Kaki seorang lelaki berdiri di samping makam berhias nisan yang bertuliskan nama, "Olivia Amelia." Tubuh lelaki itu yang biasanya kokoh menjadi ringkih, air matanya berhasil lolos dari pelupuk yang biasanya mampu membendung, kulit wajahnya yang putih pun memerah, dan diterpa angin sepoi-sepoi yang melintasi udara di makam kala itu.
"Gue gagal jadi Abang!" Gusarnya kepada diri sendiri.
"Gue gagal!" Makinya sekali lagi.
Dia mengingat kembali betapa riangnya gadis itu ketika masih bisa dipangku olehnya.
Kembali pada kenangan bagaimana bahagianya keluarga mereka dahulu.
Kini semuanya berubah. Ntah apa yang terjadi pada mereka.
Dengan berat hati, lelaki dengan tanda nama Kenzo Rajendra itu beralih dari sana untuk kembali menjalani semuanya tanpa Sang Adik.
Ia menaiki motor lalu mengaitkan chin strap helm-nya.
"Gue bakalan cari lo, Sam." Ucapnya, sebelum melaju pergi.
✧✧✧
Jerrye berjalan memasuki kelas. Kelasnya juga ikut ramai dengan anak-anak yang membahas kabar yang didengarnya dari televisi bus tadi.
Lalu, bagaimana dengan tanggapan Jerrye mengenai hal itu?
Dia tak peduli sama sekali.
Jerrye melungguh di bangku dan langsung menyandarkan tubuhnya.
"Woy, bro!" Panggil Arthur sembari merangkul Jerrye yang baru saja duduk dan masih memikul tasnya.
"Good morning." Jerrye menyapa balik tanpa ekspresi.
"Eh, Jer," Arthur mendekatkan wajahnya ke telinga Jerrye.
"Lu denger kabar barusan gak?" Bisiknya.
Jerrye mengangkat bahunya memberi tanda tak tahu. Sebenarnya dia sudah mengetahui kabar itu, tetapi berpura-pura tidak tahu saja.
Arthur sudah memahami karakter Jerrye, bahwa dia bukanlah orang yang peduli dengan berita-berita seperti itu.
"Ah elu, gak asik!" Arthur menyikut jantan lengan Jerrye disusul tawa tipis Jerrye.
"Thur, Thur!" Panggil seseorang tanpa aba-aba.
Arthur menoleh ke sumber panggilan tersebut.
"Kenapa, Sof?"
"PR Fisika lu udah dikerjain belum? Gue lupa astaga gara-gara semalem rapat!" Keluh Sofie sambil menunjukkan mimik wajah memohon kepada Arthur agar diberi contekan.
"Lah, emang hari ini ada PR?"
Sosok di belakang Arthur bangkit dari posisi nyaman lalu sontak menoyor kepalanya. Padahal, pertanyaan seperti itu sudah biasa keluar dari mulut anak-anak pemalas.
"Sakit tolol, Jer!" Gerutu Arthur kesal, ia mengelus titik kepala yang dijadikan sasaran Jerrye tadi.
"Lu goblok lagian. Nih!" Jerrye menyodorkan sebuah buku latihan yang setiap soal-soalnya sudah dikerjakan secara rapi serta tuntas. Arthur cengar-cengir, tentu saja ia langsung menerimanya dengan senang hati.
"Hehehe, makasih." Ucap Arthur. Sebuah kekehan menyebalkan sehabis menerima surga di pagi hari baginya menyuara. Berkat buku itu, amarahnya mereda.
"Lu juga boleh liat kok, Sof," Tawar Jerrye.
"Eh, beneran? Makasih banyak, Jerr. Lu penyelamat hari gue," Ucapnya dengan penuh gairah. Ia merasa lega dan bebannya seperti hilang dalam sedetik.
Jerrye membalas dengan satu anggukan, lalu kembali ke posisi awalnya.
Tok, tok, tok.
Suara langkah kaki terdengar. Seluruh siswa di kelas itu menoleh ke arah pintu─kecuali Jerrye yang memang tidak peduli serta Arthur dan Sofie yang masih sibuk mengerjakan PR Fisika─mereka mendapati seorang siswi bertubuh tinggi dan berambut pendek dengan sebuah earphone yang menancap di telinganya. Ia mendudukkan diri, lalu menunduk fokus pada ponselnya yang dimainkan.
Salah satu dari mereka mendekati sosok itu,
"Ren, lu udah tau berita soal bestie lo?"
Gadis itu bernama Rena.
Ia mengangkat kepalanya sembari mengerutkan dahinya.
"Kalo hal itu menimpa temen lo, lo bakalan tau gak?"
Jleb.
Sungguh sarkas. Anak yang memberikan pertanyaan tadi pun hanya mengangguk pelan lalu mundur beberapa langkah untuk mengambil jarak dengan Rena.
