Meski menghidupkan televisi, tetapi Nadia asyik bermain ponsel, bolak-balik membuka beberapa akun media sosial miliknya. Ada teman yang sedang liburan. Ada yang sedang lembur kerja. Ada yang menikmati makanan enak. Ada yang mengeluh soal anak. Ada yang foto bersama pasangan, dan masih banyak lagi.
Semua orang berubah, tetapi yang Nadia rasakan, hidupnya begini-begini saja. Ia hanya menjalani rutinitas yang sama sehari-hari. Makan, bekerja, tidur, bangun, makan lagi, bekerja lagi, tidur lagi. Sesekali meluangkan waktu seorang diri untuk melepas penat, atau pergi bersama Rai dan Ellen.
Seiring bertambahnya usia, memang teman semakin menipis. Energi untuk bersosialisasi juga berkurang. Namun, ia sama sekali tidak mengeluh soal itu. Sejujurnya, wanita itu menikmati hidupnya sebagai Nadia Harianto yang membosankan ini. Jauh dari drama-drama tidak penting yang hanya akan menambah beban pikiran saja.
Terdengar suara gerbang terbuka. Rai sudah pulang. Tanpa melepas pandangan dari ponsel, wanita itu kini mengambil posisi tengkurap dengan nyaman di sofa. Gerbang tertutup, tak lama kemudian, suara ketukan pintu menyusul. Apa Rai lupa membawa kunci? Ah, benar juga, rumah ini hanya punya satu kunci.
Dengan malas, Nadia membawa tubuhnya menuju depan rumah. Wanita itu tercengang begitu pintu terbuka, ternyata Rai tidak sendirian.
“Halo, Ci.” Pria di sebelah Rai menyapa dengan ramah, seolah mereka sudah kenal lama.
Siapa orang ini? Begitu kira-kira arti tatapan yang dilemparkan Nadia pada adiknya.
“Ini Davian, temen aku,” ujar Rai cengengesan.
Davian segera mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri, “Davian,” ucapnya setelah Nadia menyambut.
Masih agak kaku, wanita itu memasang senyum. “Oh, ayo masuk.” Tubuhnya menyingkir, lalu mempersilakan Davian duduk di ruang tamu. Rai mengambil tempat di sebelahnya.
“Mau minum apa?” tawar Nadia.
“Ehm, Ci, duduk dulu deh. Ada yang mau kita omongin,” kata Rai sungkan.
Meski tidak bisa menebak apa topik obrolan yang cocok untuk mereka bertiga, wanita itu tetap menurut.
“Untuk sementara, Davian tinggal sama kita, ya?” Rai mengucapkan kata-kata itu dengan pelan, sedikit takut sebenarnya. Sementara Davian menunggu jawaban Nadia dengan wajah sumringah, bermodalkan kata-kata manis Rai di restoran tadi.
Nadia tercengang. “Tinggal? Emang tempat tinggal dia kenapa?” tanyanya tajam.
“Dia diusir… dari kos… karena nggak bayar,” jelas Rai terbata-bata, sambil menatap Davian dan Nadia bergantian.
Tanpa menyela omongan Rai, Davian ingin sekali bertanya pada temannya itu, mengapa ia mengarang cerita bohong?
Dahi Nadia makin berkerut. “Ya, kenapa nggak dibayar?”
“Itu… dia… dipecat dari kerjaan lamanya. Jadi, kita udah buat kesepakatan. Selama tinggal di sini, Davian bakal kerja di kedai tanpa dibayar.” Ia menyikut lengan Davian, “Ya, ‘kan, Dav?”
Davian langsung menegakkan tubuh. “B-bener, Ci.” Pria itu mengangguk-angguk tegang, menutupi kebohongan Rai.
Raut wajah Nadia masih tidak senang. “Tapi, kita nggak butuh pegawai, Rai.” Menambah pegawai atau tidak, sebenarnya bukan masalah utama. Wanita itu hanya mencegah orang asing yang berusaha masuk ke dalam rumahnya. Ia merasa tidak nyaman.
“Maaf, saya nggak bisa terima kamu.” Sekarang Nadia bicara pada Davian.
“Cici harus terima saya,” sanggah Davian dengan lantang tanpa sengaja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hearts Intertwined [END]
General Fiction[RomansaIndonesia's Reading List - SPOTLIGHT ROMANCE OF NOVEMBER 2024] Bangun pagi, pergi ke pasar, mencuci sayuran, memotong daging, memasak, dan menjajakan makanan di kedai kecil warisan orang tuanya adalah kegiatan seorang Nadia Harianto sehari-h...