"Kita mampir makan dulu ya, Za."
"Gue nggak laper."
"Apanya nggak laper? Suara perut lapar kamu tuh kedengeran sampai ke sini, Ariza."
Shit.. Beneran kah suara perutku sampai kedengeran? Malu-maluin aku aja sih nih si perut.
"Kamu mau makan apa?"
"Entah."
"Hmm.. Penyakitnya cewe deh nih. Kalo nggak entah, terserah. Tapi giliran disodorin makan ini itu nggak ada yang mau."
Aku meliriknya tajam, "Iya deh si yang paling banyak cewenya jadi paham banget tentang cewe."
Si demit bercepol ini melirikku sekilas sebelum menyemburkan tawanya.
"Aku jomblo loh, Za." katanya disela-sela tawanya.
"Iya jomblo tapi semua cewe dijadiin gebetan." sahutku sinis.
"Itu kan kata kamu. Kataku kan enggak begitu. Kenapa sih cewe itu selalu membenarkan apapun yang ada di kepalanya? Padahal kan nggak semuanya seperti yang ada di pikiran cewe-cewe itu benar lho."
"Tapi biasanya apa yang ada di pikiran cewe itu bener ya."
"Dan tetap ada kemungkinan apa yang ada di pikiran cewe itu pun salah, bukan? Bisa aja itu cuma ketakutan-ketakutan kalian aja." sambarnya cepat dan diakhiri dengan sebuah senyuman iblis yang tersungging di bibirnya.
Sialan. Efek perutku benar-benar lapar, otakku jadi nggak bisa kugunakan dengan maksimal untuk melawan demit bercepol di sebelahku ini.
Tak sampai setengah jam kemudian, kami sudah berada di sebuah warung pecel ayam pinggir jalan. Kok masih ada aja ya yang buka jam segini?
"Minumnya apa, Mas?" tanya si penjual.
"Teh tawar anget aja, Pak."
"Ih gue mau jeruk anget!" ucapku.
Si demit bercepol cuma melirikku singkat, "Teh tawar anget aja Pak, dua ya."
Dih kok dia ngeselin?
"Tenggorokanmu kan sensitif sama yang manis-manis. Manisnya aneh dikit, walaupun itu baru seteguk, tenggorokan kamu pasti langsung sakit." ucapnya sambil duduk di kursi yang ada di depanku.
Aku sukses me-lo-ngo. Dia masih ingat??
"Karena aku belum pernah makan di sini, begitupun kamu pasti belum pernah makan di sini. Jadi kita pilih yang aman-aman aja. Atau kamu mau air mineral aja?" sambungnya santai. Sedangkan aku di sini berusaha menenangkan degup jantungku yang mulai dag-dig-dug nggak karuan.
Aku berdeham pelan, "Teh tawar angetnya yang satu ganti jadi jeruk anget sama air mineral aja ya, Pak." ucapku langsung pada penjual yang tadi mencatat pesanan.
"Oke, Mbak!"
Si demit bercepol yang sudah duduk di hadapanku ini menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tak sampai tiga puluh menit, pesanan kami sudah tersaji di atas meja. Aku dan si demit ini langsung makan dengan lahap. Bagiku, takhta tertinggi warung pecel ayam tergantung pada rasa sambalnya. Dan rasa sambal di warung ini sangat enak, pedas dan tambahan perasan jeruk limau memperkaya rasa sambalnya. Aku berdeham begitu selesai meminum beberapa teguk jeruk hangat yang tadi kupesan.
"Kan." ucap si demit pelan tapi masih bisa terdengar olehku.
"Pasti sakit kan tenggorokanmu?" tanyanya dengan ekspresi hmm--malas?
"Enggak kok. Cuma keselek sambel." aku mencoba berkilah.
"Ini minum air mineralnya." ucapnya lagi sambil mengulurkan sebotol air mineral yang sudah ia bukakan tutupnya.
"Thank you." jawabku sambil mengambil botol dan langsung meminumnya.
"Nggak usah diminum lagi jeruk angetnya." tangannya lalu mengambil gelas berisi jeruk hangatku dan langsung meminumnya. "Aku aja yang minum biar nggak mubazir." sambungnya.
Damn it! Kenapa jantungku lagi-lagi berdegup nggak karuan kayak gini?
