Jaden mengode Rhea agar mereka berdua berpura-pura tidak saling mengenal dulu. Kedua jemarinya berotasi dengan senyum penuh intrik. Mengode Rhea, Berperanlah dengan baik, Cil. Kalau ketahuan mengenalku, kamu mampus.
Tatapan Rhea teralih pada sosok wanita aristokrat dengan dress hitam bergaya sabrina itu. Wajahnya seperti dewi, seperti sepotong keindahan bulan yang dipersonifikasikan. Rambutnya hitam legam, berkilauan indah.
Kashi, kalau dia lawan lo, maka lo berurusan sama hal yang gila .... Beuh, Shi. Dia mirip ratu-ratu iblis di drama kolosal.
"My momma, Fiona Samantha." Tak seperti Rhea, Hosea pulang dengan jaket bomber dan kaos baunya itu. Serampangan, jorok. Jika Rhea punya anak seperti dia, pasti sudah Rhea semprot dengan seprotan sekali kinclong.
"Hai, Ibu," sapa Hosea pada Fiona. Tatapannya aneh, licik. Hosea bukan anak yang baik.
Fiona mengulas senyum yang sejujurnya membuat Rhea merinding. "Konsistenlah dengan panggilanmu padaku," ucapnya pada Hosea sebelum ia mengalihkan pandangannya pada Rhea. "Hai, Cassarhea."
Dari mana wanita ini tau jika sebelum Rhea ada kata Cassa? "Salam kenal, Tante." Gadis itu mengulurkan seikat bunga yang ia beli untuk Fiona.
"Hm?" Fiona sempat menatap ulurannya lamat-lamat. Mendiamkannya sejenak sebelum menerima bunga itu. "Krisan? Cantik. Terimakasih. Tapi, kamu perlu ingat bahwa aku menyukai warna-warna gelap. Oh, ya, duduklah."
Rhea berekspresi tidak nyaman. Ia terus mencengkram ujung baju Hosea. Mau bagaimana lagi?! Di situasi ini, yang paling bisa ia harapkan adalah si Iblis Hosea.
"Kenapa memegangku terus?" tanya Hosea blak-blakan. Membuat Rhea melotot seketika.
Dasar cowok gila. Psikopat ini tidak peka dengan situasinya, ya?
"Halo, Hosea. Lama tidak melihatmu," sapaan Jaden itu membuat Hosea mengalihkan pandangannya pada lelaki itu.
Hosea menatap Jaden dengan tatapan tengilnya yang kekanakan. "Jangan melihat wanitaku! Nanti, kutusuk matamu itu!"
"Hosea ...." tegur Rhea.
Sementara Fiona sendiri tidak berkutik. Ia hanya menyaksikan pemandangan itu dalam diam. Sebenarnya, pola asuh macam apa yang digunakan Fiona sampai bisa mencetak iblis kecil seperti Hosea?
Terkadang, Rhea merasa bahwa Hosea sangat membutuhkan bantuan.
Sialnya, lelaki itu tak pernah mengatakan apapun perihal minta tolong.
"Kamu kasar sekali, Bandit Kecil." Jaden melotot pada Hosea yang menatapnya dengan tatapan ngajak ribut. "Belajarlah sopan santun sedikit."
"Cih."
"CIH?!"
Rhea meringis. Situasi mereka kacau sekali.
"Rhea, ayo bicara dan tinggalkan mereka berdua di sini."
Rhea menatap Fiona yang kini memandangnya dengan sorot penuh minat dan ... ambisi. "Eh?"
"Mama nggak bisa mencurinya dariku," tukas Hosea yang memeluk Rhea dengan perangai manja. Ia dusel-dusel tanpa malu. YANG MALU ITU RHEA.
"Pada orang yang membiarkanmu hidup dalam kekayaan sampai sebesar ini, kamu perlu belajar konsep berbagi."
Rhea meringis lagi. Kali ini, ringisannya ia tujukan pada lelakinya yang psikopat dan manja. "Sebentar ya, Hose."
Mereka--Rhea dan Fiona--melenggang berdua. Menjelajahi mewah dan prestisiusnya kediaman Fiona Samantha itu. Tanpa distraksi siapa-siapa.
"Aku terkejut karena kamu masih hidup di tangannya."
"Maaf, Tante?"
