Suara pintu kamar yang dikunci, membuat Bumi tak lagi mengejar Ansara.
Fisiknya kian lemah, pun rasa sakit di kepala dan perutnya terus menghantam. Dengan sepenuh tenaga, lelaki itu memutuskan untuk memaksakan diri berjalan menuju ke kotak First Aid. Jemarinya sibuk mencari aspirin, berharap dapat meredakan segera rasa nyeri yang bersarang di kepala.
Bumi tidak boleh kolaps sekarang. Keadaannya sedang tidak memungkinkan. Seluruh hal di hidupnya sedang butuh diperbaiki, terutama berkaitan dengan pekerjaan dan pernikahannya.
Usai menenggak sebutir aspirin, Bumi lantas menjatuhkan diri di sofa ruang tamu, membiarkan perlahan rileks menjalar di setiap jengkal tubuhnya. Dan pada akhirnya, alam mimpi menyambutnya. Terbangun ia di hamparan rumput hijau, begitu tenang dan damai.
Tapi, entah mengapa rasanya begitu.. Kosong.
Bumi lantas berjalan, terus melangkahkan kakinya perlahan menuju entah kemana, seakan tengah hilang. Hingga satu panggilan dari balik punggungnya, membuatnya menoleh.
"Bumi".
Bumi kenal suara itu. Jelas ia sangat mengenalinya.
"Diandra".
Sosok Diandra disana terlihat begitu cantik dengan balutan busana serba putih. Ia tersenyum manis, kemudian kembali bersuara. Persis seperti yang Bumi ingat, nadanya mengalun lembut. "Iya, ini aku".
"Tapi.. Kamu kan..?". Bumi tak mampu menyelesaikan kata-katanya. Terhenti begitu saja saat menyadari sekitarnya nampak tidak seperti dunia nyata. "Kita dimana sekarang?".
Sosok Diandra itu tidak lantas menjawab. Hanya kembali tersenyum sebelum kembali bersuara. "Kamu gak perlu tahu. Yang jelas, disini damai, Bumi. Gak seperti dulu".
"Maksudnya?". Kening Bumi berkerut seketika.
Sosok cantik itu mengulurkan tangannya. "Kamu mau ikut aku? Kita bisa hidup sama-sama disini. Seperti apa yang kita pernah impikan dulu".
Bumi menatap uluran tangan itu, bimbang sebab tidak yakin meraihnya adalah jawaban yang benar. "Aku punya Ansara dan Biel, anakku, sekarang, Diandra".
Lantas, Diandra menarik kembali tangannya. Senyumnya kembali mengembang. "Iya, aku tahu. Kamu harus kembali ke mereka. Kalo gitu, aku pergi dulu, ya? Aku gak bisa lama-lama".
"Tunggu, Di, sebentar". Cegah Bumi, lantas maju satu langkah guna mendekatkan diri dan berbicara lebih jelas. "Aku.. Minta maaf. Untuk semuanya. I put you in so much suffer up until your last breath. Aku benar-benar.. Minta maaf".
Sosok cantik itu malah tertawa, manis sekali. Diraihnya wajah Bumi dengan lembut menggunakan sebelah tangan. Dalam sejenak, Bumi seakan merasakan hangatnya terpancar. "Semuanya udah terjadi, Bumi. Kamu gak pernah salah. Takdir yang memang gak berujung untuk kita. Aku pun sekarang udah bahagia disini".
Panas di kedua pelupuk mata Bumi, berhasil membuatnya menjatuhkan airmata. "Will I ever see you again after this?".
"Hanya kalau kamu menyerah akan kehidupanmu dan menginginkan kehidupan yang lain". Jawab Diandra, retoris.
Hingga pada akhirnya, Diandra perlahan melangkah mundur, dan berbalik. Satu cahaya terang menyapa netra Bumi, membuatnya buta untuk entah berapa lama. Dan pada saat netranya kembali berfungsi, Bumi kembali menatap langit-langit rumah megahnya.
Mimpi apa barusan?
Apa mungkin.. Seluruh bersalah itu, masih membekas di benaknya?
Atau mungkin justru itu adalah..
Ajakan kematian?
Bumi menggelengkan kepalanya, merasakan rasa sakit di kepalanya yang mulai ringan setelah beristirahat. Namun gantinya, perutnya kini nyeri bukan main. Tidak heran, sebab perutnya pun dibiarkan kosong sejak kemarin.
Perlahan, Bumi mengecek sekitar, memperhatikan bagaimana matahari sudah menuju ke bawah dan berwarna jingga. Pertanda bahwa hari sudah menjelang sore.
"Sialan!". Pekiknya.
Sudah berapa lama ia terlelap?
Dengan tergesa, Bumi meraih sebuah pisang dan mengupasnya. Berupaya menggajal perutnya agar tidak sampai jatuh pingsan, sebelum beranjak ke lantai atas untuk berganti pakaian. Banyak sekali yang harus ia benahi di kantor, dan Bumi tidak boleh berlama-lama terdiam.
Diperhatikannya ruang kamar kosong saat berganti baju. Ansara jelas tengah mengunci dirinya dan putra mereka di kamar anak, sengaja berpisah dengan Bumi demi menghindarinya. Nyeri terasa hinggap di hatinya, pun ia berjanji akan memperbaiki semua kesalahpahaman ini satu persatu dengan sekuat tenaga.
