Di Salah Satu Jalan Menuju Roma (Indonesian Version)

6 1 0
                                    

Ini hanyalah salah satu dari seribu jalan menuju Roma. Sebelumnya, aku telah menghabiskan bertahun-tahun hidupku untuk menyusuri jalan-jalan yang lainnya juga. Selama ini, aku selalu merasa haus akan kisah romansa yang nyata. Jiwaku selalu kelaparan akan bukti bahwa kasih sayang yang indah tidak berada dalam dongeng belaka. Bertahun-tahun kulalui hidupku dengan menyusuri semua jalan, hanya demi kisah nyata yang indah, namun jiwaku terus merasa lapar dan haus akan semua itu.

Hingga akhirnya aku tiba di sini, di sebuah gang kecil yang cukup bersih. Hari itu, seorang wanita muda keluar dari rumahnya, membawa keranjang besar dengan susah payah, hendak menjemur bajunya di depan rumah.

Wanita itu menoleh ke arahku, tanpa senyuman, dan kurasa mata gelapnya menatap menembus diriku. Aku merasa ditelanjangi oleh tatapannya, kendati ia sebenarnya tidak melakukan apa pun yang bisa dikategorikan mengganggu.

Aku tidak bertemu dengan wanita itu lagi keesokan harinya, kendati aku memutuskan untuk tinggal di penginapan yang berseberangan dengan rumahnya. Kuhabiskan waktuku untuk duduk di teras penginapan, entah sekadar membaca majalah atau meminum kopi. Namun wanita itu tak muncul jua. Hingga pada malam harinya, aku melihatnya pulang entah dari mana. Tidak sendirian, melainkan bersama seorang pria. Mereka naik sebuah motor keluaran lama yang agak usang, dan ada sebuah selendang yang mengikat mereka di pinggang. Ketika kuamati lebih cermat, ternyata wanita berambut cokelat itu tertidur dengan menyandarkan kepala pada punggung si pria. Lantas, barulah aku mengerti bahwa selendang itu digunakan untuk mengikatnya agar tidak terjatuh karena tertidur di perjalanan.

Besok siangnya, aku kembali duduk di teras penginapan, dengan secangkir kopi lagi. Aku hanya seorang diri, sampai akhirnya seorang penjual permen kapas memasuki gang kecil ini, dan meminta izin untuk beristirahat di kursi lain yang kosong. Aku mempersilakan saja, tanpa mencurigai yang tidak-tidak terhadap pedagang itu.

"Aku tidak pernah bertemu dengan anak-anak di sini," celetukku demi menghilangkan kecanggungan antara aku dengan si penjual permen kapas.

"Aku tidak mengharapkan pembeli dari golongan anak-anak di sini." Penjual permen kapas itu tersenyum padaku.

"Orang dewasa tidak makan permen kapas," aku menanggapi, "setidaknya begitu yang kutahu."

"Nyonya Presenza menyukai permen kapas."

Begitulah aku mengetahui bahwa wanita yang selama ini beradu tatapan dingin denganku ternyata bernama Presenza. Tanpa diberitahu pun, aku tahu jika itu adalah nama keluarganya. Kutebak, itu nama keluarga yang ia dapatkan dari suaminya-pria tempo hari.

Nyonya Presenza keluar dari rumahnya dengan senyuman ceria, membeli permen kapas sesuai dugaan si penjual, dan Tuan Presenza menyusul untuk membayar.

Aku ingat benar, waktu itu mataku bertabrakan pandang dengan Tuan Presenza, dan sorotannya jauh lebih tajam daripada istrinya. Kualihkan pandanganku dengan segera, sebab aku tidak terbiasa mendapat tatapan semacam itu.

Namun, tak berselang lama, aku mendapati diriku kembali menatap pada pasangan Presenza. Bisa kulihat dengan jelas, bahwa tatapan mata Tuan Presenza pada istrinya itu sarat akan kasih sayang, namun keruh oleh sesuatu yang tak dapat kumengerti. Sementara itu, tatapan mata Nyonya Presenza kepada suaminya cenderung lebih hangat, dengan sinar kekanakan yang tak pernah kutemui pada mata wanita dewasa mana pun sebelumnya.

Hari demi hari berlalu, kuhabiskan hanya untuk menyelami mata Tuan dan Nyonya Presenza. Mereka adalah dua jiwa asing yang berusaha untuk kumengerti, entah mengapa. Apa yang kutahu hanyalah dahagaku perlahan sirna setelah melihat bagaimana Tuan Presenza menatap istrinya, dan rasa laparku perlahan lenyap setelah melihat cara Nyonya Presenza menatap suaminya. Mereka adalah dua orang dengan energi yang berbeda, namun mereka bersama-sama.

Aku sangat ingin mengatakan bahwa Tuan Presenza tidak begitu mencintai istrinya, karena pandangannya selalu menerawang entah ke mana. Aku juga ingin mengatakan bahwa Nyonya Presenza tidak begitu mencintai suaminya, sebab jelas sekali bahwa ia mencintai dirinya sendiri di atas segalanya. Namun, semua tanggapanku itu runtuh ketika kulihat, lagi dan lagi, bagaimana Tuan Presenza selalu memberikan hal-hal kecil paling sepele yang diinginkan oleh istrinya, dan bagaimana Nyonya Presenza bersedia menderita di perjalanan hanya demi mengikuti ke mana suaminya pergi.

Kurasa, dibandingkan dengan diriku, selendang dan permen kapas mungkin lebih mengetahui bagaimana kisah mereka selama ini.

-o0o-
.
.
.
.
.

Ema Loka, 2023.

One of A Thousand Roads to RomeWhere stories live. Discover now