"Ah." Fiona menggulirkan ekspresinya menjadi wajah penuh rona bahagia. Wanita itu memaksakan senyumnya pada Rhea. "Aku membicarakan hal yang tidak kamu mengerti, ya?"
Kashi, aku takut pada wanita ini.
"Hosea itu ... sakit."
Sementara itu, di ruang tamu. Hosea ngomel-ngomel ketika Jaden menahannya, sedangkan ia sendiri ingin menyusul Rhea.
"Oh, itu anak perempuan yang jadi sandramu selama ini?" tanya Jaden. "Cantik, ya."
"HEH, JANGAN MACAM-MACAM, YA!"
Jaden meringis. Miris. Perangai bocah ini minus sekali. "Hei, aku seusia bapakmu tau. Sopanlah sedikit denganku."
"Siapa yang peduli? Aku nggak punya ayah!"
Jaden menatap Hosea yang bersungut-sungut itu dalam diam. Fiona, luka hatimu atas Dante dan Ragas sebesar apa sampai kamu menyakiti Hosea dengan sedalam ini?
Fiona, untuk pertama kalinya, keputusanmu membesarkan Hosea menjadi hal yang paling kusesali darimu.
"AISH, BAJINGAN!" Hosea nyaris mencekik Jaden ketika rambutnya yang berantakan diusap lembut oleh lelaki itu.
"Mau lihat rekam medismu di psikolog, dong."
"OGAH! KAMU SIAPAKU?! CUMA ORANG ASING YANG JADI GUNDIK MAMAKU!"
"Woy, mulutmu itu sudah kelewatan tau."
~
Keesokan harinya, Kashi sudah terbangun di kediaman Haven. Semalam, ia mengamuk. Dante, yang sudah kepalang sakit kepala, akhirnya membebaskannya dari rumah sakit sialan itu.
Kashi menatap cermin sambil mengeratkan kasa yang ia lilitkan ke lengannya. Dante sudah pergi sejak pagi. Ia tau karena ia merasakan ciuman lelaki itu di pelipisnya. Oh, ia juga sempat menggigit bibir Kashi sampai berdarah sebelum pergi.
Sepertinya, lelaki itu sangat ingin ia bertahan lebih lama disisinya. Lihat, lelaki itu bertingkah manis belakangan ini. Apa lagi tujuannya selain membuatnya bertahan?
Begitu Kashi keluar kamar, pelayan cekatan menanyainya ini-itu. Terutama perihal menu apa yang ingin ia santap.
Kashi hanya memilih roti polos dan susu. Ia menyantapnya sambil mengamati lukisan kesayangan Dante yang memburam karena tidak pernah dibersihkan.
Sampai jumpa di perang perdanaku di sini, Lukisan Jelek.
"Selamat pagi, Bu," sapa Aland yang tiba-tiba muncul, entah dari mana. "Pak Dante pergi untuk rapat penting. Juga, Bu Nancy akan datang ke sini untuk mengunjungi Bu Kashi."
Kashi melotot begitu ia mendengar tuturan Aland soal ibu mertuanya itu. "Woy, kamu tidak bisa memberikan kabar yang lebih melegakan dari itu?"
Aland tampak berpikir keras sebelum ia berucap, "Bu Kashi bebas kuliah sampai minggu depan. Kelas etiketnya juga ditiadakan--"
"Aland, kalau libur-libur terus tanpa keterangan, saya bisa di-DO. Saya bukan anak rektor kampus."
Aland nyengir. Dia juga tau. "Tenang, Bu. Pak Dante juga mendukung agar ibu cepat-cepat didepak dari kampus."
Kashi melotot lebih lebar lagi. Gila ya lelaki itu?! Lantas, ia melirik arlojinya. Pukul tujuh tepat. "Land, mana Lamborghini Urus biru yang dijanjikan bos galakmu itu?"
"Ada di garasi, Bu."
"Kuncinya?"
"Di saku sa--EH?! BU!" Aland panik begitu Kashi menggeledah saku jasnya tanpa aba-aba, terkesan grepe-grepe.
"Bagus." Wanita itu berseru puas ketika kunci mobil mewah itu ada dalam genggamannya. "Saya mau lihat mobilnya dulu."
Aland, yang masih memeluk dirinya sendiri dengan menyilangkan kedua tangannya karena merasa dinodai Kashi, nyengir lebar. "Saya temani."
