau lakukan?"

San terdiam. Mungkin membuang semua pertanyaan yang telah terkumpul sebelumnya untuk memikirkan jawaban dari pertanyaan ku. "Aku tidak mengerti," jawabnya. "Tapi jika aku memiliki pilihan seperti itu, berarti aku bisa melakukan keduanya, kan? Kurasa, aku akan bertanya lagi pada orang yang memberiku pilihan. Aku akan melakukan apa yang dia inginkan."

"Kau aneh. Kalau kau bisa melakukan keduanya, kau tak perlu pendapat orang lain."

"Aku hanya tidak bisa memutuskannya sendiri." Suaranya hampir berupa gumaman. Jika kami tidak berada dalam ruangan kecil yang tertutup, mungkin aku tidak bisa mendengarnya.

Kali ini aku yang terdiam. Berbagai pikiran memenuhi kepalaku. Aku mulai mengerti sekarang. Alasannya memintaku berjanji saat itu. Alasanku begitu marah dan kecewa saat melihatnya lagi.

Bukan karena San yang tidak lagi mengenalku. Bukan karena dia berbeda dari San yang kukenal. Aku marah pada diriku sendiri karena tak bisa melakukan apapun saat itu. Kecewa pada diriku sendiri karena tidak langsung mencarinya setelah itu.

Pintu terbuka di belakangku. Tanpa menoleh, aku tahu siapa yang berdiri di sana. "Waktu habis," ujar Mala. "Aku bahkan memberi kalian tambahan waktu."

Aku langsung berdiri, berbalik dan berjalan ke arah pintu. Meninggalkan San yang masih berusaha mencerna semua pembicaraan itu.

"Namaku Layla." Aku berhenti dan menoleh sesaat. "Jangan lupakan itu." []

The Eclipse EnigmaWhere stories live. Discover now