"Perhatikan tiap langkahmu, karena mungkin aku dan anak-anakku sedang minum kopi di sisi jalan."
Wanita hamil yang tubuhnya begitu kurus itu tidak menjawab kalimat wanita bergincu merah yang sorot matanya membuat ia menunduk. Menatapi tanah basah yang masih menyisakan bekas hujan.
Hal yang rasanya sudah lama sekali tidak ia lihat. Karena apa yang selalu dilihat matanya setiap kali terbuka, hanyalah beton tebal yang memantulkan teriakannya sendiri.
"Pergilah."
Kepalanya terangkat mendengar kalimat yang begitu ingin ia dengar sejak dibawa paksa orang-orang asing yang membuatnya meronta sekuat tenaga, berteriak sampai suaranya habis, bahkan memohon!
Tapi, segala upaya yang ia lakukan sia-sia!
Percuma!
Karena orang-orang yang membawanya paksa tidak perduli!
Lalu mengurungnya sampai gila rasanya!
Kebebasannya direnggut. Keinginannya diabaikan.
Suaranya sama sekali tidak didengar!Ah, didengar?
Jangankan didengar, orang-orang yang membawanya dari tempat sembunyi itu mengurungnya tanpa perduli pada apa yang sedang tumbuh di dalam rahimnya!
"Tunggu apalagi? Pergilah, kecuali kau ingin tinggal lebih lama bersama kami."
Pupilnya bergerak meski yang jadi fokus pandangan tetap wanita bergincu merah yang ... "Pergi kemana?"
Mama Key mengernyitkan dahi untuk tanya Clara yang pandangan matanya pun terlihat bingung. Begitu tidak yakin!
"Hei, aku bukan ibumu." Mama Key berseru, "pergilah kemanapun kau mau. Tapi, jangan dekati orang yang membayarku. Atau kau tidak akan bisa melihat matahari untuk selamanya."
Mendengar itu, pupil Clara membesar. Kaget. Tapi, mulutnya yang sudah terbuka tidak mengatakan apapun!
Ia hanya terus berdiri dalam diam. Membisu tanpa kalimat lanjutan.
Rasanya, bangunan dengan cat usang mengelupas pun tahu, siapa yang sedang memenuhi benak Clara detik ini.
Tapi, Clara bahkan tidak mampu menyebut nama Seruni meski wajah gadis yang sudah membuatnya terkurung tidak bisa melihat matahari, begitu menari-nari dalam kepala.
Dan wajah Clara makin pias saat mengingat bagaimana tatapan Rendra di kali terakhir pandangan mereka bertemu.
Lelaki yang kasihnya masih begitu ia harap itu bahkan tidak menyapanya.
Narendra Hadinata, lelaki yang nama dan wajahnya selalu memenuhi diri, hanya memilih pergi. Kembali meninggalkannya yang bahkan tidak bisa memanggil Rendra!
"Apa dosaku begitu besar, Ren?"
Kalimat yang terucap begitu pelan kalah dengan suara nafasnya sendiri yang mengepalkan tangan.
Buku-buku jarinya memutih saking kuatnya tangan Clara meremas.
Sampai tangan yang sentuhannya terasa asing menggenggam tangannya yang tusukan kukunya menyobek kulit.
Ekor mata Clara menoleh pada pemilik wajah yang terus memohon untuk kebebasannya sampai akhir.
Memohon pada Runi, pada Rendra.
Tapi, tidak satupun dari mereka mau mendengar pinta lelaki yang genggamnya mengerat.
Lelaki sama yang sudah menanam benih dalam rahimnya! Ayah dari anak yang sedang ia kandung. Meski istri dari lelaki yang genggamannya begitu erat itu adalah sahabat Clara sendiri.