Chapter 20. | The Connected Between Us

23 5 0
                                    

CHAPTER 20.
THE CONNECTED BETWEEN US

Bisakah aku memasrahkan semuanya pada takdir ini?

—○●○—

BELLA kehilangan jejak Damara. Ia menggerutu sambil menelusuri gang-gang kecil sebuah perumahan di Northvale. Penerangan yang temaram semakin mempersulit pencariannya. Sesekali ia tersandung kecil dan berhenti untuk mengambil napas. Ia tidak sekuat Damara, meski sudah dilatih berkali-kali. Entah bagaimana, Damara memiliki kekuatan tubuh mirip Alpha. Larinya kencang tanpa harus ia merasa kehabisan napas.

Bella merasakan tangannya dicengkeram saat hendak kembali melangkah. Ia menoleh, dan mendapati sosok Oliver di belakangnya. "Apa yang kau lakukan?" Bentaknya.

"Damara dalam bahaya," ungkap Oliver.

Dahi Bella berkerut. Ia memasang wajah terganggunya sambil berusaha melepaskan cengkeraman tangan Oliver pada lengannya. "I know. Karena itu, lepaskan aku!"

Oliver berdecak. "Mereka berkelompok, Bel."

"Apa?"

"Mereka berkelompok. Kau tidak akan bisa melawan mereka sendirian."

Bella terdiam sejenak. Ia sedang memikirkan apakah Oliver berbohong padanya atau tidak. Lantaran kedatangannya pun mencurigakan baginya. Sayangnya ia tidak memiliki kemampuan membaca pikiran. Keselamatan Damara seolah berada di tangannya. Tidak ada waktu untuk mempertimbangkan bahwa pemuda ini musuhnya, dan bisa saja mengelabuinya. Di saat seperti ini Bella merutuki otaknya yang tidak mampu berpikir rasional. Pada akhirnya, ia menuruti Oliver. Keduanya kembali menelusuri gang.

Sementara itu, di sudut lain gang, Damara masih berusaha mengejar pria yang mengikutinya dan Bella. Dia cukup cepat, tetapi Damara berhasil mengimbangi. Mereka berlari menyusuri gang kecil, dan baru Damara sadari pria itu tidak sendiri. Setidaknya saat ini mereka berjumlah tiga. Dua pria lainnya mengepungnya di sisi kanan dan kiri. Sampai akhirnya, pria yang dikejarnya berhenti di depan sebuah tembok besar—jalan buntu.

"Hah, kau tidak bisa lari ke mana-mana sekarang," kata Damara seraya berusaha mengatur napasnya. Ia melihat ke atas, pada dua pria lainnya yang berdiri di atap-atap rumah. "Satu lawan tiga. Tidak adil. But, I think I can handle this."

Pria itu mengayunkan pukulannya dengan kekuatan penuh, sementara Damara berhasil melompat untuk menghindar dari serangan, dan membalas serangan dengan cepat. Pria itu melangkah gesit, berhasil mengunci pergerakannya dengan mengekang leher. Damara tak kehabisan akal. Sikunya bergerak menghantam wajah pria itu, dan dalam sekali pergerakan, ia membanting tubuhnya ke atas tanah.

Damara sama sekali belum mendapatkan luka, sedangkan pria di hadapannya nyaris terkapar karena pukulannya yang tidak pernah meleset—dia pandai membaca pergerakan lawan. Saat itulah kawanannya mulai menyerang, memberikan serangan pada Damara yang berhasil di tangkisnya. Namun, Damara terlambat menyadari pukulan yang kemudian berhasil menciptakan lebam biru pada pipi kanannya.

"Siapa kalian sebenarnya?" Damara bertanya di sela keduanya yang terdiam sembari mengatur napas.

Alih-alih mendapat jawaban, dua pria itu bergerak cepat menahan pergerakannya dengan mencekal kedua tangannya secara bersamaan. Seiring waktu berjalan, kelelahan mulai terlihat di wajah Damara. Pergerakannya menjadi lambat, dan serangan lawan semakin sulit dihindari. Pukulan demi pukulan berhasil didapatnya. Wajahnya penuh lebam, pelipisnya sobek, serta keluar darah dari mulut dan hidungnya.

ETERNAL BONDWhere stories live. Discover now