@anneilatisha
"Hidup cuma sekali. Jangan mau maunya aja diatur orang."
-
-
-
Terhitung sudah dua kali liburan semester Tisha tidak pulang ke Banjarmasin. Bukan karena tidak ingin, tapi jika dia pulang, Tisha khawatir ibunya tidak akan mengizinkan Tisha kembali ke Jogja. Hubungan Tisha dan ibunya cukup rumit. Sejak kecil Tisha sangat suka menari, karena ibunya juga mantan seorang penari. Sebagai anak perempuan pertama dan satu-satunya, dia tentu sering menghabiskan waktu bersama ibunya. Bahkan sejak usia muda dia sudah memutuskan untuk menggeluti dunia tari.
Tapi sejak Tisha memutuskan untuk masuk ke jurusan Seni Tari Kontemporer, ibunya sangat menentang. Padahal selama ini sang ibu selalu mendukung aktivitas menarinya. Awalnya Tisha tidak tahu alasan ibunya sangat menentang keputusannya itu. Hingga sebulan sebelum keberangkatannya ke Jogja. Saat itu nenek dari keluarga ayahnya menelpon.
"Kak Tisha bulan depan udah mau kuliah ya?"
"Iya, nek. Tisha kuliah di Jogja, jurusan Seni Tari Kontemporer," Tisha menjawab pertanyaan sang nenek dengan bersemangat. Tetapi tampaknya sang nenek tidak, ada hening yang lama di antara mereka.
"Bunda kamu yang suruh masuk jurusan tari? mau jadi apa nanti setelah lulus? kalau cuma menari bisa dijadikan hobi saja. Ayah gak nyuruh masuk Manajemen atau Bisnis? Biar bisa meneruskan usaha keluarga. Minimal kedokteran, biar sama kayak tante, oom dan ayah kamu." Tisha terdiam mendengar jawaban sang nenek. Saat itu dia paham kenapa ibunya sangat menentang keputusan Tisha.
Bahkan setelah Tisha sampai di Jogja ia tidak banyak bicara dengan ibunya. Hanya sang ayah dan adiknya saja yang terus berkomunikasi dengan Tisha. Walaupun ayahnya seorang Dokter Bedah dan juga pengusaha sukses, ia tidak pernah mempermasalahkan keputusan Tisha. Karena itu Tisha tidak mengerti kenapa ibunya sangat menentang.
"Apa Bunda malu kalo Tisha jadi penari? bukannya Bunda juga seorang penari? Kalau hanya karena ucapan nenek dan keluarga ayah, Tisha gak peduli. Karena ini hidup Tisha. Jadi Tisha berhak memilih mau jadi apa," begitu balasan yang diucapkan Tisha pada ibunya saat itu.
*****
Jam masih menunjukkan pukul lima subuh. Tisha sudah sibuk di dapur rumah Jeje, membantu Soraya menyiapkan bahan-bahan untuk dibawa ke restorannya. Restoran milik Soraya buka pukul sepuluh, biasanya Soraya akan mulai bersiap sejak pukul empat. Tapi jika musim liburan tiba, dia bersiap pukul lima. Karena ada tenaga tambahan dari Jeje, Jenna, dan Tisha.
"Tante kenapa gak nyari koki sendiri buat masak di restoran? Kan jadinya gampang, tante tinggal ngecek bahan-bahan aja gak perlu masak juga," tanya Tisha yang memang sejak dulu penasaran dengan pilihan Soraya.
"Kalau urusan dapur tante lebih suka ngurus sendiri, Sha. Atau Jeje yang ngurus, karena memang sebagian menu yang ada di restoran hasil kreasi dia. Karena kalo nyari koki lagi nanti rasanya pasti beda, walaupun dimasak dengan resep yang sama. Lagipula tante juga gak ada kerjaan lain, jadi biar tante ada kegiatan juga waktu Jeje sibuk kuliah,"
Tisha hanya mengangguk paham. Dia sangat salut dengan Soraya dan Jeje. Walaupun hanya tinggal berdua tapi mereka sangat kompak. Soraya sangat percaya pada Jeje. Bahkan ketika Jeje mengatakan dia ingin pindah jurusan. Soraya tidak marah, dia justru membebaskan keputusan Jeje dan tetap mendukungnya. Andai ibunya berpikiran seperti Soraya.
"Kamu udah nelpon orang tuamu, Sha?" Tisha langsung terbangun dari lamunannya.
"Eh, belum Tante. Nanti Tisha telpon deh,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Membangun Asa
General FictionMemasuki usia dewasa tidaklah menyenangkan bagi semua orang. Setelah melepas seragam putih abu-abu, yang menyambutmu adalah dunia nyata, yang bisa menelanmu atau mengangkatmu menuju langit ketujuh. Jenna, Jeje, Tisha, Anna, dan Jihan, lima mahasisw...