Dengan setengah berlari, Bumi beranjak menuju ke arah tangga. Namun, lelaki itu terhenti sejenak dan beralih menuju ke depan pintu ruang anak, mengetuknya pelan.
"An, saya pamit ke kantor, ya. Kamu baik-baik di rumah. Titip anak kita. Nanti, kalau kamu udah mau ketemu saya, kita ngobrol, ya, sayang". Ucapnya pelan.
Dan tentu saja tak ada jawaban dari dalam sana. Bumi sudah memperkirakannya. Ansara kini sudah di titik didihnya, dan mungkin butuh banyak upaya untuk memperbaiki hubungan mereka kembali.
Lantas, Bumi berbalik dan berjalan lemas menuruni anak tangga. Di tiap langkah yang ia ambil, hatinya terasa teremas. Sakit tak karuan.
Karmanya terasa begitu menyakitkan, tapi Bumi tahu ia tak boleh menyerah secepat itu. Benaknya terus berbisik menyemangati. Dua nama terus tersebut disana.
Demi Ansara dan Biel.
———
Setibanya Bumi di kantor, suasana terasa begitu canggung. Atmosfer yang berbeda membuatnya mengecek sekitar, memperhatikan raut-raut aneh yang menatap kepadanya, seakan memaki dari kejauhan.
Hukuman itu dijatuhkan padanya dari segala arah, Bumi menyadari betul hal itu.
Langkahnya kian cepat guna mengakhiri penghakiman yang menyiksa. Di belakangnya, Bianca mengekor, mengikuti langkah Bumi dengan gelisah.
Sesampainya mereka di ruang kerja Bumi, Bianca memberanikan diri berbicara lantang. "Pak, maaf, saya ada yang mau dibicarakan".
Bumi menaruh barang bawaannya dan duduk di kursinya. "Iya, sorry, Bi, saya telat. Tadi ada urusan dulu. Saya kelewatan agenda apa aja? Nanti tolong notulen ke saya semua".
"Maaf. Bukan soal itu, Pak. Ini soal.. Laporan dari tim Mas Heru. Tim PR". Sahut Bianca dengan raut gelisah.
Bumi akhirnya menyadari, ada yang tak beres dengan kabar yang Bianca sampaikan. Lelaki itu membenahi posisi duduknya. "Ada apa?".
"Ini, Laporan dari tim PR. Mereka udah siapin press release terkait.. Rumor yang beredar, Pak. Tim PR mendesak Bapak untuk tanda tangan segera agar rilis ini bisa cepat dipublish ke publik". Balas Bianca sembari menyodorkan selembar kertas.
Bumi membaca singkat draft press release tersebut, mengerutkan keningnya sebab ini terkesan begitu terburu. "Bentar deh, Bi. Ini saya gak bisa sembarangan kasih approval. Saya mesti review dulu, kalo bisa malah saya yang drafting aja. Kenapa tim PR buru-buru banget gini?".
"Pak Bumi udah sempet cek saham perusahaan kita per hari ini?". Tanya Bianca, retorik.
Raut Bumi memucat, diraihnya laptop di sisi meja segera. Netranya sibuk mencerna garis merah curam di layar yang sebelumnya selalu dalam kondisi stabil.
"Fuck! Apa-apaan ini? Bisa anjlok begini karena rumor gak jelas?". Umpatnya.
Bianca mengangguk. "Kalau Bapak cek mendetail, turunnya sudah dari sejak hari pertama rumor beredar, Pak. Tim PR justru merasa kita udah lalai dan gak cukup gesit menangani kasus yang berdampak ke branding perusahaan. Jadi, mereka mendesak untuk take action secepatnya".
Bianca lantas memberikan selembar lagi dari dalam mapnya. "Lalu.. Ini. Pagi ini, bahkan ada berita baru mengenai Pak Bumi yang mendatangi agensi dari Trisha. Berita itu bahkan sampai dimuat di surat kabar cetak, Pak".
Bumi merebut lembaran print artikel tersebut, membaca isi dari artikel sialan yang bahkan membuat kesan baru seakan-akan Bumi benar-benar berkencan dengan artis yang digosipkan dengannya itu.
"BANGSAT!". Pekiknya kencang, melempar selebaran itu sembarang.
Bumi baru mengerti apa arti ucapan agensi Trisha saat itu. Bahwa langkah sekecil apapun di situasi yang sempit ini, adalah percobaan bunuh diri. Dan tololnya, ia sama sekali tak mendengarkan. Mencoba berbuat gegabah dan menganggap bisa menyelesaikan semua dengan caranya sendiri yang begitu amatir.
Dengan emosi yang masih memuncak, Bumi menandatangani draft press release di hadapannya. "Kasih ini ke tim PR sekarang. Minta mereka sebar ke media dan publisher cetak hari ini juga".
Bianca menatap iba kearah bosnya yang tengah kacau itu, sebelum akhirnya mengangguk. "Siap, Pak. Mudah-mudahan, ini langkah yang tepat untuk menyelamatkan perusahaan dan nama Pak Bumi".
"Jangan banyak omong Bianca, jalan aja!". Bentak Bumi, membuat Bianca berlarian keluar dari ruangan.
Bumi menjambak rambutnya kencang. Merasakan perlahan ketakutannya makin dekat. Bahwa hidupnya diambang kehancuran. Perlahan, satu persatu di hidupnya yang semula berdiri kokoh, mulai runtuh.
Dan mungkin, akan menjebaknya di ketidakmampuan yang akan menyiksanya nanti.