43. The Man I Love

123 10 0
                                    



"Kenapa tak bersemangat, Namu?"

"Makanannya tidak enak?" Seokjin meletakkan pisau dan garpunya, memiringkan kepala menatap sang pria yang mengunyah dengan tempo lambat.

Namjoon menggeleng pelan lalu meneguk air mineralnya.

"Namu sakit?" Sedikit khawatir, Seokjin mencondongkan tubuh meraba kening sang pria.
Lagi-lagi sang pria menggeleng.

"Kak....."
"Kenapa kak Seokjin sangat baik pada Namu?"

Menghela nafas lega, Seokjin tersenyum dan melanjutkan makannya.
"Menurut Namu?"

"K-kasihan?" Namjoon melirik ragu.

Suara denting alat makan di seberang mejanya berhenti.

"M-maksud Namu......um......b-bukan.....kak...."

Gelak tawa Seokjin meledak menatap mata membulat dan garpu yang melambai-lambai di tangannya.

"Bisakah Namu tidak menggemaskan seperti ini...." Ia mengacak pelan surai hitamnya yang tertiup angin.

"Aku akan menjawab jujur, Namu...."

"Waktu pertama kali aku melihatmu bermain piano di tempat itu...aku kagum"

"Lalu aku menemukanmu terluka di sebuah gang sendirian dan uang Namu diambil..."

"Aku merasa kasihan dan ingin sekali melindungi Namu..."

"Lalu......ada hal kecil yang mungkin Namu tidak sadar telah membuatku merasa tidak pantas mengasihani Namu..."

"Apa itu kak?" Namjoon memiringkan kepalanya bingung.

"Saat Namu menyimpan uang tip dengan jepitan yang tidak Namu lepas..."

"Bagaimana Namu mengingat jadwalku dan menyelipkan istirahat sebagai bagian darinya" Seokjin terkekeh pelan.

"Namu yang sampai menanyakan kepada dokter Choi tentang riwayat alergiku"

"Ah! I-itu...."
"Kak.....itu memalukan..." Kepala yang menegak itu kembali tertunduk malu diikuti oleh gelak tawa Seokjin yang menatapnya gemas.

"Dan setelah semua yang Namu lakukan untukku..."
"Aku malah meragukan ketulusan Namu..."

"Namu.....aku yang telah berhutang banyak pada Namu...."

"T-tidak....jangan bilang begitu kak!"

"Sssstt....Namu, kumohon dengarkan aku..." Seokjin meletakkan telapak tangannya di pipi sang pria, menghentikan gelengan kepalanya.

"Saat ini aku berbicara sebagai atasan Namu..."

"Aku berjanji untuk memberikan yang terbaik untuk Namu"
"Aku ingin sekali mengucap terima kasih atas kerja keras Namu selama ini dan...."

"Maaf......maaf aku meragukan Namu..."

"Maaf jika selama ini aku tidak....um.....belum sepenuhnya mempercayai Namu" Seokjin memiringkan kepalanya dan tersenyum kecut.


"Kak Seokjin......sudah....cukup..."
"Namu tidak merasa pantas untuk kakak puji" Ia mengusap tengkuknya dan terkekeh pelan.

"S-sama-sama kak....Namu juga akan berbicara sebagai asisten manager kakak...."

"Namu....sangat menghargai dan berterima kasih pada kebaikan kak Seokjin selama ini"

"Dan....Namu sadar bahwa Namu tidak akan sanggup mengganti semua yang telah kak Seokjin berikan"

"Namu hanya bisa berjanji akan bekerja lebih giat lagi untuk kakak...juga berharap akan lebih banyak lagi meringankan tugas Hoseok"

"Terima kasih kak Seokjin...." Namjoon membungkukkan badannya.

Kedua alis Seokjin terangkat kaget, ia terdiam mengulum senyum gemas menatap wajah serius Namjoon setelah kembali menegakkan kepalanya.

"Kaaakkkk.....aah kakak pasti sedang mengerjai Namuuu"

Sontak Seokjin terbahak keras melihat sang pria mengerang manja dan mengerucutkan bibirnya dengan dahi berkerut.

"Tidak...tidak.....aku serius, Namu..."
"Aku merasa lebih bahagia dan tenang bersamamu"

"Benarkah?" Bibir yang masih mengerucut dan mata melirik polos itu menyertai ucap pelannya.

Seokjin mendengus tersenyum dan mengangguk. "Kau tahu aku mengangguk, Namu?"

Sang pria hanya tersenyum lebar memamerkan giginya, cekungan di pipinya terpahat sempurna.

"Habiskan makannya, Namu..."
"Kau jadi kurus selama di rumah sakit" Seokjin mengusap pergelangan tangan sang pria.

"Ung...." Namjoon mengangguk cepat dan kembali melanjutkan makan malamnya lahap.




Seokjin melirik pelan dan tersenyum kecil, Namjoon tertidur pulas dengan kepala bersandar pada bahunya.
"Namu...." Bisiknya.

"Namu......bangun, kita hampir sampai"

"Ng.....ah! M-maaf kak...." Namjoon tersentak dan menjauhkan kepalanya dari bahu sang pria kemudian meringis memijit keningnya yang berdenyut karena kaget.

"Oh....." Seokjin terkekeh dan mengusap-usap dada sang pria.
"Jangan terlalu cepat bergerak, Namu....nanti kepalanya sakit..."

"Maaf Namu tak sengaja..."

"Aku tidak keberatan...." Telapak tangannya berpindah menyisir surai hitamnya yang menutupi dahi.

Namjoon tertunduk menelan ludahnya gugup.



Keduanya telah sampai di depan pintu rumah yang telah sepi. Seokjin menyerahkan sebuah kantung kertas berisi obat-obatan ke tangan sang pria.

"Yang ini jika terasa sakit saja, Namu..." Jemarinya diraih untuk menyentuh botol-botol dengan berbagai ukuran.

"Yang ini dihabiskan...jangan sampai lupa"

"Ini tiga kali sehari dan ini satu kali....." Seokjin terdiam.
"Aku bodoh ya.....padahal kakek bisa membacakannya untukmu besok pagi..." Ia terkekeh pelan.

Namjoon hanya menatap lurus pada sang pria dan mengulum senyumnya.

"Oh...Namu menggenggam kalung ini sedari tadi?" Seokjin meraih tangan kirinya.

"Sini kupakaikan...." Dibukanya kalung itu, kedua tangannya terulur ke tengkuk sang pria yang kini berada semakin dekat dengannya.

"Lagi-lagi aku bodoh...harusnya aku memakaikannya sejak ta.....di..." Sontak seluruh wajahnya terasa panas.
Jarak mereka nyaris terkikis hingga Seokjin dapat merasakan hangat nafas sang pria yang berhembus di pipinya.

"S-sudah....." Ia menarik lengannya cepat.
"Aku pulang ya, Namu...."

"I-iya kak....sampai besok....um....maksud Namu...."

"Sampai besok, Namu...." Seokjin berjalan mundur sebelum berbalik dan meninggalkannya.

Sementara Namjoon hanya mematung dengan kedua tangan terkepal kaku dan degup jantung yang terdengar sangat keras.

Hembusan nafasnya, harum vanilla lembut, sentuhan jemari lentik di tengkuknya dan bentuk wajah sang pria yang semakin tergambar jelas dalam bayangan membuat Namjoon harus berulang kali menelan ludahnya gugup.

"Namu sayang kak Seokjin....." Gumamnya pelan.

Always With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang