Jangan lupa vote & komen ..
***
BAB 5
***
Di bawah gelapnya langit malam, empat pasang mata itu saling bertemu pandang. Jalanan yang membentang luas dihadapan mereka, menjadi jarak yang membatasi ruang pertemuan.
Masih berada di atas motor, tatapan Zia kemudian beralih pada Athar yang sudah melepas helm. Untuk pertama kali setelah bertahun-tahun mengenal pria itu, baru kali ini ia dapati tatapan dingin Athar.
"Thar," bisiknya lirih demi memecah situasi yang menurutnya cukup menyeramkan ini. "Kita turun dan bicarakan dengan kepala dingin, oke?"
Di sebrang jalan sana, ada Nadin yang sedang berdiri menatap ke arah mereka dengan sorot terkejut. Bagian terparah yang bisa saja menjadi sumber kesalahpahaman adalah keberadaan Fikram yang berdiri di samping Nadin.
Sosok Fikram jelas tidak asing di circle pertemanan mereka. Kebetulan Nadin pernah menunjukkan foto pria 30 tahun itu yang didapatkannya dari salah satu laman media sosial.
"Ck, lo nggak usah bikin gue takut deh Thar," dumel Zia yang kemudian memutuskan turun dari motor Athar.
"Woiii, Athar! Nggak usah kebanyakan ngelamun. Lo mau ya kesambet? Asal lo tahu aja Thar, gue nggak bisa naik motor sport. Ya kalau lo mau gue tinggal disini sih nggak apa-apa. Sekalian aja deh lo jadi penunggu jalanan sini buat hantuin Nadin biar tuh anak balik waras."
Meninggalkan Athar yang masih menolak untuk bersuara, Zia berjalan menghampiri Nadin dengan langkah menggebu.
"Maksud lo apa sih Nad, tiba-tiba ngilang tanpa kabar, eh giliran disamperin malah lagi sama nih laki,"
Sontak Fikram memundurkan kepala saat telunjuk Zia nyaris mengenai wajahnya.
"Pada akhirnya lo nerima ini orang? Iya, Nad?!" Cercanya tak sabaran.
"Minimal lo putusin dulu hubungan lo sama Athar, bukan malah main-main kayak gini. Lo bukan Nadin yang gue kenal, Nad," suara Zia melemah.
"Apa sih yang bikin lo berubah pikiran gini? Sini, biar gue temuin Mas Endra dan nyoba ngomong pelan-pelan sama dia. Gue yakin, pasti Mas Endra yang maksa lo buat ketemuan sama Fikram."
Nadin yang sedari tadi menolak berbicara namun bola mata tak lepas dari sang kekasih yang hanya memandanginya dari atas motor, segera menahan Zia yang ingin menerobos pintu gerbang.
"Gue.. gue yang ngizinin Mas Fikram main ke rumah kok Zi, kedatangan Mas Fikram nggak ada sangkut pautnya sama Mas Endra."
Bola mata Zia kontan melotot kaget.
"Demi apa?! Jadi lo beneran mau nerima nih cowok, Nad?" Ia kembali menunjuk Fikram yang buru-buru memundurkan wajah.
"Astaga, Nadine Tazzana. Lo beneran bego apa lupa ingatan sih? Sampai detik ini lo masih pacar Athar kalau-kalau lo lupa, Nad." Ujarnya mempertegas.
"Nadin akan segera memutuskan laki-laki itu."
Bukan Nadin yang menjawab, melainkan Fikram. Pria itu menunjuk Athar dengan tatapan penuh percaya diri.
"Gue nggak ngomong sama elo!"
Dengan gerakan kasar, Zia mengenyahkan jemari Fikram dari depan wajahnya.
"Lagian lo kenapa sih, ngebet banget pengin jadi suami Nadin? Kalau gila tuh minimal berobat, bukan malah bikin ulah." Cibirnya.