"Lu kenapa pake nanya segala, sih, ke dia!" Bisik yang lain.
Anak itu meringis, "Ya maaf. Gue, 'kan, kepo."
Jerrye melirik ke arah bangku yang tak diduduki pemiliknya. Ia baru menyadari bahwa Via belum memasuki kelas sedari tadi lalu menggaruk kulit kepalanya yang tak gatal.
"Tuh anak ke mana? Perasaan tadi ada di belakang gua."
Lelaki itu menggelengkan kepalanya untuk menyadarkan dirinya. Ntah apa yang terjadi padanya tapi yang pasti, belakangan ini Via seringkali melintas dalam pikirannya.
Kring kring kring!
Jam menunjukkan pukul 07.15 hingga membuat bel berdering nyaring. Seluruh siswa inisiatif kembali ke kursi mereka masing-masing yang telah ditetapkan.
Pelajaran telah dimulai selama setengah jam, Via tergesa-gesa dan berlari secepat mungkin memasuki area kelas hingga didapati oleh guru fisika yang tengah mengajar di situ.
Via menghentikan langkahnya, lalu menundukkan kepala ketika menerima tatapan tajam dari Bu Sonya.
Betapa jelas terlihat kondisinya yang kacau seperti pulang dari tawuran, tetapi di mata Bu Sonya semua penampakan itu transparan karena beliau adalah orang yang sangat berpikir lurus. Ia tak akan mendengar alasan apapun dari muridnya apalagi sampai menanyakannya.
"Biasanya kamu tidak pernah terlambat memasuki kelas saya." Ucapnya, kedua tangannya dilipat di depan dada.
Via membungkuk busur sebagai permintaan maaf. Kepanikan tergambar jelas di wajahnya beserta degup jantung yang kencang.
"Berdiri di samping papan tulis sampai jam pelajaran saya usai." Perintah beliau dengan nada datar dan wajah garangnya.
Melihat reaksi singkat tapi mencekam dari Bu Sonya, lantas Via melepas nafas pasrah dan melaksanakan hukuman yang diberikan tanpa mengangkat kepalanya sama sekali.
Salah satu siswi yang melihat pemandangan itu merasa puas. Ia mengolok-olok gadis tunawicara itu dalam gumam tanpa henti. Karena jika ia menuangkannya lewat ucapan, maka ia akan terseret ke dalam masalah juga.
"Mampus lo, mampus. Rasain noh, bisu biadab!" Gumam Sania.
Di sisi lain, Jerrye tersentak melihat luka lebam terpampang di sudut bibir kiri Via serta rambutnya yang amat berantakan. Ia menatap lama gadis itu, berpikir dan berusaha menebak apa yang terjadi padanya.
✧✧✧
Sam bersandar pada sebuah dinding di belakang kamar mandi. Satu puntung rokok menyelip di antara jari telunjuk dan tengahnya untuk dihisap penuh nikmat.
Ia membuang puntung rokok itu tepat di bawah kaki lalu diinjaknya sampai mati.
Wajahnya terlihat sangat linglung dan cemas. Apakah kalian pikir dia akan menunjukkan itu di hadapan orang-orang? Tentu tidak. Dia benci dianggap lemah.
Slup!
Satu pukulan tiba-tiba menyerang dari belakang tapi dapat ditangkisnya dengan mudah. Terjadi perkelahian satu lawan satu di sana tanpa ada yang mengetahuinya karena sedang di jam pelajaran.
Sam melihat sekilas tanda nama di seragam Pria itu untuk mengetahui identitasnya.
Kenzo Rajendra.
Bug!
Bug!
Bug!
Lawan yang memulai keributan antara dua orang itu jatuh dan terlihat ingin menyerah. Dia tak menyangka ternyata Sam tidak selemah orang-orang yang pernah berkelahi dengannya.
"Lu," tutur lelaki itu terjeda karena nafasnya terengah-engah.
"Lu udah bikin Adek gua mati."
"Harusnya lu juga mati!"
Kenzo hendak bangkit tetapi Sam tak membiarkannya. Ia layangkan satu pukulan lagi hingga kini membuat Kenzo tak lagi berdaya.
Sam membuang tubuh Kenzo ke sembarang tempat dengan tatapan datar tanpa ekspresi.
"Pergi sebelum mayat lo membusuk di sini," perintah Sam.
Kenzo memberi tatapan tajam penuh dendam padanya. Dendam dalam hatinya semakin memuncak. Bukan hanya karena kematian Adiknya, tapi kali ini dia juga benar-benar dipermalukan.
Merasa kondisi tubuhnya tak mampu lagi bertahan, Kenzo memutuskan untuk mundur dan berlari menjauh dari tempat Sam bersinggah.
"Kali ini emang belum, tapi besok lo liat aja, sialan!"
✧✧✧
© To be continued.