---//---
For the God's sake, aku benci saat-saat seperti ini. Saat dimana ucapan si demit bercepol ini benar dan terjadi. Entah sudah berapa kali aku terus berdeham karena rasa tidak nyaman di tenggorokanku ini."Di laci depan kamu ada permen. Barangkali bisa sedikit redain sakit tenggorokanmu." ucap si demit sambil tetap fokus menyetir.
"Pasti permen nelayan kesukaannya." batinku sambil membuka laci dashboard yang ada di depanku.
Kan. Benar aja permen nelayan yang bungkusnya berwarna toska. Wait. Kok aku masih aja hapal?? Ish.
"Rumah kamu masih yang lama kan, Za?"
"Iya."
Lah dia masih ingat juga??
"Sampai." ucapnya sambil membuka seatbeltnya.
"Nga—"
"Aku tungguin sampai kamu masuk rumah. Bawa kunci gerbang?"
"Enggak. Tadi sudah chat Kyiv buat bukain pintu. Lo langsung balik aja, aman kok kalau di sini. Thank you so much for taking me home."
Si demit bercepol ini tertawa pelan, "Sekadar basa-basi kek Zaa tawarin mampir. Barangkali aku mau ke toilet atau mau minta minum."
Hal itu sebenarnya sudah kupikirkan sepanjang perjalanan. Aku harus apa saat nanti sudah sampai di rumah? Males banget kalau harus basa-basi nawarin mampir, karena pasti si demit ini meng-iya-kan basa-basiku itu.
Aku langsung keluar dari mobil begitu melihat pintu gerbang rumahku mulai terbuka.
"Tuh kan, Pa. Aku bilang juga apa? Kak Ayas pasti sama pacarnya yang penyanyi itu."
Hollycrap! Kyiv sudah berdiri di depan gerbang yang sudah dia buka sambil melihat ke arahku. Yang sialannya si demit ini malah ikutan turun pulaaa astaga dragoonn!
"Siapa? Si negara di Amerika Utara itu?"
Kok Papa ikutan keluar gini sih?!
"Eh ini ya orangnya?" tanya Papa begitu melihat demit di belakangku.
"Malam, Om. Eh atau sudah pagi ya ini?" sapa si demit diakhiri dengan kekehan khasnya.
Si demit berjalan mendahuluiku dan langsung mencium tangan Papa. Duh gustiiii!
"Jamaikaa?" tanya Papa dengan tangannya yang masih memegang tangan si demit bercepol.
"Iya, Om."
"Saya Arganta, Papanya Paras. Terima kasih ya sudah mengantar putri kesayangan saya dengan selamat sampai di rumah."
"Dengan senang hati, Om Arganta. Saya permisi pulang kalau begitu, Om."
"Loh nggak mampir dulu? Sekadar minum atau ke toilet? Jauh kan tadi dari Senayan. Pasti pakai mampir makan dulu juga kan tadi?"
Kulihat si demit sedikit terkejut mendengar kata-kata Papa tadi, "Mmmm nggak perlu, Om. Sudah jam segini. Next time aja saya ke sini lagi."
"Lho memangnya mau ngapain lagi kamu next time ke sini lagi?" tanya Papa dengan sebelah alisnya yang terangkat tinggi.
Skakmat kan lo pasti wahai demit bercepol?!
"Hhmm tadinya sih saya mau santai aja, pelan-pelan. Tapi karena Om nanya itu, okay lah saya gass sekarang aja." Si demit bercepol ini lalu berdeham, yang entah kenapa kok membuat jantungku berdegup lebih cepat ya?
"Jika Om mengizinkan dan merestui, saya mau serius sama anak Om." lanjutnya.
Aku langsung terbatuk-batuk saking tersedak air liurku sendiri. Sedangkan Papa terkejut tapi langsung bisa mengontrol ekspresi wajahnya. Kyiv? Entahlah. Yang jelas aku bisa mendengar suara kikikkannya dari arah belakang Papa.
---//---
Ada yang masih ingat gimana posesifnya Papa Arga waktu Ayas masih kecil tapi udah selengket itu sama Om Prama? Nah kira-kira sekarang gimana ya respon Paparga saat ada laki-laki yang baru dia temui pertama kali, tapi langsung nembak minta restu buat serius sama anak gadis semata wayangnya ini??