"Nggak mau," tolak Kashi mentah-mentah. "Ini momen saya dengan bayi Haven yang masih sebesar kacang kelinci itu. Kamu siapanya sampai mau mengganggu momen kami? Bapaknya?"
"Eh?"
"Mendingan, kamu ... membantu saya bikin pengajuan cuti ke admisi, Land."
"EEEEHH?!"
~
Yang Kashi katakan pada Aland itu dusta.
Setelah meninggalkan Aland untuk berjibaku dengan PC-nya dan website admisi kampus, Kashi kabur dengan baju seadanya. Membawa laptop, ponsel, binder, dan satu set baju pantas pakai di lingkungan akademisi.
Ia berniat masuk ke kampus. Mau dihantam banjir-bandangpun, gas Lambo barunya itu tetap akan ia injak sampai mampus.
Yang terpenting, ia harus menemui Rhea dan absen. Sejujurnya, itu saja. Sisanya bukanlah prioritas karena mata kuliah hari inipun hanya mata kuliah perminatan yang basicnya bisa Kashi kuasai tanpa perlu masuk ke kelas.
"Ah, sial!" Gadis itu memaki begitu ia berhasil kabur dari Aland, tapi justru terpaksa berhenti karena Ragas. Lelaki itu berdiri di depan mobilnya. Memblokade gerbang utama.
Sementara itu, di belakang sana, penjaga berduyun-duyun membekuknya.
"Lo mau ke mana?!"
"KAMPUS! MINGGIR ATAU KUTABRAK?!"
"BUKA! BUKA PINTUNYA!"
Kashi menatapnya sarat akan permusuhan. TIDAK MAU!
"GUE ANTERIN! BUKA DULU PINTUNYA!"
Kashi memicingkan mata.
"CEPETAN! MAU KETANGKEP DI SINI ATAU PATUH PADAKU?"
Karena Ragas benar-benar tidak memberinya celah, Kashi terpaksa bertukar posisi. Beruntungnya, lelaki itu tidak mengingkari ucapannya. Ketika Ragas membekuk Kashi, ia sedang menenteng ranselnya sendiri.
Heh??? Dia berniat ke kampus juga rupanya, pikir Kashi. Oh, pantas saja ia ditebengi.
Tatapan Kashi sempat terlempar pada mobil Ragas yang terparkir sembarangan tak jauh dari gerbang utama. Mungkin, begitu ia melihat Kashi yang berbuat onar, ia reflek keluar dari mobilnya dan memblokade Kashi dari depan.
"Dasar keras kepala!" maki cowok itu. Kalau tidak dengannya, Kashi tetap akan nekat berangkat sendiri dan membuatnya koma karena dicium bumper lambo. Jadi, lebih baik ia setiri saja.
Alih-alih peduli dengan makian Ragas itu, muka Kashi justru pias begitu ia membuka tote bag-nya.
"Kenapa?! Lupa bawa otak?!"
"Aish, yang kubawa baju pendek." Well, lengan Kashi masih dibebati kasa serupa mumi. Ia tak mungkin muncul dengan kasa super banyak itu di kampus.
Ragas geram. Ia reflek mencengkram setir. Lantas, ia melepaskan jaketnya dan melemparnya tepat ke muka Kashi. "Ambil."
Kashi menyeringai lebar ketika menerima kebaikan hati Ragas yang sangat menolongnya. "Makasih, Anakku."
"MATA KAU!"
~
"Pak, ada telepon. Telepon darurat." Normalnya, Michelia Shahan takkan mengganggu Dante hanya karena dering yang berisik itu. Terutama jika orang nomor satu Zeta itu sedang berjibaku dengan pekerjaannya yang memusingkan.
"Dari ayah atau ibuku?"
"Dari Aland."
Dante menarik naik sebelah alisnya. "Aland?" Ia menerima uluran tangan Michelia dan memindahkan berkas yang ia pegang ke tangan gadis itu. "Halo, Aland."
"PAK, ISTRI BAPAK KABUR KE KAMPUS!"
Ketika aduan Aland ditangkap telinga Dante, lelaki itu mengulas senyum paksa dengan genggaman yang nyaris meremukkan ponselnya yang dipegang Michelia dalam mode do not disturb.
"SAMA RAGAS, PAK!"
Wah, wanitanya ini memang ingin merasakan hukuman darinya lagi, ya?