"Jodoh itu harus diperjuangkan dan itulah yang sedang saya lakukan saat ini."
"Cih, perjuangkan sih perjuangkan, tapi bukan sama pacar orang juga kali!"
"Justru karena masih sebatas pacar, saya berani mendekati Nadin."
"Wahhh, beneran gila nih cowok,"
Zia sampai berkacak pinggang sambil geleng-geleng kepala.
"Nad, lo ngomong sesuatu dong! Nggak usah lemah kayak gini."
"Sorry Zi," gumam Nadin seraya menundukkan kepala.
"Ck, gue yakin lo bakal nyesel karena udah gegabah ngambil keputusan ini, Nad. Gue masih nggak habis pikir, lo mencampakkan Athar cuma demi laki-laki ini,"
"Zi, kita pulang sekarang. Udah nggak ada lagi alasan kita ada disini."
Nadin mengangkat kepala ketika mendengar suara Athar yang semakin dekat.
"Aku pikir hubungan kita spesial Nad, tapi ternyata aku nggak ada artinya buat kamu, ya?" Ujar pria itu yang kini telah berdiri berhadapan dengan sang kekasih.
"Jujur aku nggak nyangka, kalau kamu bakal mempermainkan aku seperti ini,"
"Thar--"
"Aku nggak butuh penjelasan apapun dari kamu, Nad. Apa yang udah kamu katakan dan aku lihat malam ini, aku anggap sebagai bentuk perpisahan kita."
"Athar.."
Dengan mata berkaca-kaca, Nadin menatap wajah tampan Athar yang diliputi oleh kekecewaan.
"Maaf." Lalu menunduk bersama sesal.
"Kita selesai." Ujar Athar mantap kemudian menarik tangan Zia ke dalam genggaman.
"Aku sama Zia pamit pulang. Semoga kamu bahagia dengan pilihan kamu ini, Nad." Kemudian berlalu tanpa menolehkan kepala sedikit pun.
Wanita yang ia cintai selama bertahun-tahun, ternyata mampu melukainya sedalam ini. Parahnya lagi, Nadin menerima pria lain di saat hubungan mereka masih terjalin.
Sungguh, berpisah karena orang ketiga benar-benar tidak ada dalam pikirannya sama sekali.
Pada akhirnya, Nadin tetap lah Nadin yang sangat berbakti kepada orang tua dan kakak laki-lakinya hingga rela mengorbankan kebahagiaannya sendiri. Termasuk merusak kisah mereka yang telah terjalin bertahun-tahun lamanya.
*
"Selama ini gue ngerasa kalau Nadin paling pinter diantara gue sama Kinan. Ternyata selama ini gue salah, nyatanya dia tuh paling bodoh," oceh Zia yang kemudian meneguk isi kaleng soda yang dibelinya di minimarket beberapa saat lalu.
"Bisa-bisanya tuh anak kasih lampu ijo buat Fikram. Ck, minimal kasih kejelasan dulu buat hubungan kalian. Astaga, gue gemes banget sumpah ke Nadin,"
Kontan saja Zia memutar mata begitu mendapati Athar yang hanya diam saja sambil memainkan kaleng soda di tangan.
Ngomong-ngomong, saat ini mereka berada di lapangan basket yang terbuka untuk umum. Duduk di tengah-tengah lapangan sambil bersila kaki bak dua anak hilang.
Plak.
Setelah mendapat geplakan di pundak, barulah Athar menoleh ke samping dengan kedua alis terangkat.
"Kenapa Zi?"
"Ck, lo beneran nggak dengerin ocehan gue dari tadi?"
Melihat gelengan kepala pria dihadapannya, sontak Zia mendesah tak percaya.
"Gue boleh geplak lo lagi nggak sih, Thar?"
Plak.
Tanpa menunggu izin dari si empunya tangan, Zia kembali mengulangi geplakan mautnya yang buat Athar meringis.